30 29. Kemarahan Gino

Gina bangkit dari kasur, ia melepas selang oksigen yang sedari tadi terpasang di hidung mancungnya. Daripada melepas jarum infus dari tangan kirinya, Gina lebih memilih membawa cairan infus di genggamannya menuju ke arah pintu kamar untuk keluar mencari kakak kembarnya.

Tentu saja ia khawatir, bahkan sangat. Kenapa tiba-tiba Gian menjadi seperti itu dan mencari Gino? Selama tujuh belas tahun tumbuh bersama, Gian dan Gino belum pernah bertengkar sebelumnya. Dan saat ini, Gina sangat cemas akan kedua kakaknya itu.

Selagi sebelah tangannya yang tidak memegang cairan infus menarik gagang pintu lalu dibuka, Gina tersentak kaget saat penampakan tubuh besar Gian ada di hadapannya dan hendak membuka pintu kamarnya juga. 

"Kamu mau kemana?" tanya Gian. Dari kedua bahu Gian yang masih menegang dengan riak wajah yang menahan amarah, Gina tahu bahwa kakaknya itu masih menahan emosinya.

"Loh kok turun dari kasur?" Kali ini suara yang mengalun di telinga Gina terdengar lebih lembut daripada seorang Gian. Gino memiringkan wajahnya yang terhalang oleh kepala kakaknya agar bisa melihat apa yang dilakukan adik perempuannya lebih jelas lagi.

Gina yang sedang berhadapan dengan Gian, dan Gino yang berada di belakang kakak kembarnya dengan tangan yang membawa nampan berisi air putih dan coklat panas. Saling menatap bingung satu sama lain.

*****

Satu-satunya seorang gadis di kamar itu saat ini tengah menatap jenaka apa yang dilakukan kedua kakak kembarnya. Dengan sesekali menyesap coklat panas yang dibuat oleh Gino, Gina sesekali tertawa terpingkal-pingkal atas kelakuan dua manusia aneh itu.

"Kakak sekarang tutup mata, terus tarik nafas yang dalem." Gino dengan lembut memandu Gian yang sedang berusaha memadamkan api amarahnya. Mereka berdua duduk di atas lantai kamar Gina dengan posisi berhadapan satu sama lain.

"Pelan-pelan buang nafasnya, sambil bayangin semua kejahilan Gina yang bikin kak Gian kesel." Setelah mengucapkan hal tersebut, Gino dengan cepat mundur menjauh dari Gian yang memelototi dirinya. 

Kedua adik kembar Gian yang berada satu ruangan dengannya itu saat ini tengah terbahak keras. Membuat dada remaja laki-laki yang sedari tadi panas menahan amarah perlahan seperti menemukan tumpahan air yang dingin.

Gian mati-matian menahan senyumnya dan tetap mempertahankan muka garangnya melihat tawa lepas dari Gino da Gina. Kebahagiaan mereka tidak pernah gagal membuat dirinya juga merasa bahagia.

"Kakak minta kamu buat ngajarin gimana caranya sabar pas lagi emosi, bukannya bikin nambah emosi!" seru Gian sebal.

"Kak, cara ngatur emosi tiap orang tuh beda-beda. Siapa tau cara tadi beneran bikin Kak Gian jadi orang yang sabar, kan?" Gino tersentak sejenak saat Gian berdiri dan hendak melangkah ke arah dirinya. 

Gian berlari mengejar Gino yang terus berlari di sekeliling kamar adik kembar mereka untuk menghindari serangan dari dirinya. Tidak butuh waktu lama agar bisa menangkap Gino, sebelah tangan Gian segera mengukung leher kembaran laki-lakinya.

"Argh ... iya Kak, maafin Gino. Tadi cuman bercanda." Gino memegang sebelah lengan Gian yang memenjarakan lehernya agar terlepas. Kakak kembarnya itu tidak benar-benar mencekiknya, akan tetapi siapa yang tidak nyaman jika ada lengan besar yang mengukung leher seperti ini?

"Kok kamu bisa sih jadi orang sabar yang nggak pernah marah? Sekali-kali marah kek, nggak papa marahin kakak juga. Pengen liat aja kamu marah kayak gimana," tutur Gian tiba-tiba.

Bukannya melepaskan jeratan tangannya di leher sang adik, dirinya malah bertanya dan memerintahkan Gino memarahi dirinya. Sampai sosok yang lehernya tengah dijerat oleh Gian itu berhasil melepaskan kungkungan lengannya.

"Hah? Gimana-gimana? Kakak mau Gino marahin?" Gino menatap terkejut ke arah Gian yang sedang menatap serius ke arah dirinya. Memberi tahu kepada dirinya bahwa Gian tidak sedang main-main atas perkataannya tersebut.

"Iya, coba marah. Pura-pura juga nggak papa, asal tunjukin aja muka marah kamu itu ke Kakak."

Gino menggeleng, "Nggak bisa."

"Bisa, cepetan. Marahin Kakak coba," titah Gian sekali lagi. Rasa penasaran yang ada di dalam dirinya sungguh sudah tidak bisa terbendung lagi. Ingin rasanya melihat amarah adik kembarnya yang penyabar itu muncul.

Bahkan Gian rela sekali jika Gino membentak hingga memaki dirinya. Ayolah, ia hanya sangat penasaran.

"Oke," Dengan keraguan yang besar, Gino lebih memilih menuruti ucapan sang Kakak daripada memulai perdebatan tak berujung. 

