27 26. Dokter Hani

"Udah saya bilang berapa kali sama kalian bertiga soal kondisi Gina? Meskipun gangguan mentalnya dari hari ke hari makin baik, bukan berarti bisa sebebasnya ngambil resiko besar kayak kemarin." 

Gina menghembuskan nafas kasar, ia sudah kembali di atas kasur kamarnya dengan infus dan selang oksigen yang sudah dipasangkan seperti semula. Gadis itu menatap kasihan ke arah pintu kamar miliknya.

Bukan, bukan karena ada yang perlu dikasihani pada pintu itu. Akan tetapi, Gina merasa kasihan dengan Gino yang sekarang sedang dimarahi habis-habisan oleh Psikiater pribadinya.

Sesaat setelah Gian mengantarkan sang Mama ke bandara, kakak sulungnya itu langsung pergi ke sekolah. Gina sendiri tentu tidak diperbolehkan sekolah terlebih dahulu, kondisinya yang belum stabil membuat dirinya harus banyak beristirahat di dalam kamar.

Sedangkan Gino, memilih untuk menemani adik kembarnya hari ini. Biarlah urusan Gian yang memberitahu pihak sekolah nanti. 

"Kalau suaranya masih kedengar sama gua sih, ngapain ngobrol pake keluar kamar segala," bisik Gina pada dirinya sendiri. Sebenarnya ia sedikit kesal dengan Psikiater yang satu itu, sudah suatu kebiasaan membicarakan orang lain dengan intonasi sebesar speaker konser.

Tidak lama kemudian, pintu kamar Gina terbuka. Memperlihatkan dua manusia berbeda gender dan usia tengah berjalan menuju ke arahnya. 

Di samping Gino yang kini duduk di sofa besar kamarnya, terdapat psikiater pribadi milik Gina yang telah menemani gadis malang itu selama tujuh tahun perjuangan menyembuhkan mentalnya.

"Gina cantik, manis, adeknya Gino-Gian. Gimana perasaanya setelah dipasangin lagi infus sama selangnya? Masih ada yang sakit kayak kemarin?" Saat pertanyaan tersebut terlontar dari Dokter Hani, Gina hanya diam tidak menjawab. 

Manik hitam milik Gina lebih tertarik memerhatikan wajah Dokter tersebut. Semakin dilihat, ada yang berbeda dari wajah perempuan itu. Gina terus menelisik, sampai akhirnya kepalanya menemukan dimanakah keganjalan yang sedari tadi mengusiknya.

"Dokter Hani kapan mau nikah?" tanya Gina gamblang. Tidak ada sedikitpun rasa canggung ataupun keraguan dari pertanyaannya. Satu lagi manusia yang bisa membuatnya menerima bahwa seorang Gina hidup di dunia yang kejam ini.

"Nggak tau, mungkin nanti kalau Gina sendiri udah sembuh," balas dokter muda itu santai. Hal itu tentu saja membuat Gina tersentuh, di balik besarnya uang yang sang Mama berikan untuk menggaji jasa Dokter Hani, Gina bisa merasakan ketulusan yang amat besar di setiap perlakuannya.

Gina melirik sekilas Gino yang sibuk mengetik sesuatu di handphone hitamnya. Tanpa sadar, bibir atas dan bawahnya melipat ke dalam. Kening gadis itu juga ikut mengkerut halus ketika netra hitamnya melihat raut lelah dari setiap sisi wajah Gino.

"Gina mau ngobrol sama Gino?" 

Atensinya kembali teralih saat dokter di hadapannya berujar. Di dalam lubuk hatinya, Gina selalu bergidik ngeri kepada psikiater muda tersebut. Hanya dengan melihat bagaimana sorot matanya, Dokter Hani seakan tahu seluruh isi fikiran seseorang.

Tanpa sadar Gina menggeleng pelan, sepertinya hanya dirinya saja yang bisa dokter itu mengerti.

"Nggak mau?" Gina tersentak halus. Lamunannya seketika terhempas begitu saja.

"Nggak mau apa?" jawab Gina bingung.

"Ngobrol sama Gino." Dokter Hani terkekeh, ia menatap Gina gemas. Akan tetapi, tidak ada yang tahu, bahkan Gina yang saat ini tengah menatap langsung ke arah sepasang mata perempuan itu.

Bahwa terdapat kesedihan yang mendalam dari kedua manik Asia milik Dokter Hani. Giginya menggertak rapat, menahan segala lonjakan kesedihan di dalam hatinya. Selama bertahun-tahun dirinya melihat bagaimana seseorang yang memiliki gangguan mental disembuhkan,

Hanya Gina yang sangat menyayat hatinya. Saat pertama kali gadis cantik itu diserahkan kepada dirinya untuk penyembuhan, Dokter Hani sendiri sampai bergetar saat mengetahui alasan mengapa mental Gina sampai hancur tidak terbentuk.

Anak perempuan yang baik dan memiliki hati setulus Gina, dilukai sedemikian rupa oleh kejamnya dunia. Saat takdir memukul ketiga anak kembar keluarga Adhitama, Gina mendapatkan pukulan lebih keras daripada kedua kakak kembarnya.

