19 18. Serangan Panik (2)

Sebelum seluruh keluarganya sadar akan keterkejutannya, Gina sesegera mungkin mengubah ekspresi terkejutnya menjadi senyum ramah yang dipaksakan. 

"Gina, adik kembarnya Gino." Bibirnya sedikit berkedut menahan senyum miris yang hendak menerobos pertahanan senyum ramahnya. Gina tidak menyebutkan nama belakang yang sudah menjadi marganya sejak lahir.

Jika dahulu sebelum sang Papa meninggalkannya untuk selama-lamanya, Gina sangat menyukai marga yang tersemat di bagian belakang namanya juga kedua kakak kembarnya. Akan tetapi, kali ini setelah kejadian yang membuat Gina sampai pada titik terendahnya, Gina membenci menjadi bagian dari keluarga Adhitama. 

Nama belakang yang membuatnya menjadi seperti sekarang.

Setelah jabat tangan dengan Viona dirasa sudah cukup, Gina menarik tangannya dengan tergesa, menyembunyikan keringat dingin yang ia yakini dalam beberapa menit kedepan akan membanjiri seluruh bagian tubuhnya.

Gino yang sedari tadi memperhatikan proses perkenalan Gina dengan kekasihnya sedikit mengernyitkan dahi curiga. Sebelum ia tampik hal tersebut saat melihat Gina yang menarik bibirnya menjadi melengkung membentuk sebuah senyuman.

"Jadi, kenapa tadi nggak langsung dateng kesini? Nggak bakal ada yang gigit padahal." Ucapan disertai kekehan yang keluar dari mulut sang Mama membuat Viona tersipu malu. Ia menoleh ke arah Gino memberikan kode untuk meminta pertolongan agar bisa menjawab pertanyaan calon mertuanya.

Sedangkan Gino hanya bisa menatap Viona dengan lembut. Pancaran kasih sayang terlihat sangat jelas di dalam netra hitam tersebut. Gino sendiri merasa sangat bahagia setelah menerima fakta bahwa seluruh keluarganya terlihat menerima Viona dengan tangan terbuka.

"Hayoloh, hati-hati. Bisa gagal restunya kalau nggak ngejawab pertanyaan dari Mama," saut Gian yang merasa ikut berbunga-bunga mendapatkan satu orang lagi sasaran empuk untuk dirinya jahili nantinya. Ia menatap menggoda ke arah Gino yang sedang menghela nafas mengetahui apa yang ada di fikiran kakak kembarnya.

Ia menggenggam sebelah tangan Viona yang terlihat sedikit pucat. Kekasihnya yang satu ini benar-benar sangat polos, dengan mudahnya ia percaya apa yang dikatakan oleh Gian. Elusan pelan di tangan Viona membuat sang empu pemilik tangan kembali menoleh ke arah kekasihnya yang sedang menatapnya lembut penuh ketenangan.

Viona tersenyum, dirinya membalas tatapan Gino dengan senyum manis tanda terima kasih. Setidaknya dia tidak akan merasakan suatu hal buruk yang bisa saja terjadi saat ini jika Gino selalu berada di sampingya. Melindundinya dari ancaman apapun termasuk penolakan dari keluarga Gino sendiri.

"Itu tante, tadi nggak tau kenapa gugup aja gitu. Kata Gino sih wajar, tapikan--" Viona menjeda ucapannya. Ia beberapa kali memberikan sedikit clue agar setidaknya keluarga Gino mengerti apa yang dirinya maksud. Beberapa kali juga dirinya memberikan gestur gelisah, memikirkan apa reaksi keluarga Gino setelah ia memberikan penjelasan tidak jelasnya ini.

"Ya gitu tante, pokoknya gitu," lanjut Viona yang membuat suasana malam itu kembali diselimuti oleh tawa. Sang Mama dan Gian sangat yakin bahwa Viona merupakan seseorang yang baik. Sangat cocok disandingkan dengan Gino yang memiliki sifat tidak jauh berbeda.

Gino sendiri mengusak pelan kepala Viona menahan rasa gemasnya terhadap sang kekasih saat ini. Sifatnya yang seperti inilah, salah satu alasan mengapa Gino sangat mencintai Viona.

Di tengah kebahagiaan yang sedang melingkupi sebagian keluarga Adhitama beserta calon keluarga baru mereka, ada Gina yang tidak pernah mengalihkan sedikitpun pandangannya dari semua ekspresi keluarganya.

Terutama Gino. Memang tidak jarang Gina melihat pancaran kebahagiaan itu terpancar di manik hitam Gino, akan tetapi kali ini seakan-akan kebahagiaan tersebut sudah dilipat gandakan berkali-kali lipat lebih besar daripada yang sebelumya.

