21 20. Sejarah Gelang

Pada malam yang larut di kota Jakarta, sebuah mobil berwarna silver membelah jalanan kota dengan kecepatan tinggi. Fikirannya kalut memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika saja malam ini dirinya tidak bisa memperbaiki apa yang telah rusak di luar kendali sang pemilik.

Suara dering telepon membuat Gian menekan tombol hijau untuk mengangkatnya.

"Kak, jangan ngebut. Di luar topik tentang gelang, Gina juga pasti bakal lebih sakit kalau Kak Gian kenapa-napa." Seolah merasakan jika Gian sedang sulit untuk mengendalikan dirinya, Gino menelfon kakak kembarnya tersebut agar merasa lebih tenang.

Setelah meminta izin kepada sang Mama yang terlihat sama paniknya dengan mereka untuk mengantar Viona dan berusaha memperbaiki gelang, Gian dan Gino sekarang sedang berada di dalam mobil masing-masing dengan arah dan tujuan yang berbeda.

Ditepikannya mobil silver itu agar Gian bisa tenang barang sejenak. Ia menghela nafas gusar, manik hitamnya tidak berhenti melirik benda yang selama ini 'membantu' Gina untuk bertahan. Entah seburuk apa kondisi mental Gina nanti jika sang empu tahu gelang pemberian sang Papa putus.

"Tenang, kak. Gina nggak bakal kenapa-napa. Gino sendiri yakin kalau besok gelang itu bisa bener lagi sebelum Gina sadar," ujar Gino di seberang telepon. 

Tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi, Gian segera menancapkan gasnya dengan kecepatan sedang. Hatinya sedikit merasakan ketenangan saat Gino menelfonnya. Tanpa menjawab apapun, Gian yakin adik kembarnya itu sudah tahu bahwa dirinya berhasil mengendalikan diri.

"Gino." panggil Gian pelan.

"Ya?"

"Inget waktu pertama kali Papa ngasih gelang ini ke kita sama Gina? Papa bilang kalau gelang yang Papa kasih itu--" Gian menjeda ucapannya sebentar. Memori tujuh tahun lalu kembali berputar di kepalanya. Tanpa sadar, air kembali tergenang di kedua matanya. Gian sungguh rindu masa-masa ketika Papanya masih ada.

"Simbol ikatan kita bertiga. Barang yang Papa kasih terakhir kali sebelum dia meninggal." Saat tahu bahwa Gian tidak bisa melanjutkan, Gino membantu sang Kakak untuk menjawab.

Di seberang sana, Gino mencengkram kemudi mobil kuat-kuat. Tidak ingin air mata mengganggu konsentrasinya menyetir. Gino bersyukur kekasihnya sudah tidur beberapa menit yang lalu, sehingga ia tidak akan melihat keadaan Gino yang rapuh lagi seperti tadi.

"Waktu itu Gina cuman anak perempuan normal yang bener-bener ceria. Sebelum orang-orang jahat itu datang buat ngehancurin Gina sehancur-hancurnya." Suara Gino perlahan bergetar. Hatinya sesak, apapun yang menyangkut tentang gelang pemberian sang Papa selalu berhasil membuat mereka emosional.

"Gin, Kakak kangen sama Papa." Hati Gino serasa ditikam begitu kuat saat Gian dengan lirihnya mengucapkan hal itu kepada dirinya. Kakak kembarnya yang satu itu, yang selalu berusaha tegar di depan dirinya dan Gina, sekarang mengungkapkan seberapa besar rindunya kepada sang Papa.

Gino reflek menepikan mobilnya di tepi jalan, padahal bebepara meter lagi dirinya sampai di perumahan tempat dimana rumah Viona berada. Ia menumpukan kepalanya di atas kemudi mobil, meluruhkan air mata yang sedari tadi ia tahan tanpa suara.

Tidak jauh berbeda dengan Gino, Gian juga menangis tanpa suara. Kecepatan mobilnya ia turunkan selambat-lambatnya agar tetap bisa mengemudi ke tempat tujuan tanpa mencelakai dirinya sendiri.

"Masih inget waktu Papa ngasih gelang ke kita waktu pulang sekolah dulu?" Kali ini Gian yang mendominasi pembicaraan. Moment yang tidak akan Gian, Gino maupun Gina lupakan sampai kapanpun.

"Waktu itu, Kakak ngerasa kalau ngejalanin hidup dan ngejaga Gina sama kamu, bukan suatu hal yang berat."

"Masih inget, kan?" lanjut Gian. Isakan lirih mulai keluar dari bibirnya yang sedari tadi bergetar menahan tangis. Gino sendiri menghempaskan punggungnya ke belakang, sebelah tangannya menutup mata berusaha keras untuk menghapus air matanya.

