18 17. Kehadiran Octaviona

Wajah Gina sedari tadi tertekuk jengkel. Dirinya terus menunggu Gian dan Mamanya menghentikan tawa yang entah kenapa bertambah kencang setiap detiknya. Tak ayal dadanya terasa hangat, tenggelam dalam suasana tawa kebahagiaan.

Setelah suara tawa secara perlahan memudar, Gina berniat untuk mengecek apakah Gino dan calon kakak iparnya itu sudah sampai atau belum. Ia sedikit menegangkan lehernya agar lebih tinngi, decakan kesal keluar dari dalam mulutnya saat kepala Gian menghalangi pandangannya menuju ke arah pintu.

Di detik itu juga manik hitam miliknya beradu dengan manik hitam milik Gino. Binar kebahagiaan yang terpancar dari kedua mata Gino membuat Gina spontan melengkungkan bibirnya ke atas.

Di belakang Gino, Gina jelas melihat ada seorang perempuan sedang bersembunyi di bahu lebar kakaknya. Hal itu membuat Gina terkekeh pelan, ternyata benar apa yang dikatakan sang Mama beberapa saat lalu bahwa pacar Gino adalah seseorang yang pemalu.

"Oh, Gino!" teriak Gian ketika mengetahui jika Gino sudah berada di atap untuk makan malam. 

Teriakan Gino menyebabkan sang Mama yang sedang mencari sesuatu di tas nya segera mengangkat kepala. Sama seperti reaksi Gina ketika melihat seorang gadis di belakang punggung Gino, sang Mama langsung mengukir sebuah senyuman.

Walaupun kegelisahan masih hinggap di relung hati Gina, ia terus meyakinkan dirinya sendiri saat ini. Hatinya sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk atas traumanya selama ini. Mau bagaimanapun, traumanya belum sembuh, hanya saja beberapa bulan ini sudah menunjukkan perkembangan yang baik.

Akan tetapi, Gina percaya atas semua ucapan Gino kepada dirinya bahwa Viona orang baik yang tidak akan pernah sekalipun menyakiti orang lain terutama Gina. 

Hingga langkah demi langkah Gino arahkan ke arah di mana keluarganya berkumpul. Menghantarkan kebahagiaan yang bisa dengan jelas kedua saudara kembarnya rasakan. Genggaman tangan pada pujaan hatinya terus ia eratkan, berharap dengan perlakuannya itu bisa membuat Viona tenang barang sedikit.

Merasa sudah sampai di depan ketiga orang yang ditujunya, Gino dengan lembut berusaha menarik Viona ke depan. Berniat untuk memperkenalkan gadisnya.

"Ada aku, sayang. Tenang," ucap Gino disaat dirinya merasa sang kekasih enggan untuk keluar dari lindungan punggungnya. 

Dirasa Viona sudah akan melangkahkan kakinya untuk menunjukkan diri, suara Gina yang menyambut kekasihnya menggunakan suara yang riang sukses membuat gadis itu berlindung di balik punggungnya lagi.

"Viona! Udah nggak papa ayo, yang suka ngegigit Kak Gian kok, bukan Gina." 

Sontak hal tersebut membuat Gian melotot ke arah Gina, akan tetapi untuk menjaga wibawanya sebagai kakak tertua di depan gadisnya Gino, ia menahan segala  gemuruh kesal di hatinya. Biar saja sehabis makan malam ini dia akan benar-benar menambah dosis kejahilan untuk Gina.

"Udah kamu siapin aja hadiah itu buat Octaviona. Jangan malu-maluin, Gina."

Dan dengan ajaibnya, tanpa sebuah perdebatan atau apapun yang membuat sebuah kerusuhan tercipta lagi antara Gian dan Gina. Gadis bungsu keluarga Adhitama itu dengan cepat menurut atas apa yang di katakan oleh sang Kakak.

"Oke." Satu kata yang meluncur dari mulut Gina yang membuat kakaknya dan sang Mama sedikit terkejut. Tidak biasanya gadis menyebalkan itu menurut begitu saja.

Gina menunduk, membatasi pandangannya dan hanya tertuju pada tas kecil yang sedari tadi ada di sampingnya, pada saat itulah gadis cantik itu hanya terfokus mencari gelang untuk dihadiahkan. 

Tanpa menyadari sama sekali bahwa kekasih dari seorang Gino sudah berani menunjukkan dirinya di depan sang Mama dan kakak kembarnya.

