4 3. Keanehan Gino

"Kalau di sekolahnya, Kak Gian disebut cowok dingin sama orang-orang. Mereka gak tau aja kalau udah di rumah kayak gimana," monolog Gina. Selangkah demi selangkah Ia menaiki anak tangga untuk menuju ke kamar kakak kembarnya yang satu lagi. Seseorang yang membuat Gina harus membeli kemeja berwana pink di tangannya dengan drama percintaan menyebalkan dibalik benda tersebut.

Langkahnya berhenti saat Gina sudah sampai di tempat tujuan. Nafasnya sedikit terengah. Ia merutuki Gian dalam hati, merasa sebal ketika dirinya tidak bisa menghajar Gian atas kesimpulan melenceng dari otak 'sempurna' seorang Gian.

Kembarannya itu berhasil melarikan diri dengan mengunci pintu kamarnya sebelum Gina berhasil masuk. Jika saja, Gina tidak ingat bahwa Dia harus menyerahkan kemeja Gino, pasti Gina sudah berusaha membuka pintu kamar Gian dengan cara apapun.

Daripada terus memikirkan Gian yang pasti membuat daranya kembali naik, Gina segera mengetuk pintu kamar Gino.

"Kak Gino, ini kemejanya." Merasa tidak ada jawaban dari sang kakak, Gina kembali mengetuk pintu kamar Gino. Kali ini ketukannya sedikit keras daripada sebelumnya. Berharap dapat membuat Gino merespon ucapannya dan mempersilahkan Gina untuk masuk.

Selama beberapa menit Gina menunggu. Masih tidak ada jawaban dari Gino. Ia berusaha berfikir positif, siapa tahu kakak kembarnya sedang berada di kamar mandi atau sedang tertidur, namun tubuhnya juga terasa letih. Ingin rasanya Gina berendam di dalam bathtub. Setelah itu tertidur di kasur empuknya.

"Kak, Gina masuk ya." Kesabarannya sudah habis. Gina meraih knop pintu Gino lalu memutranya, Ia bersyukur pintunya tidak terkunci. Gina dengan cepat mendorong pintu kamar Gino.

Di sana, di atas sebuah kasur besar terlihat seorang laki-laki seumuran dengan Gina yang sedang memainkan handphonenya sambil sesekali tersenyum.

Gino Adhitama. Kakak kembar Gina yang kedua setelah Gian. Seseorang yang memiliki sifat berbanding terbalik ketika dirinya memperlakukan Gina. Gino lebih terkesan memanjakan Gina dan memperlakukan Gina dengan lembut. Tidak seperti Gian yang setiap hari tanpa absen selalu bertengkar dengan Gina.

Walau Gino merupakan adik kembar dari Gian, Ia lebih terlihat dewasa dan pendiam. Sifatnya ketika dengan keluarga atau di luar dengan teman-temannya tidak berubah. Selalu menjadi Gino yang dewasa dan ramah kepada semua orang.

Hal inilah yang membuat Gina selalu mematuhi semua yang diperintahkan Gino kepadanya. Bukan karena Gina lebih menyayangi Gino daripada Gian, akan tetapi cara Gina menunjukan rasa sayang kepada Gian dan Gino lah yang berbeda, begitu pula sebaliknya.

Merasa ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya, Gino menoleh ke arah Gina berada. Adik kembarnya itu sedang berjalan ke arahnya sembari menenteng paperbag coklat yang Ia yakin di dalam sana terdapat kemeja barunya.

"Ini kemejanya ka. Tumben suka sama warna pink?" Gina menempatkan bokongnya di atas kasur empuk Gino. Duduk bersila menghadap sang kakak yang kembali sibuk dengan handphonenya, sesekali Gina lihat Gino tersenyum tidak jelas di depan benda pipih tersebut.

