2 1. Sepasang Kekasih

"Biar aku aja yang bayar, sayang."

"Aku cowok, sayang. Biar aku aja yang bayar."

Suara percakapan antara sepasang kekasih itu meluncur cepat masuk ke dalam telinga Gina. Tak henti-hentinya Ia melihat ke arah jam tangan yang terpasang apik di tangan kirinya. Tercatat sudah hampir tiga puluh menit Ia berdiri, menunggu kedua manusia dimabuk cinta ini untuk segera membayar. Gina tidak berbohong, kakinya sudah hampir copot ditambah dirinya memakai sepatu ber-hak kecil.

Gina masih tetap diam, terus menunggu. Kedua matanya mulai terpejam. Keningnya berkerut. Tangannya Ia lipat di depan dada, diiringi dengan suara hentakan kaki dari seorang Gina yang mulai kehabisan stok untuk bersabar.

"Ihh ... Udah aku bilang aku aja yang bayar."

Cukup.

Suara perempuan di hadapannya berhasil membuat stok kesabaran Gina benar-benar menghilang.

"Berisik! Biar saya aja yang bayar." Suara Gina sengaja Ia buat tinggi, membuat kedua manusia berbeda jenis di hadapannya itu terkejut. Mereka reflek melihat ke arah sumber suara. Gina menatap mereka dengan sorot mata bengis.

"Minggir," usir Gina. Ia melangkah maju ke depan, menabrak pasangan kekasih tersebut yang terlihat sedang menautkan kedua tangan mereka, lantas membuat genggamannya terlepas. Gina menunduk, merogoh tas Selempangnya untuk mencari kartu pembayaran. Setelah menemukan apa yang Ia cari, Gina segera menyodorkannya ke arah kasir.

Gina berjanji kepada dirinya sendiri setelah ini, Ia tidak akan pernah membeli baju lagi di butik tersebut. Melihat hal seperti tadi bahkan diabaikan oleh penjaga kasir membuat Gina cukup emosi.

"Mbak, pembayaran saya ditambah sama pembayaran mereka. Bukti pembayaran tolong dipisah." Penjaga kasir itu segera melakukan apa yang Gina perintahkan.

Gina sengaja menulikan pendengarannya ketika kedua manusia menyebalkan di belakangnya memprotes perlakuan dirinya saat ini.  Karena terlalu berisik, Gina menoleh ke arah belakang. Memberikan tatapan tajam agar sepasang kekasih itu diam.

Setelah pembayaran berhasil diselesaikan, Gina mengambil barang miliknya dan tidak lupa memberikan barang sepasang kekasih itu kepada pemiliknya.

"E-eh? Biar saya ganti uangnya," ujar si perempuan itu canggung. Gina tersenyum, bukan senyuman manis yang terpatri di wajahnya, namun senyuman miring Ia berikan kepada pasangan kekasih tersebut.

"Saya orang kaya. Ngebeliin kayak gini doang gak bakal ngebuat saya miskin. Saya permisi." Gina berjalan melenggang meninggalkan butik itu, tetapi baru beberapa langkah Ia kembali berhenti. Tubuhnya Ia balik menghadap pasangan kekasih di belakangnya lalu berujar,

"Oh iya, saya lupa. Saya tau kalian lagi bucin level paling atas, tapi saya kasih tau ya Mbak sama Masnya. Kalau pacaran jangan sampai negrugiin orang lain." Gina terkekeh pelan, penuh rasa jengkel disertai sedikit hinaan. Ia melanjutkan kembali langkahnya tanpa peduli bahwa laki-laki yang merupakan kekasih perempuan tersebut menatapnya geram seakan ingin menghajar Gina saat itu juga.

Gina tidak peduli. Ia tahu jika laki-laki itu tidak akan berani macam-macam dengannya. Lagipula Ia tidak suka ada orang-orang seperti itu di tempat umum. Bukan karena melihat orang lain bermesraan di depannya, bukan juga karena tidak suka melihat hubungan sepasang kekasih.

Gina hanya tidak suka melihat orang-orang yang melakukan hal itu dengan berlebihan.

Jatuh cinta.

Seorang Gina Adhitama memang tidak pernah sekalipun berpacaran, bahkan Ia tidak terlalu paham apa arti cinta sebenarnya. Di sekolahnya Ia sama sekali tidak pernah peduli dengan laki-laki yang banyak menyukainya. Gina hanya ingin memiliki pasangan yang dirinya cintai dikemudian hari.

Langkah Gina terhenti. Tiba-tiba Ia terfikir dengan kedua kakak kembarnya. Selama ini Gian dan Gino tidak pernah sekalipun membahas soal cinta kepada dirinya. Topik tentang percintaan bahkan tidak ada di kamus besar bahasa mereka.

Tapi mungkinkah? Di umur mereka yang sudah tujuh belas tahun ini, apa wajar jika dirinya, Gian juga Gino tidak pernah jatuh cinta?

