"Tujuan? Buat dipake sama kalian lah, apa lagi?" Seakan enggan untuk serius dan kembali untuk memilih menjahili anaknya, jawaban sang Papa tidak bisa membuat raut penasaran itu luntur dari wajah Gino.
Sang Papa menghela nafas pelan, sorot matanya kembali melembut dan siap untuk menjelaskan semuanya kepada tiga anak kembarnya. Memang, dari awal dirinya memberikan tiga buah gelang itu memiliki tujuan juga alasan yang amat kuat.
"Coba pake masing-masing di tangan kiri kalian," titah sang Papa. Kali ini, tidak ada nada guyonan ataupun tanda-tanda munculnya kekehan yang sedari tadi Papa mereka tunjukan.
Menurut, Gian, Gino, dan Gina segera memasangkan gelang tersebut di tangan kiri mereka. Tatkala kedua kakak kembarnya sudah kembali mengalihkan atensinya kepada sang Papa setelah memasangkan gelang di tangan mereka, lain halnya dengan Gina.
Satu-satunya anak perempuan di kamar rumah sakit itu masih sibuk mengernyitkan dahinya memandang 'tali' yang melingkar di tangan kirinya. Dirinya masih bertanya-tanya dimana letak 'seumur hidup' yang Papanya maksud.
"Gina," panggil sang Papa. Ia tahu betul bahwa anak bungsunya itu sedang dilanda sedikit kekecewaan atas apa yang dirinya berikan.
"Hm? Ya Pa, ada apa?" Gina menegakkan tubuhnya yang tengah terduduk lalu menatap sang Papa dengan manik hitamnya yang membulat lucu.
Sebelum menjawab pertanyaan Gina, sang Papa mengulum bibirnya, menahan kekehan gemas agar tidak keluar lagi dari mulutnya. Saat ini, seorang ayah beranak tiga tersebut ingin menunjukkan aura serius kepada anak-anak kembarnya.
"Gimana? Suka nggak sama gelangnya?"
Ketika mendapatkan pertanyaan itu dari sang Papa, Gina mengatupkan mulutnya rapat, dalam hati ingin rasanya ia mengumpat seperti apa yang diajarkan teman sekolahnya beberapa hari lalu jika berada di situasi seperti ini.
Manik hitam Gina melirik bergantian ke kanan dan kekiri, menimbang apakah saat ini ia harus berbohong atau mengatakan yang sejujurnya. Gina takut menyakiti hati sang Papa jika berkata jujur.
Akan tetapi, kebimbangan Gina segera berakhir saat maniknya berhenti tepat di mana dua pasang netra hitam milik kakak kembarnya berada. Ia ingat, Gian dan Gino tidak pernah lelah untuk mengingatkannya satu hal,
Bahwa berbicara jujur lebih baik daripada berbohong.
Gina menggeleng kecil, mulutnya terbuka untuk mengutarakan apa yang ia pikirkan kepada sang Papa. "Kayak gelang lima ribuan yang ada di sekolah, Gina kurang suka."
Dan pada saat itu juga, sebuah tawa pecah dari mulut sang Papa. Sekarang ia paham mengapa Gina terlihat beberapa kali mengernyit bingung ketika melihat gelang miliknya. Sedangkan Gino dan Gian melotot tidak percaya.
Adik kembar mereka mengira bahwa gelang yang talinya saja sudah memiliki harga ratusan juta rupiah sebanding dengan gelang tali lima ribuan di sekolah. Gian sendiri berdecak miris atas otak brilian milik Gina.
"Oke-oke, soal harga nggak penting. Sekarang, Papa mau kalian fokus sama dua buah benda kecil yang ngegantung di bagian tengah-tengah gelang." Gian, Gino, dan Gina serentak mengangkat tangan kiri mereka dan meneliti dua buah charm itu lamat-lamat.
"Satu haruf 'G' besar, satu lagi huruf 'g' kecil. Maksudnya apa, Pa?"Gian bertanya sembari bergumam. Ia menarik tangan kiri Gino yang juga sedang sibuk memperhatikan gelang miliknya sendiri.
"Sama," gumam Gian lagi.
"Tapi kalau yang Gina dua-duanya huruf besar, beda sama punyanya Kak Gian sama Kak Gino." Kerutan di dahi Gina kini terlihat semakin dalam. Mengapa di antara kedua kebarannya, dari segi apapun gelang miliknya lebih berbeda.
Selama beberapa menit, suara apapun tidak terdengar sebagai jawaban yang ketiga anak kembar itu nantikan. Membuat ruangan itu sepi selama beberapa menit lamanya.