Di lain sisi, Gina yang sedari tadi memerhatikan dengan sesekali tertawa melihat interaksi kedua kakak kembarnya, mulai menunjukkan rasa penasaran dan juga ketertarikan atas apa yang diminta Gian kepada Gino.

Kapan lagi ia melihat Gino marah, apalagi yang jadi objek kemarahan Gino untuk pertama kalinya adalah kakak kembar mereka sendiri. Sangat menarik.

Gino menarik nafas dalam, kemudian menghembuskan nafasnya dengan mata yang tertutup menghadap Gian. Pada saat kedua kelopak matanya terbuka, tatapan tajam nan menusuk dari manik hitamnya berhasil membuat Gian merinding.

Kedua tangan Gino mengepal di samping tubuhnya, bahunya menegang seiring dengan berjalannya waktu.

Kedua sisi bibirnya terbuka, siap melontarkan kalimat yang menunjukkan sebuah kemarahan yang besar. Dan kata-kata selanjutnya membuat Gian maupun Gina terperangah tak percaya.

"Gina ... gimana caranya marah?" Suara lembut itu sukses menghancurkan semua ekspektasi kedua saudara kembarnya. Gino berjalan menuju ke arah Gina, ia duduk di samping tempat tidur sembari menatap Gian pasrah.

Raut wajah tidak percaya dari Gian, ia lemparkan ke arah Gino. Bagaimana bisa adiknya ini malah bertanya bagaimana caranya marah kepada Gina?

"Kak, tolong jangan nyuruh Gino buat marah lagi, apalagi objek yang disuruh orang yang beneran aku sama Gina hormati. Lagian Kak Gian nggak salah apa-apa, kan?" tutur remaja laki-laki itu lembut.

Gian dan Gina sontak terdiam seribu bahasa mendengar lontaran kata darinya. Hati mereka menghangat, terutama Gian. Kemarahan yang ia bawa ke rumah sirna begitu saja. Dirinya merasa sangat dihargai, hal inilah yang membuat Gian ingin sekali melindungi kedua adik kembarnya.

Senyum tulus yang diselimuti kehangatan, Gian tunjukkan kepada kedua adik kembarnya. Ia melangkahkan kaki menuju ke arah Gino dan Gina berada. Setelah sampai di hadapan adik kembar laki-lakinya, ia menjulurkan tangan kemudian mengusak lembut puncak kepala Gino.

"Dasar kamu, ya. Adeknya Kakak," ujar Gian tulus.

Selama beberapa menit lamanya, suasana hening nan hangat memenuhi ruang kamar Gina. Ikatan batin serta kasih sayang mengalir nyaman di relung hati mereka, menandakan kasih sayang yang besar antara manusia yang terlahir bersama di dalam rahim yang sama.

"Dasar aku, ya. Adeknya Kak Gino yang baik, cantik, nggak pernah ngelawan, nurut terus ke kakaknya. Duh, anak baik banget Gina ini." 

Celetukan Gina membuat kedua kembarannya menoleh ke arah dirinya. Gino terkekeh melihat Gina yang tengah mengusap kepalanya dengan tangan sendiri. Ia mengusak kepala Gina gemas, menyingkirkan tangan adiknya dari kepalanya sendiri.

"Yakin apa yang kamu omongin tadi nggak terbalik? Nggak pernah ngelawan katanya?" Gian yang tadinya juga menatap gemas ke arah Gina, segera mengubah ekspresinya menjadi mimik wajah menyebalkan saat gadis itu melirik ke arah dirinya.

"Pastinya nggak terbalik lah. Adeknya Kak Gino gituloh," balas Gina tak kalah menyebalkan.

"Kamu juga adeknya Kakak." Gina menyeringai mendengar ucapan dari kakak tertuanya itu. Ia tahu, pasti Gian tidak terima dirinya hanya mengakui Gino sajalah yang menjadi kakak kembarnya.

"Lah? Sejak kapan?" Gina maupun Gino tertawa saat melihat ekspresi marah yang dibuat-buat oleh Gian. Tawa keduanya semakin keras tatkala Gian yang berjalan ke arah sofa lalu merajuk dengan bantal yang ia peluk erat menutupi seeluruh wajah dan setengah badannya.

"Aw ... Kakaknya Gina, jangan ngambek dong. Sini dipeluk sama adeknya." Dengan nada yang dibuat seperti seorang ibu yang membujuk anaknya, Gina menggoda Gian agar Kakaknya dengan Gino itu mendekat dan duduk di samping kasurnya.

"Nggak sudi! Daripada dipeluk sama kamu, kakak lebih seneng kalau dipeluk sama sapi! "

Setelah berteriak seperti itu, Gian ikut tertawa bersama kedua adik kembarnya. Ikut mentertawakan kekonyolan atas apa yang ia lontarkan beberapa detik lalu.

*****

Di sisi lain, tepatnya di balik pintu kamar Gina, seorang dokter perempuan sedang tersenyum bahagia. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca.

Melihat bagaimana interaksi ketiga anak kembar tersebut yang menandakan seberapa kuatnya mereka jika bersama-sama, walau takdir terus memukul keras Gian, Gino, dan Gina.

Mereka tetap tiga sosok anak remaja yang kuat.

Bahkan di dalam fikirannya yang paling dalam, seseorang sekelas psikiater hebat seperti Dokter Hani pun tidak akan pernah sanggup membayangkan jikalau ada perpecahan hubungan antara ketiga anak kembar tersebut.

avataravatar
Next chapter