31 30. Darah

Gina membaringkan tubuhnya dengan posisi menghadap ke samping, tepat dimana kedua kakak kembarnya berada. Tidak ada yang menyakitkan lagi dari tubuhnya setelah melewati hari yang panjang dengan suka cita bersama Gian dan Gino.

Manik hitam itu menatap sayu kakak kembarnya. Rasa kantuk perlahan menghampiri, menghantarkan gadis itu menuju alam mimpi. Ditambah dengan datangnya bulan dan tenggelamnya matahari, menambah kesan nyaman Gina yang masih mengenakan infus.

Tak!

Sampai suara pukulan dari benturan tangan dengan sebuah benda memaksa Gina membuka matanya. Begitupula dengan Gian yang sudah bersiap tertidur pulas di sofa kamar adik perempuannya itu.

"Berisik, Gino!" Gian mendudukan dirinya lalu memandang apa yang sedang dilakukan oleh adik kembarnya.

"Ah maaf, kalian mau pada tidur ya?" Garukan di tengkuknya yang tidak gatal serta tatapan bersalah dari Gino, ia layangkan kepada Gina dan Gian.

"Dispensernya nggak bisa dibenerin, ada kerusakan di dalem. Terus penyok di bagian depan dispenser juga parah banget," jelas Gino panjang lebar.

Beberapa waktu lalu setelah bercanda dengan kedua saudara kembarnya, Gino beranjak ke kamar Gian untuk melihat seberapa parah kerusakan yang ada. 

Dikarenakan tidak ingin sendirian di dalam kamar sang kakak yang sunyi, ia lebih memilih membawa dispenser tersebut ke kamar Gina agar setidaknya saat ia memperbaiki benda itu Gino tidak merasa kesepian.

"Ini dispenser diapain sih kak sampe bisa babak belur kayak gini?" tanya Gino. Tatapan menuntut dari kedua netra hitamnya tidak berhasil membuat Gian gentar.

Anak sulung di antara ketiga anak kembar tersebut tetap mempertahankan wajah datarnya, walaupun di dalam hati yang terdalam Gian sangat ingin menumpahkan semua yang ia rasakan saat ini.

Namun apa daya, prinsip dan tanggung jawab Gian sebagai anak sulung menahannya untuk menambah beban pikiran kedua adik kembarnya. Dua orang yang sangat ia sayangi melebihi siapapun.

"Dianiaya sama kulkas yang ada di kamar kakak. Keliatan banget sih, itu kulkas bukan benda baik-baik sampe KDRT sama dispenser yang notabene nya sebagai istri sah si kulkas."

Gian menggelengkan kepala prihatin. Ia menatap miris dengan sorot mata penuh kesedihan ke arah benda yang selama ini membantunya untuk minum jika ia haus. Sedangkan Gino membeku sesaat sebelum mengalihkan kembali fokusnya kepada dispenser yang berusaha ia perbaiki.

Dada Gino sedikit mencelus sakit ketika mengetahui jelas bahwa Gian tidak ingin menjelaskan apa yang sedang menimpanya saat ini sampai dispenser lah yang menjadi pelampiasan amarah sang kakak.

Meskipun sangat ingin, Gino tidak pernah memaksa Gian untuk menceritakan masalah pribadinya. Lagipula walau dipaksa buka mulut pun ia yakin bahwa seorang Gian tidak akan dengan mudah memberi tahu dan membagi beban kepada kedua adik kembarnya.

Lain halnya dengan Gina, gadis cantik yang sedari tadi hanya terdiam memperhatikan kedua kakaknya itu. Ia menatap lekat dengan intimidasi yang kuat ke arah Gian. Tidak akan pernah menyerah sebelum berperang untuk memaksa Gian membagi masalahnya kepada mereka.

"Udah Gina bilang berapa kali sih, kalau Kak Gian butuh sandaran Gina sama Kak Gino bisa jadi pendengar yang baik." Gian yang diberikan ucapan seperti itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang tadi berbicara.

Ia menggeleng, "Butuh sandaran apanya, kakak nggak kenapa-napa kok."

"Terus kenapa tadi pulang sekolah marah-marah sampe segitunya? Terus itu dispenser kenapa jadi gitu?" Intonasi bicaranya mulai Gina naikan. 

Kondisi Gian yang selalu menutup diri kepada dirinya dan Gino berhasil membuat Gina frustasi. Setiap hari rasa khawatir tidak akan pernah hilang di benaknya jika Gian terus seperti ini. Ingin rasanya bertukar posisi menjadi anak sulung dan kakak kembarnya itu menjadi anak bungsu.

"Cuman mau tau aja, kok Gino bisa sesabar itu ngontrol emosinya," balas Gian lagi dengan datar. Dirinya terus menghindari kontak mata dengan Gina agar adik perempuannya itu berhenti menanyakan hal yang tidak ingin ia jawab.

Gino yang secara kebetulan berada di tengah-tengah antara kedua saudara kembarnya menghela nafas dalam diam. Situasi seperti ini selalu hadir jika Gian dan Gina sudah sama-sama berkepala batu.

Remaja laki-laki itu menatap bergantian kedua kembarannya dengan sorot mata sendu yang amat kentara. Tidak ingin berlama-lama melihat Gian dan Gina yang sedang menguarkan aura negatif, Gino segera menunduk lalu lanjut memperbaiki dispenser milik Gian.

