1 Bloody Valentine 1

"Sean, apakah kau jadi pergi ke tempat Claire?" tanya wanita paruh baya kepada seorang pria berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Wanita itu baru saja tiba di apartemen putranya.

"Tentu, Mom, setelah ini aku akan ke sana." Sean menunjukkan sekotak coklat kesukaan Claire, yang tengah dibungkusnya dengan rapi, dengan kertas kado bermotif hati, berwarna merah muda, dan menyematkan pita berwarna merah di atas bungkusan kotak hadiah itu sebagai pemanis.

Tepat pukul tujuh, Sean tiba di depan pintu unit apartemen Claire. Jantungnya berdebar, untuk pertama kalinya ia merasa gugup, untuk bertemu dengan kekasihnya.

Sean menyembunyikan cincin bertahtakan berlian di dalam hadiah coklat valentinenya, membayangkan berlutut kepada wanita yang ia cintai, menyematkan cincin di jari manisnya, menjanjikan cinta yang abadi untuknya.

Sean O'Connor malam ini akan melamar Claire Smith, untuk menjadi istrinya, ibu bagi anak-anaknya kelak.

Sean masuk ke unit Claire, menggunakan password yang pernah Claire berikan kepadanya, agar mempermudah dirinya saat ingin berkunjung kapan saja, saat pria itu menginginkannya.

Seperti biasa, setiap kali Sean berkunjung, ia akan mengendap-endap, melangkah langsung menuju dapur yang letaknya di ujung apartemen.

Dapurnya ternyata tampak rapi dan bersih, Claire tidak memasak pada hari ini sepertinya.

Mengecek sebentar ke ruang baca, ternyata Claire tidak berada di sana juga.

Sean melangkahkan kakinya menuju ruang favoritnya, kamar Claire. Tempat mereka biasanya berakhir mencurahkan segala rasa.

Sedikit mengintip, ternyata ranjangnya masih tertata rapi. Selimut coklat masih terlipat di atas ranjang. Tampak seperti tidak ditempati.

Satu stel pakaian berwarna putih, tersampir di atas ranjang. Pakaian yang diminta Sean untuk dikenakan oleh Claire malam ini.

Terdengar suara pancuran air dari kamar mandinya, Sean menyeringai. Pikiran liar berputar di kepalanya. Memutar perlahan knop pintu kamar mandi. Tidak terkunci. Senyum Sean makin terkembang.

Menerobos masuk kamar mandi kekasihnya dan memanggilnya pelan, "Claire ...."

Sean menyibak tirai kamar mandinya, seketika senyumnya memudar. Wajahnya menjadi tegang, tubuhnya terasa kaku. Matanya terbelalak.

Claire, wanita yang dicintainya, kekasih hatinya. Berada di dalam bathtub, tanpa busana.

Sean menemukan Claire di tengah kolam darah, membuatnya terkejut dan hampir kehilangan semua keinginan untuk hidup.

Sean meraih tubuh kaku kekasihnya itu, merangkulnya, menangisinya.

Malam itu juga, Sean segera menelepon kantor polisi dan memberitahukan kepada polisi yang menerima teleponnya, bahwa ia menemukan kekasihnya dalam keadaan tidak bernyawa.

Lima belas menit kemudian, polisi datang.

Sean masih berada di dalam kamar Claire, duduk di salah satu sisi ranjang. Wajahnya tertunduk lesu.

Salah seorang petugas, yang bernama Haris, bertanya padanya, perihal apa hubungan dia dengan korban, kapan ia terakhir malakukan kontak dengan korban, apakah ada gelagat yang tidak biasa pada korban—beberapa hari sebelum kejadian, apakah selama ini korban pernah dibuntuti seseorang, apakah ada yang benci dengan korban, hingga pukul berapa Sean menemukan jenazah korban.

Hampir semua pertanyaan Sean jawab tidak tahu, kecuali tiga hal. Sean menyebut dirinya adalah kekasih Claire. Ia masih berkomunikasi dengan Claire sekitar pukul enam sore hari, saat ia meminta Claire bersiap-siap dan memintanya mengenakan pakaian putih, hadiah Sean beberapa hari sebelumnya, saat Claire berulang tahun yang ke dua puluh.

Sean menemukan Claire tidak bernyawa sekitar pukul tujuh lewat. Karena ia terbiasa membuat janji tepat waktu. Sean memperkirakan sekitar pukul tujuh lebih sepuluh menit, karena tidak membutuhkan waktu yang lama, saat menjelajah apartemen Claire.

Jenazah Claire dibawa oleh tim forensik untuk diautopsi. Sean yang memintanya, karena Claire hidup sendiri, tidak punya keluarga lagi. Ia harus tau penyebab kematian Claire.