Tentu saja Gina sangat bahagia melihat kembarannya seperti itu, hatinya secara langsung menghangat. Ikatan batinnya dengan Gino sangat kuat, Gina yakin Gian juga pasti menerima perasaan kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan.

Hanya satu yang membuat Gina tidak tenang, yaitu kekasih Gino. Tanpa sadar Gina melayangkan tatapan marahnya ke arah Viona secara gamblang. Hal itu tentunya tidak diketahui oleh keluarganya yang lain. Mereka seolah lupa akan keberadaan Gina dengan traumanya.

Membuat sesuatu yang Gina cegah sedari tadi perlahan masuk ke dalam pemikirannya. Memberikan sinyal peringatan bahaya kepada hatinya yang rapuh. Gina berusaha menahannya, setidaknya hari ini ia tidak ingin melunturkan suasana bahagia menjadi penuh dengan kesedihan.

Namun, perjuangan Gina perlahan terputus. Sepersekian detik kemudian, mata Gina terpejam erat. Merasakan bagaimana rasa sesak dengan cepat menghimpit paru-parunya.

Takut, hanya itu yang sekarang ia fikirkan saat ini. Membuat badan Gina melemas, tangannya yang sedari tadi ia kepal, terus mengeluarkan keringat dingin yang berlebihan.

Hanya dirinya.

Hanya Gina yang pernah melihat sesuatu yang buruk tentang Viona. Memang bukan hal besar baginya, namun akan menjadi sesuatu yang berbahaya bagi Gino.

Melihat seberapa cintanya Gino kepada Viona berkemungkinan besar dapat membuat hati lembut kakaknya itu akan hancur berkeping-keping. Jika hal itu terjadi, Gina khawatir dengan psikis Gino nantinya.

Membayangkan hal itu akan terjadi dengan Gino kedepannya membuat pemikiran Gina semakin kalut. Ia tidak ingin salah satu diantara orang-orang yang disayanginya terluka. Apalagi Gino merupakan kembarannya yang sudah hidup bersama selama belasan tahun dengan Gina juga Gian.

Dan satu lagi yang sangat ditakuti oleh Gina.

Bagaimana jika Viona sama saja dengan 'mereka'? Sama dengan orang-orang jahat di luaran sana, ditambah Gina sudah mengetahui satu hal buruk tentang kekasih Gino tersebut. Gina yakin, Viona pasti akan menyakitinya juga. Membuat Gina semakin jatuh ke dalam jurang tanpa dasar.

Tidak, tidak mungkin.

"Jangan, jangan Gina mohon." Lirihan memilukan meluncur bebas begitu saja dari mulut Gina. Memorinya kembali berputar pada kejadian tujuh tahun lalu, membuat tubuh Gina semakin lama semakin membungkuk, bahkan wajah pucat tersebut sudah hampir menyentuh lutut Gina yang sedang terduduk.

Dimulai dari bawah kaki hingga atas kepala, rasa kesemutan memenuhi seluruh tubuh Gina. Dadanya semakin lama semakin terasa sesak, Gina merasa hampir tidak bisa bernafas. Tangan kanannya yang bergetar mencoba mencari gelang pemberian sang Papa dan mencengkramnya erat.

Jantungnya terasa sangat nyeri karena detakannya sudah tidak terkendali. Yang ia andalkan saat ini hanyalah pendengarannya, Gina berharap agar indra itu tidak ikut terserang juga. Hanya telinganya yang setidaknya dapat membuat Gina mengendalikan dirinya.

Setidaknya suara tawa menggelegar dari ketiga orang yang ia sayangi masih terdengar jelas.

Walau nyatanya setelah Gina menerima serangan bertubi-tubi dari gangguan mentalnya memungkinkan dirinya tidak akan bisa bertahan malam ini.

Deg.

Terlambat. Telinga Gina saat ini sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Jantung berdebar, dada yang terasa sesak, tubuh yang tidak berenti merasa kesemutan, keringat dingin yang tidak pernah berhenti dan pendengarannya yang hilang sukses meluncurkan satu tetes air mata keluar begitu saja dari mata Gina yang terpejam.

Gina merasa bahwa dirinya akan mati.

Rasa sakit ini sungguh tidak bisa Gina tahan lagi, ia hanya bisa mencengkarm erat gelang pemberian almarhum Papanya. Mencoba mencari ketenangan di dalam sana.

"Papa, tolong Gina. Gina takut, hiks." Di tengah isakannya, Gina menggumam memohon pertolongan kepada sang Papa. Ia ingin merasakan pelukan hangat penuh perlindungan yang sudah lama tidak ia rasakan lagi.

Sedetik setelah Gina berharap Papanya melindunginya, perlahan kesadaran Gina terenggut begitu saja. Menyerahkan jiwa dan raganya kepada kegelapan yang membelenggu.

avataravatar
Next chapter