"Pa?" Untuk kedua kalinya dalam hari ini dan mengucapkan hal yang sama, Gian, Gino dan Gina memanggil sang Papa secara bersamaan.
Saat atensi ketiga anak kembar itu mereka alihkan kepada sang Papa, diantara mereka tidak ada yang tidak terperanjat kaget saat melihat kondisi Papa mereka yang sedang memejamkan matanya dengan nafas berat dan bibir yang semakin memutih.
"Papa!" pekik Gina panik. Dengan cepat, ia dan kedua kakak kembarnya menghampiri sang Papa yang tengah berbaring lemas. Mereka mencoba membangunkan sang Papa yang memejamkan matanya.
Usaha mereka tidak sia-sia, sang Papa perlahan membuka matanya. Menatap satu-satu anak kembarnya yang tengah menahan tangis. Dengan lemah, sang Papa menenangkan Gian, Gino dan Gina agar tidak mengkhawatirkannya.
"Papa nggak apa-apa, jangan nangis, ya?" Ketiga anak kembar tersebut tentu tidak percaya dengan apa yang Papa mereka ucapkan. Gina dan Gino menggeleng sambil mengelus pipi sang Papa, sedangkan Gian kembali berancang-ancang untuk turun dari kasur dan memanggil dokter.
"Jangan, jangan kemana-mana. Duduk lagi, Gian. Papa nggak papa."
"Tapi Pa ... " Sang Papa menggeleng, menatap anak-anaknya agar diam di tempat dan mendengarkan apa yang akan dirinya katakan. Ia tidak boleh membuang waktu lagi.
"Kalian mau tau kan, kenapa Papa ngasih gelang itu?" tanya sang Papa dengan intonasi lebih lemah daripada sebelumnya. Ketiga anak kembarnya hanya diam, menatap sang Papa menunggu apa yang akan diucapkan Papa mereka selanjutnya.
"Simbol." Sang Papa menjeda ucapannya sejenak, dadanya semakin berat dan sulit untuk berbicara. "Tiga buah benda, yang menggambarkan ikatan kalian bertiga, anak kembar Papa."
"G besar untuk inisial nama Gian dan Gino, sedangkan 'g' kecil, untuk inisial Gina." Masing-masing dari mereka menunduk, memperhatikan gelang yang diberi oleh sang Papa sekaligus menolak memandang bagaimana memprihatinkannya kondisi Papa mereka sekarang.
"Dua buah charm inisial itu, yang bakal ngingetin kalian sama kembaran masing-masing. Saling menjaga satu sama lain, selalu ada buat kalian."
"Gina punya dua kembaran, yaitu Gian sama Gino. Itu kenapa Gina punya gelang yang inisialnya dua buah 'G' besar." Sang Papa menyunggingkan senyum tipis ketika Gina menatap matanya lekat.
"Gian punya charm satu 'G' besar, satu lagi 'g' kecil. Itu berarti kembaran Gian yang bisa ngelindungin dia ada dua, Gino dan Gina," lanjut sang Papa kali ini ia menjelaskan makna gelang milik anak sulungnya.
"Dan Gino, bakal selalu inget bahwa dia bisa selalu ada buat dua adik sama kakak kembarnya."
Setelah penjelasan sang Papa terhenti, baik Gina, Gino, maupun Gian sama-sama termangu di tempat. Sekarang mereka paham--Ralat, lebih dari memahami apa maksud sang Papa memberikan gelang tersebut.
Dan lagi, kata 'seumur hidup' sudah masuk akal sekarang. Sang Papa memerintahkan mereka agar tidak pernah melepas gelang masing-masing yang artinya ikatan itu akan selalu ada sampai mereka mati. Kecuali, jika diputuskan secara sengaja.
"Papa yakin, kalian bisa ngabulin permintaan Papa buat nggak pernah ngerusak gelang itu secara sengaja. Papa percaya sama kalian." Ucapan terakhir dari sang Papa tersebut merupakan perkataan dengan intonasi paling lemah.
"Papa, jangan tutup matanya." Kali ini suara Gina bergetar hebat, air mata sudah membanjiri pipi gembil anak perempuan berumur sepuluh tahun itu dan hanya senyuman lemah lah yang Gina dapatkan.
Mata sang Papa terpejam dengan hembusan nafas yang lemah.
"KAK GIAN PANGGILIN DOKTER!" Dan teriakan Gina lah, yang menjadi akhir dari hari dimana mereka mendapatkan benda yang sangat amat berharga dari Papa mereka.
Jangan lupa tinggalin jejak ❤️ dan makasih yang selalu setia nunggu si kembar up ^^