Atau hanya Gina seorang?

*****

"Kak Gian di sebelah mana mobilnya?" Kini Gina sudah berada di parkiran bagian atas, dimana Ia dijanjikan oleh kakak kembarnya yang pertama, Gian. Yang akan menjemputnya setelah membeli kemeja untuk Gino.

"Macet, Kakak masih di jalan. Kamu udah nunggu lama ya?" jawab Gian sarat akan rasa bersalah. Gina langsung menelfon sang kakak ketika dirinya tidak menemukan mobil merah milik Gian yang seharusnya sudah ada menunggu dirinya sedari tadi.

Gina menggeleng, tidak sadar bahwa seseorang yang sedang Ia ajak bicara berada di seberang telepon. Ia berjalan ke ujung pembatas parkiran, ingin melihat seberapa macet kota Jakarta ketika matahari sudah bersiap untuk menghilang.

"Nggak, Gina kira Kak Gian tadi yang nunggu lama," Gina terdiam sejenak. Matanya terpaku atas pemandangan yang disuguhkan di hadapannya. "Kakak dimana?" tanya Gina melanjutkan ucapannya.

"Sebentar lagi nyampe, kamu tunggu aja disana. Hati-hati ada orang yang gak dikenal." Gina tertawa atas ucapan Gian kepadanya. Tidak biasanya kakak kembarnya yang satu ini menunjukkan perhatiannya kepada Gina secara terang-terangan. Gian merupakan sosok seorang kakak yang sangat jarang mengungkapkan hal seperti itu. Tentu saja pengecualian jika yang mengucapkannya adalah Gino, kakak kembar Gina yang kedua.

"Tumben perhatian."

"Tumben perhatian," ulang Gian dengan nada mengejek. Merasa sebal dengan perlakuan Gina. Dirinya tidak perhatian disangka tidak peduli, sekarang giliran Gian yang seperti ini, ditertawakan dengan kencangnya. Gian berfikir, benar juga apa kata pepatah bahwa lelaki selalu salah.

Gina kembali tergelak. Setidaknya Ia terhibur dengan kelakuan seorang Gian. Suasana hatinya yang buruk beberapa menit lalu mulai memudar, digantikan dengan perasaan hangat yang menjalar di hatinya atas kasih sayang antar saudara kembar.

Saking terlalu banyak tertawa, tanpa sadar sambungan telepon yang menghubungkan dirinya dengan Gian sudah terputus secara sepihak. Gina mengetahui hal itu beberapa menit kemudian setelah dirinya berhenti tertawa. Ia kembali memasukkan handphone miliknya ke dalam tas selempangnya.

Gina menatap ke depan. Langit sudah mulai berubah warna menjadi hitam, matahari benar-benar sudah hilang. Bulan terlihat belum berani menampakkan dirinya. Matanya melirik sedikit ke bawah. lampu-lampu jalan mulai menyalakan sinarnya menerangi jalan yang sudah terang oleh kendaraan yang padat. Gedung-gedung tinggi tidak mau kalah mereka juga menyalakan sinarnya sendiri. Membuat malam yang gelap, menjadi terang oleh penerangan buatan.

Gina menghela nafas pelan, pikirannya kembali berkecamuk oleh topik hangat tentang jatuh cinta. Ia ingin tahu, apakah kedua kakak kembarnya itu sudah pernah merasakan jatuh cinta atau belum. Rambut panjang bergelombangnya, bergerak mengikuti arah angin sepoi-sepoi yang menerpa dirinya.

"Nggak makan yang manis-manis juga nggak apa-apa kok. Kan kamu bisa ngeliat aku yang memang udah manis." Suara melengking seorang perempuan sukses membuat kegiatan Gina terganggu.

"Iya deh. Ngeliat kamu yang manis juga aku udah seneng."

Gina menoleh ke belakang, mencari  suara menjijikan itu berasal. Di sana tidak jauh dari tempat Gina berdiri sekarang terlihat sepasang manusia berbeda jenis kelamin sedang melakukan sebuah percakapan. Di samping mereka terdapat mobil berwarna hitam yang Gina tebak pasti milik lelaki tersebut.

Gina berniat kembali memerhatikan pemandangan di depannya dan menghiraukan kedua manusia tersebut, akan tetapi kedua netra hitamnya menangkap sesuatu yang sangat tidak asing. Gina menyipitkan kedua matanya berusaha memperjelas pandangan kepada satu orang yang terasa familiar.

Gina terkejut ketika tahu bahwa perempuan itu merupakan seseorang yang berada di butik tadi. Ia memperhatikan hanya baju dan tatanan rambut saja yang berbeda, namun tetap ada yang mengganjal. Selain penampilan perempuan itu yang berbeda ada satu hal lagi yang membuat Gina lebih terkejut dari sebelumnya.

"Kok cowoknya beda?"

avataravatar
Next chapter