"Pengen aja beli warna pink. Oh iya, makasih udah mau repot-repot ke butik buat beli kemeja kakak ya, Gina." Gino mengalihkan perhatiannya dari handphone ke arah Gina. Sebelah tangannya mengusap kepala Gina penuh rasa sayang dari seorang kakak kepada adik kembarnya.

Gina hanya mengangguk menanggapi ucapan Gino, sudah biasa dengan perlakuan Gino kepada dirinya. Ketika Gino mengambil paperbag berisi kemeja pink miliknya, mata Gina sesekali melirik ke arah handphone Gino yang masih menyala, ingin tahu apa yang dilakukan sang kakak sampai dirinya sibuk tersenyum dengan si kotak itu.

"Hayoo, liat apa kamu?"

Tubuh Gina tersentak kaget. Reflek matanya langsung terarah ke arah lain. Menyembunyikan fakta bahwa dirinya berusaha mengintip privasi kakak kembarnya.

Sementara itu Gino terkekeh, melihat tingkah menggemaskan natural dari Gina. Ia tahu adiknya ini berusaha mengintip percakapan dalam handphonenya dengan seseorang.

"Sana tidur. Kamu keliatan capek banget hari ini, padahal cuman disuruh beli kemeja."

Gina mengangguk. Di dalam hatinya Ia kembali mencibir. Jika saja kakaknya ini tahu bahwa hari ini dirinya tidak hanya semata-mata membeli kemeja, Gino pasti tidak akan berbicara seperti itu. Gina bangkit, beranjak dari kasur Gino. Kedua kakinya melangkah pelan ke arah pintu kamar Gino untuk keluar.

Sebelum Gina menutup pintu kamar sang kakak, dirinya terdiam. Keningnya berkerut, kedua sorot mata penuh rasa curiga dicampur bingung terhias di netra hitam miliknya.

Gino dengan handphone yang selalu berada di genggamannya, ditambah dengan senyum yang selalu terlukis di wajah tampannya merupakan hal aneh dan sangat patut untuk dicurigai.

*****

Matahari mulai menampakkan diri. Suara ayam berkokok tidak pernah sekalipun Gina dengar selama tujuh belas tahun dirinya menjalani hidup. Tumbuh besar di daerah perkotaan membuat Ia hanya bisa menikmati suasana pagi dengan melihat matahari terbit dan suara sang Mama yang menggelegar ketika membangunkan anak-anaknya.

Walau belum pernah dibangunkan oleh suara ayam berkokok, tapi Gina bisa meyakini satu hal bahwa suara sang Mama yang seperti alarm itu pasti bisa mengalahkan suara kokokan ayam.

Pagi ini Gina merasa kantuknya sama sekali belum terselesaikan, fikirannya tentang jatuh cinta ditambah dengan kelakuan aneh Gino sukses mengacaukan jam tidur malamnya.

Gina terduduk di salah satu anak tangga. Langkah yang menuntun Gina untuk pergi ke dapur Dia hentikan. Kepalanya Ia serahkan kepada tembok yang bersedia menopang kepala Gina untuk menutup mata barang sejenak. Akan tetapi hal itu dirasakan Gina hanya beberapa menit, ketika suara Gian yang tidak kalah menggelegar dari sang Mama membuat matanya terpaksa membuka kembali.

"Ditemukan sebuah handphone di atas lemari makan. Yang merasa kehilangan silahkan menuju dapur keluarga Adhitama. Terimakasih."

Gina, Gino dan Gian jelas sudah sangat hafal dengan apa yang terjadi jika salah satu dari handphone ditemukan di salah satu tempat di rumah mereka. Sang Mama sama sekali tidak suka jika anak-anaknya memainkan handphone terlalu lama, apalagi sampai tidak tidur malam hanya karena benda pipih serbaguna tersebut. Jadi, handphone mereka akan disita dan disembunyikan jika ada salah satu dari mereka yang seharian tidak lepas dari handphone.