Petugas kemudian memeriksa dengan seksama seluruh isi apartemen Claire, setelah meminta Sean untuk pulang dan menunggu di rumahnya. Mareka akan memberi kabar setelah menemukan petunjuk.

ooo

Di sinilah Sean, duduk termenung di sofa malasnya. Menatap kotak hadiah berisi coklat, yang sebelumnya ia rencanakan untuk diberikan kepada Claire sebagai hadiah valentine, sekaligus melamarnya, tepat hari ini, empat belas Februari.

Martha, ibu Sean hanya memperhatikan putra semata wayangnya dari dapur, yang berada di ruang yang sama, disekat oleh dinding dengan jendela besar. Ia sedang membuatkan segelas minuman coklat hangat untuk Sean.

Sean menerima segelas coklat itu, menyesapnya perlahan. Helaan napas terdengar dari mulutnya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Martha, memastikan jiwa putranya tidak terguncang.

"Kacau, Mom," jawab Sean lirih, terdengar enggan untuk membahas bagaimana perasaannya malam itu.

Sean meminta ibunya tinggal sebentar menemaninya, sebelum kembali ke rumahnya. Ada adik perempuannya di sana. Pikirannya memang benar-benar sedang kacau saat ini. Keberadaan ibunya sedikit banyak bisa menenangkan jiwanya.

ooo

Tiga hari kemudian, Sean menerima telepon dari kepolisian, memintanya untuk datang, dan melihat hasil pemeriksaan yang lalu.

Sean berangkat setelah menghabiskan secangkir kopi hitam. Meminum kopi pahit yang sebetulnya bukan kegemarannya. Namun, ia butuh kafein untuk membuatnya terjaga di siang hari.

Selama dua malam ini, Sean selalu bermimpi buruk, tentang Claire. Ia sangat yakin Claire mati dibunuh, entah oleh siapa. Sean harus mencari tahu. Agar tenang jiwanya.

Petugas kepolisian yang kemarin sempat menanyainya, menyerahkan hasil laporan forensik. Sean tiba pukul sembilan pagi, kantor polisi masih cukup sepi.

Sean mengerutkan dahi, tidak paham arti hasil autopsi awal itu. Petugas yang bernama Haris itu tersenyum, kemudian menjelaskan hasil laporan sementaranya.

"Claire adalah kekasih Anda, benar begitu?" tanyanya menyelidik.

"Ya, aku sudah mengatakannya tempo hari lalu, bukan?" jawab Sean, mengingatkan.

"Apakah Anda tahu, bahwa kekasih Anda sedang mengandung?" tanya Haris, seraya menatap Sean dengan seksama. Seolah membaca apa reaksi pria di depannya ini, ketika mengetahui kekasihnya hamil.

Sean terlihat shock. Wajahnya menegang, lidahnya kelu, matanya terbelalak. Namun, seketika berubah menjadi murung. Menghenyakkan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Anda yakin, Sir?" tanya Sean setelah terdiam beberapa saat.

"Tiga bulan, menurut perkiraan," jawab Haris.

Mendengar berita itu, Sean menggeleng, mengusap kasar wajahnya. Matanya terpejam. Seolah menahan rasa sesak di dadanya.

"Seharusnya aku melamarnya lebih awal," gumam Sean.

"Oh, ya?" ucap Haris.

"Kemarin saat aku menemukannya ... aku berniat melamarnya dan menikahinya dalam waktu dekat, tapi sekarang ...." Semua sudah terlambat, lanjutnya dalam hati.

Sean tampak menyesal. Sungguh amat menyayangkan, mengapa Claire tidak mengatakan sesuatu tentang kehamilannya?

'Mengapa Claire, kabar bahagia itu tidak kau beritahukan kepadaku?' batinnya.

"Melihat Anda terkejut, sepertinya Anda memang tidak tahu ya?" asumsi Haris.

"Apakah mungkin ... janin yang di dalam kandungannya bukan anak Anda, Sir?" pancing Haris. Membuat Sean menatapnya tajam.

"Claire tipe wanita setia, dia tidak mungkin berselingkuh!" Sean terdengar geram.

"Oke, oke, tenang, Sir, ini hanya asumsi. Kekasih Anda meninggal tidak wajar, dan Anda berada di TKP lebih dulu ...." Haris sengaja menggantungkan ucapannya, agar Sean mencerna maksud dari ucapannya.

"Jadi, menurutmu, Claire sengaja dibunuh karena hamil?" tanya Sean, dalam hatinya ia berharap itu tidak benar.

"Kami masih menyelidiki. Satu tersangka sudah kami coret. Setidaknya jika melihat reaksi Anda. Tidak mungkin Anda yang membunuhnya," jelas Haris.

"Tentu tidak! Aku mencintai dia! Bagaimana mungkin aku tega membunuhnya! Anda harus mengerahkan rekan-rekan Anda, untuk menemukan pelaku pembunuh Claire!" bantah Sean.

Betapa geramnya ia. Dirinya yang kehilangan wanita yang amat dicintainya, malah dituduh sebagai pembunuhnya. Asumsi macam apa itu?

avataravatar
Next chapter