11 10. Kali Ini, Kekecewaan

Cahaya terang menyorot seluruh badan Gina dari atas sampai bawah. Matanya terpejam erat saat menerima cahaya yang langsung saja menembak masuk tepat ke arah retina matanya, namun gurat wajah Gina tampak tenang. Tanpa sedikitpun terdapat beriak ekspresi di muka mulusnya.

Sangat berbanding terbalik dengan apa yang sedang terjadi di dalam hati serta otaknya. Mereka terus saja menjerit dan merancau menolak apa yang harus ia terima saat ini.

Tek.

Suara lampu mobil yang dimatikan membuat Gina kembali membuka matanya. Ia menatap datar ke arah sang Mama yang terlihat berjalan menuju dirinya.

Setelah sang Mama tepat berada di hadapan Gina, mereka terdiam cukup lama. Menghasilkan keheningan yang mencekam. Gina dengan ekspresi datar, sedangkan Mamanya melihat Gina dengan raut wajah memohon.

Gina jelas tahu, ada sedikit gurat bersalah di wajah cantik itu.

"Gin--"

"Jadi ini alesan Mama nyuruh Kak Gino buat bawa pacarnya ke rumah?" Sela Gina. Nada bicaranya terdengar amat dingin dan datar.

"Nggak git---" ucapan sang Mama kembali berhenti ketika Gina menyela untuk yang kedua kalinya.

"Gina kira Mama orang yang bisa nepatin janji." Gina menggeleng. "Taunya sampe sekarang Mama tetep sibuk sama kerjaan."

Kali ini sang Mama terdiam, mempersilahkan Gina untuk mengeluarkan segala kekesalannya saat ini juga. Ia berniat untuk pergi bekerja setelah memberitahu sesuatu yang penting terhadap ketiga anak kembarnya. Dengan rasa bersalah dan segala permintaan maafnya, sang Mama mengira anak-anaknya dapat mengerti.

Namun Gina berada disini sekarang. Menghalanginya untuk pergi bekerja dan menuntutnya untuk menjelaskan semua.

Pupil mata Gina bergetar, melihat tatapan lembut penuh dengan aura keibuan sang Mama membuatnya tidak kuasa menahan ekspresinya.

Ekspresi sedih yang sedari tadi dirinya tahan. Setidaknya kedua saudara kembarnya tidak perlu mengetahuinya. Walau sepertinya upayanya sia-sia kedua manusia tersebut pasti sudah tahu.

"Sekedar jalan-jalan ke taman kota, apa susahnya si?" Rambut yang menutupi wajahnya ia sibak ke atas. Memperlihatkan muka penuh rasa jenuh, sedih dan stress yang terlukis jelas di permukaannya.

"Satu keluarga aja Ma, berempat. It's ok, Gina terima waktu itu Mama bilang klo minggu ini, tepat Minggu ketiga libur sekolah Mama gak bisa ngajak kita liburan."

"Gina terima dua minggu lalu Mama bilang kalau Mama nggak bisa sering ada di rumah, nggak bisa ikut liburan sama kami bertiga." Gina membalikkan tubuhnya berlawanan arah agar sang Mama tidak melihat air matanya yang mulai tergenang.

Sang Mama sendiri menatap sendu ke arah Gina, ia benar-benar tidak bisa mengambil pilihan lain. Keluarganya penting, tapi pekerjaannya tak kalah pentingnya. Peluang besar untuk memperluas bisnis agar ketiga anaknya bisa terus hidup mewah tidak bisa dilewatkan begitu saja.

"Mama bener-bener nggak bisa Gina, kamu tahu seberapa sibuknya Mama." Suara sang Mama bergetar, menahan kesedihan serta memohon agar Gina memberi perngertian terhadap dirinya.

"Tapi nggak harus terbang ke New York juga, Ma! Gina terima kalau Mama tetep di Indonesia dan pulang sedikitnya tiga kali sehari, tapi kalau di New York? Satu bulan kemudian Mama baru pulang." Kaki Gina ia turunkan, memilih berjongkok membelakangi sang Mama.

Ia benar-benar merasa kecewa dengan Mamanya. Sekarang ia paham mengapa seseorang yang melahirkannya ini meminta Gino untuk memperkenalkan pacarnya secepat itu.

"Mama minta pacarnya kak Gino buat dikenalin ke rumah itu biar Gina nggak kesepian kan? Mama tau kalau Suzy bakal liburan sama keluarganya Minggu depan."

Suzy, satu-satunya orang asing yang bisa dekat dengan Gina. Sahabatnya sedari ia dan kembarannya masih sangat kecil. Seseorang yang saat ini ia percaya dan menjadi salah satu tempat Gina untuk bersandar. Seseorang yang tidak ada hubungan darah dengannya, namun Gina tidak pernah bergetar takut ketika berada di dekat seorang Suzy.

Suara Gina semakin bergetar dan berubah menjadi serak, Isak tangis juga air matanya tidak mampu ia tahan lagi. Sang Mama benar-benar sibuk, dan Gina tidak suka itu.