Sampai sesuatu yang kecil dan terlihat bergerak-gerak mencari jalan keluar dari dalam dispenser yang sedang dibongkar membuat lengkungan indah terbit di wajah tampan Gino. Sekarang ia tahu bagaimana mengalihkan topik pembicaraan Gian dan Gina.

Gino bangkit dari posisi duduknya di lantai kemudian menghampiri sang kakak. Sesuatu yang akan dia berikan kepada Gian disembunyikannya di belakang punggung. Setelah sampai di samping kakak kembarnya, Gino tersenyum manis.

"Kak ... " panggil remaja laki-laki itu lembut.

Gian yang merasa terpanggil, menengokan kepalanya ke samping tepat ke arah Gino yang sedang tersenyum. Tanpa rasa curiga sedikitpun Gian menjawab panggilan manusia penyabar tersebut.

"Apa?"

"Nih, kecoa." 

Dengan cepat dan senyum lebar yang mengiringi, Gino tanpa rasa takut menunjukan kecoa yang ia pegang tepat ke depan muka kakak kembarnya. Selama beberapa detik, mata serta pikiran Gian secara lambat memproses apa yang ada di hadapannya saat ini.

Sampai sebuah teriakan khas laki-laki serta lonjakan tubuh karena terkejut menjadi respon atas kelakuan Gino kali ini. Gian dengan segera berlari ke arah Gina dan melompat ke arah kasurnya.

Brukkk...

"Akh! Kak Gian sakit ... infusnya." Gina spontan memegang tangan kirinya yang sakit karena infusnya tertarik bersamaan dengan Gian yang melompat ke arah kasur miliknya.

Laki-laki itu segera bangkit dan segera memeriksa tangan kiri Gina. Ia membelalak panik saat melihat ada darah yang perlahan naik ke arah selang infus. Gino yang mendengar pekikan dari adik kembarnya ikut panik saat melihat apa yang terjadi dengan selang infus Gina.

"Gino panggil Dokter Hani dulu," ucap Gino lalu berlari ke luar untuk memanggil psikiater pribadi Gina agar bisa segera ditangani.

"Maaf, kakak lupa kalau kamu lagi sakit." Tatapan bersalah dari Gian jelas Gina terima dengan baik masuk dalam manik hitamnya. 

"Nggak papa, nggak sakit juga."

"Tapi itu darahnya naik ke atas." Nada panik disertai kekhawatiran jelas amat kentara di setiap kata yang keluar dari mulut Gian.

"Darah? Emang ada dimana darahnya? Orang nggak ada apa-apa kok di selang infusnya, mana mungkin kan ada rasa sakit kalau nggak ada apa-apa di sini?" ucap Gina sembari menunjuk tangan kirinya tepat ke arah selang infus yang perlahan menjadi merah karena darah.

"Maksud kamu apa sih? Jelas itu darah ada di situ. Kakak tau kamu nggak rabun, Gina," ujar Gian dengan penekanan kata di ujung kalimatnya. Ia sengaja berkata sarkas di akhir agar adik perempuannya itu berhenti berpura-pura tidak melihat adanya darah di selang infus.

"Kak Gian juga tau kalau adik-adik kembarnya bukan orang bego, kan?"

"Langsung ke inti, Gina. Apa maksud kamu sebenernya?" Emosi Gian mulai mulai terpancing ke permukaan, kali ini bukan kejahilan sarat akan rasa senang yang diterima olehnya. Akan tetapi, rasa kesal karena tahu bahwa Gina sedang mempermainkannya.

"Nggak enak kan, kak?" Salah satu ujung bibir Gina mulai terangkat membentuk sebuah seringaian.

"Pasti kakak ngerasa kesel banget pas Gina bilang kalau nggak ada darah di infus ini. Dan itu yang Gina sama Kak Gino rasain pas kakak bilang nggak kenapa-napa padahal kita tau kalau kakak itu lagi ada masalah." 

"Kayak darah yang pura-pura nggak Gina liat, itu ibarat masalah yang kak Gian berusaha sembunyiin dari adik-adik kakak." Gina menjeda ucapan yang akan ia lontarkan lagi. 

Ia mengedarkan matanya ke segala arah agar air yang sudah menggenang di pelupuk matanya tidak jadi mengalir keluar. 

"Gina juga tau kalau kakak pasti nggak seneng Gina bilang nggak papa padahal tau sendiri kalau sekarang tuh adik kakak ini lagi sakit. Kak Gian khawatir, sedih, dan ngerasa bingung pas Gina bilang nggak papa." 

Air matanya mulai meluncur ke bawah dan tidak dapat terbendung lagi. Rasa sesak tatkala setiap kali Gina maupun Gino bersedia menjadi sandaran sang kakak, keluar begitu saja di hadapan sang empu.

"Itu yang selalu Gina sama Kak Gino rasain setiap kakak keliatan tertekan sama masalah sendiri, tapi kami nggak bisa bantu apapun. Karena apa? Itu gara-gara kak Gian selalu nutup masalah yang keliatan jelas di mata kami."

Gian terdiam,seluruh sendi tubuhnya kaku saat mendengar semua ucapan dari Gina. Hatinya sakit saat melihat betapa frustasinya sang adik dan penyebab utama adalah dirinya sendiri.

"Berenti nyiksa diri sendiri pake embel-embel anak sulung yang harus ngejaga adik-adiknya. Kita kembar, kak. Siapa yang lebih tua dan lebih muda tuh nggak ada. Jadi, nggak ada salahnya buat cerita dan bagi masalah ke kembaran sendiri."

avataravatar
Next chapter