14 13. Gelang Untuk Octaviona

Sebuah senyum tanpa sadar terukir manis di wajah cantik Gina. Sorot bahagia terpancar jelas di netra hitam gadis itu. Entah sudah berapa lama ia memandangi benda yang berada di hadapannya saat ini.

Sebuah gelang tali berwarna merah muda sedikit gelap dengan kedua cincin yang terhubung di bagian tengah. Gelang yang terlihat sangat sederhana, tetapi hanya segelintir orang yang tahu seberapa mahal benda tersebut.

"Cantik banget gelangnya," gumam Gina lirih. Meskipun dirinya sama sekali belum mengetahui sosok kekasih Gino, Gina yakin bahwa gelang yang akan ia berikan ini sangatlah cocok jika terpasang di pergelangan tangan Octaviona.

Tidak sia-sia ia meminta tolong kepada Suzy untuk memikirkan hadiah apa yang bagus untuk diberikan kepada Viona nanti. Dan pilihan itu jatuh kepada gelang tali di atas meja riasnya ini.

Tanpa berfikir dua kali dan tidak memperdulikan seberapapun harganya, Gina langsung membeli gelang itu untuk dihadiahkan. Karena gelang bisa menjadi sangat berharga bagi sebagian orang.

Seperti dirinya.

Gelang yang terpasang di pergelangan tangannya saat ini, sudah ia anggap sebagai nyawanya sendiri. Jika hilang, entah apa yang akan dia lakukan.

Sebuah tali dengan warna dominan merah muda, ungu serta hijau yang terlihat lucu serta kedua charm berinisial 'G' dan 'G' menjadi sesuatu yang amat sangat berharga bagi kehidupannya.

Benda yang diberikan oleh almarhum sang Papa beberapa hari sebelum ia pergi untuk selama-lamanya. Benda yang juga terpasang di pergelangan tangan kedua kakak kembarnya sebagai simbol ikatan persaudaraan mereka bertiga.

Di dalam ketiga gelang itu, terdapat sebuah harapan besar dari Papa mereka atas apa yang terjadi kedepannya saat dirinya sudah tiada. Sebelum ajal menjemputnya, keinginan besar sang Papa hanya satu, yaitu hubungan persaudaraan Gian, Gino, dan Gina tidak akan pernah terputus sampai kapanpun.

"Gin, Gina? Hei, jangan ngelamun." Tubuh Gina tersentak kaget saat suara berat Gino meluncur begitu saja masuk ke dalam Indra pendengarnya. Gina mengerjap, melihat ke arah Gino yang berada di belakangnya.

Sadar dirinya sedang melamun dengan hadiah yang akan Gina berikan kepada kekasih Gino, ia segera bangkit berdiri berusaha menyembunyikan gelang untuk Octaviona di belakang punggungnya.

"Kak Gino ngapain kesini?" Gina semakin berusaha menyembunyikan benda yang berada di belakang tubuhnya dari Gino. Kakak kembarnya yang satu itu berusaha melihat apa yang Gina sembunyikan dari dirinya.

Tanpa mengindahkan pertanyaan Gina beberapa saat lalu, Gino semakin gencar berusaha untuk melihat apa yang Gina sembunyikan. Tidak biasanya adik kembarnya ini menyembunyikan sesuatu dari dirinya maupun Gian.

"Itu---"

"Bukan apa-apa. Kak Gino ngapain kesini?" Belum sempat Gino menyelesaikan apa yang baru saja dirinya ingin tanyakan, Gina dengan cepat memotong menggunakan nada panik yang amat kentara.

Karena rasa penasaran yang tinggi, Gino berinisiatif untuk mengambil apa yang berada di belakang punggung Gina, sebelum suara Gian menghentikan apa yang ingin dirinya lakukan.

"Gino."

Kedua saudara kembar berbeda jenis kelamin itu serentak menoleh ke arah dimana suara tersebut berasal. Di sana, Gian sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan tubuh ia sandarkan di pinggir pintu.

"Hari ini giliran kamu yang masak, kan? Cepetan gih, bentar lagi Mama pulang," titah Gian kepada Gino. Ia menatap tegas adiknya itu agar segera bergegas melakukan apa yang seharusnya Gino lakukan sedari tadi.

Gino sendiri langsung menjauh dari hadapan Gina, ia segera berjalan ke arah pintu pemilik kamar untuk memasak makan malam. Ia tidak ingin sampai Gian mengulang kata-kata perintah seperti itu untuk yang kedua kalinya.

Tidak dapat dipungkiri walaupun Gian merupakan seseorang yang sangat suka bercanda dan jahil, kalau lelaki tersebut sudah mengeluarkan suatu hal yang serius, Gino tidak pernah ingin melawan.

Tepat ketika dirinya berada di samping Gian, Gino dengan cepat berbisik,

"Kak, yang dipegang Gina itu kayaknya cincin deh. Ada cowok yang mau ngelamar kali." Gino menghentikan bisikannya sejenak ketika gestur Gian yang tadi terlihat santai menjadi menegang.

