17 16. Menunggu Bintang Utama

Sudah lebih dari lima belas menit sejak Bi Mora memberitahu bahwa mobil Gino sudah sampai, tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda Gino dan Viona memunculkan batang hidungnya. Anak tengah keluarga Adhitama tersebut baru saja menjemput sang kekasih untuk menghadiri acara makan malam sekaligus perkenalan yang khusus diadakan untuk mereka.

Entah sudah keberapa kali Gina terus menoleh ke arah dimana seharusnya Gino dan kekasihnya muncul. Kedua tangan yang ia taruh di bawah meja bertaut gelisah. Keringat dingin terus saja keluar dari kulit putihnya.

Gina merasa ada yang salah dengan dirinya, padahal sudah lebih dari satu minngu yang lalu ia bisa menerima semua yang terjadi, terutama dengan kedatangan Octaviona ke dalam daftar list keluarganya. Gina sendiri sudah memutarbalikkan rasa takut juga traumanya menjadi kebahagiaan untuk bertemu dengan kekasih Gino.

Seolah merasakan apa yang Gina rasakan, Gian yang sedang memainkan handphone nya seketika menoleh ke arah Gina, dan benar saja ia melihat adik kembarnya itu sedang tidak baik-baik saja.

"Gina."

Merasa namanya dipanggil, Gina menoleh ke samping, tepat dimana Gian berada. Ia menemukan manik hitam yang serupa dengannya tersebut sedang menatapnya khawatir. Membuat Gina sadar, apa yang dilakukannya saat ini dapat berakibat fatal untuk dirinya dan juga seluruh keluarga Adhitama.

"Gina cuman gugup, kok. Nggak sabar banget pengen liat pacarnya Kak Gino, hehe." Sebelum Gian sempat bertanya ada apa dengan dirinya, dengan cepat Gina menjelaskan. Ia tidak ingin membuat siapapun menangis lagi tepat di hari yang seharusnya membahagiakan ini.

Tentu saja apa yang diucapkan Gina kepada dirinya membuat Gian semakin merasa khawatir, keningnya berkerut memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi malam ini.

Plak

Suara benturan kulit tangan dan pipi berhasil mengisi kesunyian yang belum baru saja ingin menenggelamkan mereka. Tangan Gian terangkat ke arah pipinya. Ia melotot tidak percaya ke arah Gina yang dengan beraninya melayangkan sebuah tamparan ke arah kakaknya sendiri.

Gina sangat tidak suka bila ada yang menatapnya seperti itu. Ia tidak ingin melihat orang yang disayanginya merasa khawatir.

"Kamu nam--"

"Diem," sela Gina yang kini bersiap untuk meledakkan tawanya. Ekspresi wajah Gian sukses membuat dirinya terhibur. Dan lagi, membuat segala kegelisahannya hilang begitu saja.

"Ya tapi--"

"Diem!" Satu kata yang terlontar dari mulut Gina tersebut berhasil membuat kesabaran Gian habis. Ia dengan segera mencari sesuatu yang setidaknya berfungsi untuk membuat Gina diam dari tawanya yang baru saja meledak.

Ketika hanya pot bunga kosong yang terselip di antara bunga-bunga indah lainnya yang bisa membuat Gian membalas perlakuan Gina, ia dengan cepat mengangkat pot berukuran kecil itu ke atas kepalanya.

Tentu saja Gian tidak akan melemparkannya ke arah Gina, tapi setidaknya kembarannya ini merasa was-was dan menghentikan gelak tawa menyebalkan khas yang menggangu pendengarannya.

"Wow santai kak, santai. Gina tadi cuma--" Sebelum Gina menyelesaikan ucapannya, gelak tawa yang lebih keras daripada sebelumnya kembali keluar dari mulutnya. Sedangkan Gian terdiam membeku di tempat dengan tangan yang masih mengangkat pot bunga berisi tanah berada di atas kepalanya.

Niat ingin membalas kejahilan Gina, sepertinya malah ia yang mendapatkan batunya. Tanah yang berada di dalam pot kecil itu jatuh begitu saja dari celah retakan pot tepat di atas kepala Gian.

"Sialan," umpatan kasar terpaksa Gian luncurkan saat hatinya terpaksa menerima kesialan malam ini.

"Eh Gian bahasanya." Sang Mama yang baru saja kembali dari toilet untuk membasuh muka dan memoles wajahnya dihadiahkan oleh umpatan kasar Gian dan gelak tawa Gina yang sudah tidak terdengar lagi. Menandakan bahwa gadis cantik tersebut benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan tawanya.