"Halo tante," suara Viona terasa sedikit tercekat, pandangannya ia alihkan ketika dirinya ingin menyapa kembaran sang kekasih. "Halo, Kak Gian, Gina." Gian mengangguk, sedangkan Gina masih disibukkan oleh aktifitasnya yang sedang mencari gelang enam belas juta untuk Viona.

"Maaf buat sikap saya yang tadi." Viona membungkuk, memberikan gestur bahwa ia bersungguh-sungguh meminta maaf. Kesopanan yang Viona tunjukkan berhasil membuat Gian juga sang Mama menemukan sebuah titik terang mengapa Gino mencintai gadis ini. 

"Saya Octaviona, pacarnya Gino." Suara lembut itu berakhir begitu saja dalam sesi perkenalan. Tatapannya menyorot ramah ke arah seluruh keluarga Gino, selama beberapa detik netra khas orang Asia itu berhenti ke arah satu-satunya perempuan selain dirinya.

Selesai perkenalan singkat Viona tadi, hati sang Mama dan Gian terbuka, menyambut Viona dengan baik sebagai kekasih Gino dan orang baru di keluarga ini. 

Hanya ada satu orang lagi yang belum menyadari atmosfir sekitarnya berubah menjadi lebih hangat, Gina masih setia mengobrak-abrik isi tas nya mencari gelang yang ia sediakan untuk Viona.

"Ih kemana sih?" gerutu Gina dalam hati. Benda-benda kecil terus saja menghilang saat dibutuhkan oleh pemiliknya. Gina merasa benar-benar menjadi korban gelang jahat itu jika saja sampai acara selesai, dirinya tidak ditemukan.

Sebuah tepukkan pelan di bahunya berhasil membuat Gina berhenti menunduk. Ia langsung menatap sang Mama dengan sorot mata bertanya.

"Di depan ada tamu, tunjukkin sikap yang baik," ketika mengucapkan itu mata sang Mama menajam, suaranya menjadi bulat dengan nada tegas terasa sangat kental masuk ke dalam telinga Gina. "mama nggak suka kalau kamu sibuk sendiri," lanjut Mamanya.

Respon tubuhnya sangat mengerikan, sang Mama benar-benar marah saat ini. Dengan segera Gina menaruh kembali tas kecil miliknya. Sepertinya Gina benar-benar harus mencari gelang itu nanti. Ia hanya perlu berdoa agar gelang itu hanya karena lupa menaruh dimana, bukan hilang.

Gina kembali duduk dalam diam, ia sedikit menundukkan kepalanya. Merutuki dirinya sendiri yang memang seharusnya menyambut tamu dengan baik, bukannya sibuk dengan aktifitasnya mencari benda laknat tersebut.

"Hai Gina, wah ternyata bener ya. Muka kamu sama persis kayak Gino, bedanya kalau Gina itu versi perempuannya," suara halus khas perempuan merasuk ke dalam telinga Gina. Dirinya tahu bahwa yang mengatakan pasti kekasih dari kakak kembarnya. Jika tidak, siapa lagi?

Baru kali ini setelah tujuh tahun lamanya Gina mengisolasi diri dari orang-orang, dirinya dengan rela memperbolehkan orang asing mengetahui bahwa Gina hidup, bahwa seorang Gino dan Gian mempunyai saudara kembar perempuan.

Kondisi traumanya memang sudah membaik dari waktu ke waktu seiring dengan pengobatan dan pengendalian diri yang Gina latih. Namun, tidak menjamin bahwa membiarkan orang baru mengenal dirinya akan membuat traumanya bangkit saat itu juga.

Kening Gina mengernyit, indra pendengarannya merasakan sesuatu yang tidak biasa mendengar suara halus itu baru saja menyapa dirinya. Ada yang aneh dengan suara itu. 

Gina pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi dimana? Berinteraksi dengan orang asing saja ia tidak mau, kecuali ada keadaan yang mendesak tentunya. Teman di sekolahnya kah? tapi lagi-lagi Gina menampik keras hal tersebut, ia tidak pernah meperdulikan orang-orang di sekolahnya,

Bahkan dengan hanya mendengar suara mereka Gina sangat terganggu. Lalu siapa? Daripada tenggelam dengan pemikirannya sendiri, Gina lebih memilih mengangkat kepalanya. Melihat objek yang duduk tepat di hadapan diriya.

"Hai Vio---" Belum sempat Gina menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba nafasnya tercekat. Matanya sedikit melebar saat manik hitam itu menangkap sosok kekasih Gino di hadapannya. Sekarang Gina tahu mengapa ia merasa familiar dengan suara itu.

avataravatar
Next chapter