Pada awalnya Gina merasa antusias setelah yakin bahwa kekasih Gino merupakan orang yang baik dan tidak akan menyakitinya. Bahkan Gina sampai tidak bisa tidur membayangkan betapa asiknya nanti jika ia secara tidak langsung memiliki kakak perempuan.

Akan tetapi kabar baik itu hanyalah  persiapan untuk menerima sebuah kabar yang teramat pahit. Yakni pemberitahuan bahwa sang Mama akan pergi ke New York selama satu bulan untuk urusan bisnis.

Yang membuat Gina semakin terkejut adalah, sang Mama akan terbang ke sana dalam jangka waktu sehari setelah acara perkenalan kekasih Gino.

Beberapa waktu lalu sebelum libur sekolah, sang Mama berjanji akan pergi jalan-jalan dan meluangkan waktunya bersama Gian, Gino dan juga Gina. Tapi lihatlah saat ini, sang Mama tidak dapat menepati janjinya.

Sampai waktu libur sekolah habis, sang Mama tidak akan pernah bisa menepati janjinya.

"Maafin Mama, Mama beneran minta maaf." Hanya kata itu yang dapat terlontar dari mulut sang Mama. Ia mengaku sangat bodoh telah membuat anaknya merasa kecewa hingga menangis seperti ini. Ia sudah memutuskan untuk berangkat ke New York.

Cukup lama dengan posisi sang Mama yang hanya berdiri memperhatikan punggung Gina dengan sendu dan Gina yang sedang menangis sembari berjongkok, sampai akhirnya suara langkah kaki terburu menggema di seluruh penjuru garasi.

Gian dan Gino terdiam melihat  pemandangan yang ada di hadapan mereka. Keduanya terdiam dengan mulut terkatup rapat seakan tahu apa yang terjadi saat ini. Mereka cukup mengerti perasaan Gina. Tentunya Gian dan Gino juga berusaha mengerti kesibukkan sang Mama.

Kedua saudara laki-laki tersebut kompak menghampiri Mama mereka. Keduanya mengecup pipi sang Mama yang terlihat basah.

"Mama masuk ke mobil gih, terus berangkat. Hati-hati bawa mobilnya jangan ngebut, ya?" Gino mengusap wajah sang Mama agar tidak menangis lagi. Disisi lain Gian tersenyum kepada sang Mama.

"Gina biar Gian sama Gino yang urus. Mama hati-hati ya, jangan lupa makan siang." Setelah mengucapkan hal itu kepada sang Mama, Gian menghampiri Gina yang masih berjongkok terisak.

"Masuk ke dalem yuk, Mama mau berangkat kerja, kita ngobrol di dalem."

Tanpa banyak berbicara, Gina berdiri. Ia tidak menoleh ke belakang barang sedetik saja ke tempat dimana mobil sang Mama kembali menyala dan siap untuk dijalankan.

Suara mesin mobil yang kian menjauh membuat dada Gina semakin terhimpit. Ia rindu dengan Mamanya yang dulu, sebelum mendiang sang Papa tiada. Namanya yang selalu ada dan menyediakan banyak sekali waktu untuk ketiga anak kembarnya.

Bukan yang sekarang. Yang sibuk dengan sebuah pekerjaan.

Gino sedikit berlari untuk menyusul Gian dan Gina yang jauh berada di depannya. Ia ikut merangkul bahu Gina sembari tersenyum kepada sang empu.

"Mukanya jangan gitu dong, kan masih ada Kakak sama Kak Gian."

Lagi, Gina hanya merespon seadanya, ia mengangguk tanpa sedikitpun melirik ke arah Gino. Kedua tangannya sibuk menghapus jejak-jejak air mata di pipinya.

"Kayaknya harus dibawa keluar, nih. Biar Gina yang kasar, nggak gampang nangis muncul." Sontak perkataan Gian dihadiahi sikutan dari Gina. Bukannya menenangkan dirinya yang sedang bersedih, kakaknya yang satu ini malah menambah emosi jiwanya.

"Udah ya sedihnya. Viona tadi baru aja nelepon kakak. Katanya Gina mau apa kalau dia dateng ke rumah? Apa aja dibeliin katanya."

Kepala Gina kembali tegak. Ia menatap ke arah Gino dengan binar bahagia. Sorot mata kesedihannya seolah sirna begitu saja mendengar apa yang dilontarkan oleh Gino.

"Boneka Mama orang kaya?" Julukan boneka Mama sungguh tidak bisa dihilangkan dari pikiran Gina. Ia sangat gemar menyebut pacar Gino dengan sebutan seperti itu.

"Ish kamu malah mikir kesitu."

"Yaudah, beliin skincare yang biasa Gina pake aja deh, tapi jangan lupa,

harus kelipatan dua. Buat Gina satu Suzy satu," seru Gina antusias.

"Lah ngelunjak." Gian terkekeh mendengar permintaan Gina yang satu ini, adiknya tersebut tidak pernah lupa memberi apa yang ia punya dengan Suzy, sahabat mereka sedari kecil.

avataravatar
Next chapter