Tentu saja ia masih ingat, di antara mereka, melupakan salah satu hari membahagiakan merupakan sebuah mimpi buruk. Terlebih jika pengalaman itu merupakan moment terbaik bersama Papa mereka.

Pada saat itu mereka masih sangat polos, segala masalah tertahan di punggung tegap sang Papa. Melindungi mereka dari segala hal buruk yang akan menimpa ketiga anak kembarnya. Saat sang Papa masih ada, setiap hari mereka merasa lengkap, hangat, dan penuh dengan kebahagiaan.

*****

"Papa!" Suara lengkingan khas seorang anak perempuan mengusik sebagian penghuni rumah sakit, bersamaan dengan terbukanya pintu salah satu kamar rawat paling besar di rumah sakit ini.

Sang Papa yang sedang membaringkan tubuh lemasnya sembari menatap jendela, melemparkan pandangannya ke arah pintu, ia sedikit menaikkan kasurnya agar bisa menjadi sedikit terduduk. Sebuah senyum mengembang di bibir pucatnya saat melihat ketiga anak kecil berumur sepuluh tahun menuju ke arahnya dengan muka berseri.

"Shuut ... Kecilin volume suaranya, Gina," saut sang Papa dengan nada pelan sembari meletakkan satu telunjuknya di depan bibir.

Gina kecil yang tersadar dengan perlakuannya yang tidak boleh dilakukan di rumah sakit pun sedikit terkejut.

"Ups! Oke." Gina menjawab teguran lembut sang Papa dengan kedua tangan menutup mulutnya. Saat menjawab pun Gina benar-benar menggunakan volume kecil yang nyaris tidak terdengar.

Hal itu sontak membuat sang Papa terkekeh gemas, begitu juga dengan Gino yang sedari tadi memperhatikan sang Papa dan Gina. Sedangkan Gian, dirinya sibuk memperhatikan selembar kertas dengan kening mengkerut bingung disertai wajah kesal tidak terima.

"Gian, ada apa? Kok mukanya kusut kayak gitu?" Menyadari ada satu putranya yang terlihat dalam suasana hati yang buruk, sang Papa segera mengkode ketiga anak kembarnya untuk mendekat dan duduk di atas tempat tidur rumah sakit yang cukup besar.

Setelah Gina, Gino dan Gian duduk dengan posisi Gian dan Gino berada di samping Papa mereka dan Gina berada di depannya, sang Papa mengangkat tangannya untuk mengusap kepala ketiga anaknya tersebut. Usapan penuh kasih sayang yang besar dari sosok seorang ayah kepada anak-anaknya.

"Pa," ucap Gian, Gino, dan Gina berbarengan. Mereka terdiam sejenak sebelum suara tawa pecah di seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit yang mereka tempati ini. Sudah merupakan hal biasa jika mereka melakukan sesuatu secara bersamaan seperti tadi.

"Gina dul-- oke nggak jadi. Kakak-kakak duluan aja yang ngomong." Gina menghentikan ucapannya saat kedua netra hitam miliknya melihat sesuatu yang disembunyikan di belakang punggung sang Papa. 

Gina tersenyum lebar saat tahu bahwa benda yang di sembunyikan sang Papa pasti sesuatu yang akan membuat Gina merasa senang. Seperti mainan, mungkin? pikirnya.

"Jadi, Pa--" 

"Papa ngebeliin mainan baru lagi bukan buat Gina sama Kakak? Kenapa di sembunyiin di belakang punggung?" Dengan seenak jidat Gina memotong ucapan yang akan Gian sampaikan kepada Papa mereka. 

Gian sontak melemparkan tatapan jengkel ke arah Gina, sedangkan Gino hanya tersenyum lembut melihat kelakuan adik kembarnya yang satu itu.

"Ini?" Sang Papa mengeluarkan sebelah tangannya yang sedari tadi bersembunyi di belakang punggung, memperlihatkan sebuah kotak lumayan besar berwarna biru muda ditambah tekstur beludru ke hadapan ketiga anaknya.

"Itu apa, Pa?" Kali ini giliran Gino yang bertanya.

"Kalau Papa kasih tau ini apa, kalian bisa janji bakal nyeritain apa yang kalian lakuin di sekolah hari ini, hm?"

Ketiga anak kembar itu mengangguk antusias. Tidak sabar ingin mengetahui apa yang akan diberikan oleh sang Papa kali ini.

"Ini sesuatu yang bakal kalian pakai ..." Ucapan sang Papa sengaja digantung oleh sang pemilik suara. Sebelum kembali melanjutkan, "Seumur hidup."

avataravatar
Next chapter