"Mau ... " Anggukan dan ungkapan Gina serahkan sebagai jawaban dari pertanyaan Dokter Hani. Selama beberapa menit, Gina terus bertatapan dengan psikiater perempuan tersebut. Berusaha menelisik apa yang saat ini Dokter Hani lamunkan.

Sampai ia mengangkat bahu tidak peduli. Tidak mau lebih lama bertatapan dengan Dokter Hani yang asik melamun dan tidak bisa ia telisik matanya, Gina memilih kembali menoleh ke arah Gino yang masih bertahan di posisi awal. 

Gadis remaja itu reflek tersenyum tatkala melihat kakak kembarnya tersenyum tulus ke arah handphone. Namun, tak lama kemudian senyumannya luntur. Gina baru saja ingat bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membuat Gino seperti itu selain satu orang,

Viona.

Mengingat fakta itu, tangannya sontak mengepal kuat hingga menimbulkan getaran. Matanya memerah menahan amarah. Dalam jangka waktu yang cepat, dadanya kembali terasa sesak dan sulit untuk dikendalikan.

Sampai sebuah tangan menggenggam tangan kanan Gina yang sedang mengepal. Hal itu berhasil membuat Gina tertarik lagi ke dunia nyata. Matanya mengerjap beberapa kali untuk mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terhanyut ke dalam pemikiran negatif.

"Semua bakal baik-baik aja, Gina. Tarik nafas, hembuskan. Kendaliin diri kamu. Nggak ada yang perlu di fikirkan lebih lagi untuk saat ini." Kata-kata Dokter Hani langsung masuk ke dalam telinga Gina, menghantarkan ke hati dan mencoba membuatnya tenang.

Gina terdiam, memandang wajah meneduhkan milik Dokter Hani. Ia mengangguk, kepalan tangannya melonggar. Nafasnya yang tadi sesak, kembali normal dibantu oleh selang oksigen. Gina menelan ludah susah payah, sadar bahwa tadi bisa saja serangan paniknya menyerang kembali.

"Nangis aja, Cantik. Saya bakal selalu berusaha ngedengerin kamu. Jangan takut, nggak bakal ada yang nyakitin kamu lagi." 

Dokter Hani yang merasa harus melaksanakan tugasnya saat itu juga, langsung mendekat ke arah Gina.Memberikan usapan lembut serta kata-kata penenang ke arah gadis malang di depannya.

Gina menatap hampa ke arah psikiater itu, pupil matanya bergetar dengan air mata berlinang. Siap menumpahkan semuanya hanya dengan sekali kedipan. Dan pada saat seperti inilah, Gina menunjukan sisi dirinya yang sebenarnya.

Rapuh. 

Seperti daun kering yang mudah sekali hancur hanya dengan sentuhan pelan. Seperti kaca tipis, hanya dengan goncangan yang tidak seberapa, kaca itu akan pecah hingga berkeping-keping.

"G-gina takut ... " Air mata Gina keluar, bibirnya bergetar hebat ketika akan mengucapkan apa yang dirasakannya saat ini.

"Takut kenapa?" tanya Dokter Hani sabar. Ia berusaha menampilkan ekspresi menenangkan agar Gina bisa mengeluarkan seluruh perasaanya. Walau sebenarnya, ingin sekali psikiater tersebut menangis melihat pasien pribadinya seperti ini.

Gina sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Seseorang dari sekian banyak manusia yang disayanginya. Gadis baik yang seharusnya mempunyai kehidupan bahagia seperti remaja pada umumnya.

"Kalau Kak Gino sakit, Gina pasti bakal lebih sakit," cicit Gina. seluruh tubuhnya bergetar, ekspresi wajahnya sudah tidak bisa dikendalikan lagi, ketakutan yang amat besar mendominasi seluruh perasaannya kali ini.

"Kak Gino?" Dokter Hani sukses dilanda oleh kebingungan. 

Dirinya tidak menyangka atas apa yang telah Gina beritahu kepada dirinya. Awalnya, ia maupun seluruh keluarga Gina mengira bahwa serangan panik yang diterima oleh Gina adalah reaksi penolakan dari orang baru yang masuk ke dalam kehidupannya.

Jantung Dokter perempuan itu mulai berdebar kencang, perkiraannya salah. Ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari kasus mental Gina kali ini.

"G-gina nggak mau ... Dokter Hani, tolongin Kak Gino, Gina t-takut,"  rancau Gina. Intonasi suaranya semakin pelan dan tidak terkontrol. 

Yang ada di fikiran gadis itu hanyalah ketakutan. Bahkan walaupun yang ada di hadapannya saat ini adalah Dokter Hani, yang ia lihat hanyalah bayang-bayang wajah Gino yang terlihat dirundung oleh kesedihan yang menyakitkan.

"Gina nggak papa, t-tapi Kak Gino ... " Sesaat setelah Gina mengucapkan hal tersebut, tubuh gadis cantik itu jatuh begitu saja di pelukan Dokter Hani yang perlahan meluncurkan air matanya.

avataravatar
Next chapter