"Maaf, Ma." Gian memilih kembali duduk sembari merapihkan penampilannya. Menghiraukan Gina yang sudah hilang di bawah meja, tenggelam bersama gelak tawanya.

"Si Gino lama banget. Mana mungkin kan macet di jalan? Orang udah nyampe," gerutu Gian. Sang Mama yang melihat anak-anaknya sudah seperti hewan di kebun binatang itu pun terkekeh.

"Gino sama pacarnya udah ada di tangga, bentar lagi nyampe kesini." Dalam perjalanannya kembali ke atap rumah beberapa menit yang lalu, sang Mama melihat Gino bersama dengan Viona duduk di anak tangga menuju atap.

Terlihat di sana Gino sedang mencoba membuat kekasihnya agar tidak takut bertemu dengan Sang Mama maupun kedua kembarannya. Sebuah lengkungan terlukis tipis di bibir merah sang Mama. Ia tidak akan pernah melupakan bagaimana ekspresi terkejut Viona ketika melihat dirinya beberapa waktu lalu.

Gina yang mendengar penuturan dari Mamanya seketika terdiam, ia dengan segera kembali ke posisi duduknya dan mengambil sebuah kaca kecil. Memeriksa apakah penampilannya saat ini pantas untuk ia perlihatkan kepada calon kakak iparnya.

Merasa terusik atas kelakuan dari adik kembarnya, lantas membuat Gian menggelengkan kepala saat itu juga. "Dasar Cewek," gumamnya kemudian.

"Tapi kok masih lama, Ma? Padahal katanya udah ada di tangga." Gian menyipitkan matanya, berusaha melihat apa yang ada di celah-celah pintu menuju ke atas. "Nggak ada apa-apa, kan?"

"Kamu nggak usah khawatir, semua baik-baik aja. Cuman kayaknya pacarnya Gino memang pemalu." Untuk kesekian kalinya sang Mama terkekeh. Sepertinya ia akan cocok dengan kedatangan kekasih Gino malam ini.

Setelah merasa dirinya sudah rapi kembali, Gina meletakkan kaca kecil itu di tempatnya semula. Ia menatap ke arah sang Mama dengan sorot mata diselimuti kebigungan. Darimana Mamanya ini bisa tahu bahwa Viona adalah seseorang yang pemalu?

"Kok Mama tau?"

"Tau apa?"

"Kalau Pacarnya Kak Gino pemalu?" Gina sedikit memiringkan kepalanya, menuntut penjelasan dari sang Mama agar semua pertanyaan di kepalanya sirna. Sedangkan sang Mama hanya tersenyum, memorinya kembali berputar ke belakang saat melihat Gina yang seperti ini.

Terlihat seperti anak manisnya yang baru berumur sepuluh tahun.

Menggemaskan.

"Ya Mama tau aja, memang kenapa kamu harus tau kalau Mama tau?" jawab sang Mama berbelit. Gina yang mendapatkan jawaban seperti itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kali ini gelak tawa kembali terdengar di atap rumah keluarga Adhitama.

Gelak tawa menggelegar dari satu-satunya laki-laki di sana. Sebelumnya Sang Mama berniat ingin menahan tawanya atas reaksi Gina, namun akhirnya sang Mama ikut terpingkal bersama Gian. Gelak tawa kedua manusia tersebut menyatu meramaikan suasana malam yang tenang dengan bintang dan bulan membantu menghiasi langit.

Sampai tidak sadar bahwa pintu yang sedari tadi mereka tunggu akhirnya terbuka. Memperlihatkan sepasang kekasih yang menjadi alasan mengapa mereka semua berkumpul malam ini.

Pemandangan yang menyambut kedatangan Gino kali ini membuat sang empu tersenyum. Sudah biasa melihat hal tersebut. Suasana hangat yang ia harap tidak akan pernah terputus sampai kapanpun, tidak akan pernah hilang walau semakin lama waktu membawa mereka pada takdir.

"Sayang, ada apa?" Pertanyaan itu Gino lontarkan lantaran merasa tubuh kekasih yang berada di belakang tubuhnya ini membeku. Menatap kosong ke arah meja tempat dimana keluarga Gino berada.

Bukan.

Bukan ke arah meja panjang itu. Lebih tepatnya ke arah salah seorang kembaran Gino yang membuat jantungnya berhenti berdetak saat itu juga.

avataravatar
Next chapter