"Siapa tau minggu kemaren bukan cuman ke rumah Suzy." Gino menyeringai, merasa yakin dengan apa yang dilihatnya saat Gina melamun. Sebuah kotak beludru berwarna merah. Dirinya juga yakin melihat cincin berwarna emas didalamnya.

Tahu apa yang Gino maksud, Gian ikut menyeringai. Kembali teringat bahwa tidak semua hal bisa mereka ceritakan kepada kembarannya meski sudah sedekat apapun.

Dalam hati Gian bersyukur, adik kembar perempuannya ini akhirnya laku juga dikalangan lawan jenisnya.

Gina mengernyit dahi curiga melihat kedua kakak kembarnya bersebelahan di depan pintu cukup lama. Semakin merasa ada yang aneh ketika melihat sebuah seringaian tercetak di bibir Gian yang menghadap ke arah dirinya, berbeda dengan Gino yang membelakangi.

Selesai menyampaikan hal perkara cincin yang disembunyikan oleh Gina, Gino kembali berjalan menuju ke arah dapur untuk memasak. Begitu pula dengan Gian, ia berjalan menghampiri Gina yang memperhatikan mereka sedari tadi.

"Itu apa?" tanya Gian seraya menunjuk ke arah tangan Gina yang masih berada di belakang punggung dengan gelang yang disembunyikan.

Tidak langsung menjawab, Gina memiringkan sedikit kepalanya agar bisa memastikan bahwa Gino sudah tidak lagi berada di area kamarnya. Ia sungguh tidak ingin memberitahu bahwa gelang ini yang akan ia berikan kepada Octaviona.

"Ini gelang." Gina menjawab setelah memastikan bahwa Gino sudah tidak lagi memantau. Ia tidak lagi menyembunyikan benda tersebut di belakang punggungnya. Gina dengan girang memperlihatkan kepada Gian.

Gian terdiam sebentar, dia menatap lamat-lamat kotak beludru yang Gina sodorkan kepada dirinya. Merasa ada yang salah dengan ucapan yang Gino bisikkan beberapa saat lalu, lantas Gian membuka kotak tersebut untuk melihat apa isinya.

Sebuah gelang sederhana yang terlihat elegan di matanya. Gian sontak tertawa, ia merasa sama bodohnya dengan Gino yang bisa-bisanya mengira bahwa Gina dilamar oleh seorang laki-laki.

"Kenapa ketawa? Jelek, ya?" Gina terkejut saat Gian tertawa setelah melihat gelang yang ingin ia hadiahkan.

Dengan keadaan yang masih belum bisa mengendalikan tawanya, Gian merespon ucapan Gina dengan gelengan.

"Ah bohong. Kalau nggak jelek kenapa ketawa?"

"Bagus kok bagus." Usapan lembut Gian berikan di atas kepala Gina. Tawanya sudah berhasil ia kendalikan. Gian kembali melirik ke arah kotak yang sekarang berada di atas meja rias Gina.

"Buat siapa itu?" tanya Gian spontan tanpa mengalihkan perhatiannya dari gelang merah muda yang terlihat cantik.

"Octaviona." Usapan di kepala Gina berhenti. Gian kembali melihat ke arah Gina dengan sorot mata terhibur.

"Oh jadi kamu tadi nyembunyiin ini biar Gino nggak tau?" Gina mengangguk. Ia duduk di depan meja riasnya agar bisa kembali mengagumi keindahan gelang tali itu.

"Gina nggak mau Kak Gino tau. Takut bocor ke pacarnya." Mendengar itu, Gian terkekeh. Ia ikut memperhatikan intens gelang tali bermerk tersebut.

"Berapa harganya?"

"Enam belas juta," balas Gina santai. Seolah nominal harga yang baru saja ia lontarkan bukanlah sesuatu yang patut untuk dipermasalahkan.

"Tumben murah?" Gian mengernyit heran. Tidak biasanya adik kembarnya yang satu ini membeli sesuatu dengan harga belasan juta. Apalagi benda tersebut merupakan sesuatu yang akan Gina hadiahkan nantinya.

Biasanya benda dengan harga puluhan juta lah yang gadis itu beli. Entah itu untuk sesuatu yang penting maupun tidak.

"Jangan liat harganya, liat modelnya. Dari awal Gina liat gelang ini, udah langsung jatuh cinta."

"Ciiee cinta pada pandangan pertama nih maksudnya?" Setelah tadi mengeluarkan sikap tegasnya kepada Gino, di hadapan Gina saat ini Gian merasa jiwa jahilnya bangkit.

Gina mendelik sebal. Ia menggeser kursi yang dirinya duduki menjauhi Gian, begitu juga dengan gelang yang dirinya jauhkan dari hadapan Gian.

"Kak Gian tau bukan itu maksud Gina, ish."

avataravatar
Next chapter