Gina bangkit berdiri, melangkahkan kakinya kembali menuju ke dapur. Saat sudah sampai, Gina melihat dua orang laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kembarnya.

Matanya yang sayu melirik ke arah dua manusia, terlihat keduanya melakukan hal berbeda satu sama lain. Yang satu dengan piyama berwarna biru tua sedang berkutat dengan penggorengan, sedangkan yang satu lagi dengan piyama berwarna hijau muda sedang berada di depan lemari makan.

Gina berjalan menuju salah satu kakak kembarnya yang berada di depan lemari makan. Ia ingin menanyakan suatu hal penting, tentunya berhubungan dengan salah satu pemikirannya semalam.

"Kak Gian, Kakak ngerasa gak sih kalau Kak Gino aneh dari kemaren? Suka senyum sama handphone. Pasti handphonenya disita sama Mama gara-gara kebanyakan maen hp. Curiga gak si kak?" Gina berdiri di belakang sang Kakak sembari meregangkan tubuhnya, berusaha melemaskan otot-ototnya yang kaku sehabis bangun tidur.

Setelah selesai dengan aktifitas meregangkan otot, Gina kembali melanjutkan perkataannya yang belum terselesaikan.

"Jangan-jangan Kak Gin---"

"Jangan-jangan Kak Gino kenapa, hm?" Suara yang tidak diharapkan Gina untuk menjawab terdengar menusuk hingga ke relung hatinya, menghantarkan rasa terkejut menjalar ke seluruh bagian tubuh.

Gino, kakak kembarnya yang berada di depan lemari makan itu membalikkan badannya menghadap ke arah Gina. Sedangkan Gina perlahan memundurkan tubuhnya yang masih terkejut.

"Jangan-jangan Kak Gino tuh blasteran Indonesia-surga ya? Kok bisa ganteng sama baik banget gitu?" Karena panik, otak Gina hanya bisa memberikan sinyal kepada mulutnya untuk berbicara seperti itu. Ekspresi Gino yang sebelumnya mengintimidasi, perlahan melunak. Lagi, Ia merasa gemas dengan jawaban serta kelakuan adik kembarnya ini.

Sudah hampir sepanjang hidupnya Gina bersama dengan Gian dan Gino, tapi mengapa Ia masih sering keliru ketika mengenali mereka? Dari postur tubuh hingga wajah hampir tidak ada yang bisa dibedakan. Gina merasa iri dengan kedua kakak kembarnya yang dengan mudah bisa membedakan dirinya dengan kembaran laki-laki yang satunya lagi. Sedangkan Ia? Sungguh ini merupakan cobaan berat.

"Gino, jangan kayak kemaren lagi. Kamu begadang sampe larut malem cuman buat chat-an. Kalau diulang bukan cuman Mama sita, tapi Mama banting di depan kamu saat itu juga." Seorang wanita berumur masih terlihat sangat muda tanpa kerutan di wajahnya itu menghampiri Gina dan Gino. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sorot matanya menatap tegas ke arah Gino yang menatap balik sang Mama.

"Iya Ma," jawab Gino. Aura yang dikeluarkan sang Mama sangat kuat. Bahkan Gian dan Gina yang bukan menjadi sasaran sang Mama pun merasakan apa yang dirasakan Gino. Perasaan seolah-olah sedang dicekik hanya dengan tatapan dan gestur tubuh sang Mama.

"Ada yang mau kamu sampaikan gak ke Mama, Gian, sama Gina? Soal chat-an kamu kemaren." Ucapan sang Mama membuat dua manusia ikut merasa terpanggil. Keduanya langsung menatap ke arah Gino dan sang Mama.

Gino juga ikut mengalihkan pandangannya ke arah Gian dan Gina bergantian, namun tidak lama. Tatapannya kembali Ia alihkan kepada Mama mereka. Gino mengangguk sembari berkata,

"Iya, ada yang mau Gino sampaikan."

avataravatar
Next chapter