1 NAMA YANG TERDENGAR

"Kok lucu Bi, rumah belum punya, anak banyak, malah mau menikah lagi."

"Hanya itu komentar Fatimah setiap aku menceritakan tentang keinginanku berpoligami." Cerita Yusuf kepada Yunus hari itu di pelataran pesantren sebelum mereka mulai mengajar.

"Lalu sekarang bagaimana?"

"Entah"

"Apakah kamu sudah menceritakan perihal Nazwa pada Fatimah?"

"Belum, aku belum berani."

"Kenapa? "

"Aku masih mencari waktu yang tepat."

"Sampai kapan? "

"Sampai aku benar-benar berani dan merasa siap. "

"Bagaimana dengan Nazwa, apakah kamu tega membiarkan Nazwa berada dalam kebimbangan dan kesepian di malam-malam panjang nya sendirian?"

Yusuf diam, pandangan nya menerawang.

Nazwa wanita cerdas yang ia kenal di media sosial kemudian bertemu muka di sebuah restaurant.

Selanjutnya perbincangan pun berlanjut diantara guncangan-guncangan perasaan yang berusaha mereka tekan.

Nazwa itu tinggal dengan satu orang anak, berwajah cantik, berkulit putih, bulu matanya lentik, alis matanya tebal meski tanpa pensil alis.

Nazwa yang menawan.

Nazwa yang menghadirkan kerinduan luar biasa dalam relung hati Yusuf yang sangat dalam.

Suatu hari Nazwa berkabar putranya sakit dengan sigap Yusuf pun mengirimkan obat-obatan yang di paketkan ke rumah Nazwa.

Sejak hari itu Nazwa menjadi dekat dengan Yusuf begitu juga sebaliknya

"Kamu harus segera bercerita kepada Fatimah sebelum Fatimah mengetahui hal tersebut dari orang lain. "

"Aku hanya khawatir Fatimah akan merasa shock "

" Fatimah pasti shock, tapi ini adalah jawaban dari kalimat-kalimatnya selama ini. Saat ini Fatimah sedang disadarkan oleh Allah, bahwa Allah itu Maha Mendengar."

Yusuf menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan Yunus itu benar.

Cerita yang saat ini terjadi padanya semacam sentilan yang dihadiahkan oleh Allah atas pernyataan-pernyataan Fatimah selama ini.

Urusan duniawi yang kerap kali dipertanyakan oleh Fatimah setiap Yusuf mengangkat poligami dalam perbincangan mereka.

Yusuf kini bertemu Nazwa, janda cantik kaya raya dan luar biasa baik yang siap menikah dengan Yusuf serta siap memberikan semua yang dia miliki untuk dibagi bersama keluarga Yusuf

Sebenarnya keraguan yang dimiliki Fatimah bukanlah kesalahan. Yusuf hanyalah seorang guru di pesantren milik ayah nya dengan gaji yang pas-pasan.

Yusuf pun memiliki tujuh orang anak yang masih kecil-kecil. Rasa nya tidak pantas bila Yusuf menikah lagi.

Namun Allah berkata lain.

Pertemuan Yusuf dengan Nazwa menjadi cerita cantik yang menyusup dalam rumah tangganya.

"Ceritakan lah sebelum semua nya terlambat!" Bisik Yunus di telinga adik nya itu.

Yusuf hanya menganggukkan kepalanya meski terasa sangat berat.

Yunus kemudian berdiri meninggalkan Yusuf saat melihat Fatimah adik ipar nya mendekati Yusuf.

"Aku kedalam dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Abi, aku nitip Fahri, dia rewel sejak tadi."

"Kamu mau kemana?"

"Aku mau menemui tamu orang tua santri yang baru saja datang dari luar kota."

Fatimah pun meninggalkan Yusuf yang termangu sendirian sambil memeluk Fahri putra mereka yang paling kecil.

"Abi jangan lupa kalau hujan, jemurannya tolong diangkat ya." Pesan Fatimah sambil berlalu.

Sekali lagi Yusuf hanya menunduk.

Mengasuh tujuh orang anak dengan bantuan seorang pembantu bukanlah hal yang mudah memang.

Fatimah nyaris kehilangan waktunya untuk berhias, hal itu terbukti dari penampilan nya yang apa adanya dan terkesan biasa saja. Bahkan tubuh Fatimah pun tampak lebih gemuk dan tak teratur.

"Gemuk itu tandanya sehat, hidup nya makmur." Begitu selalu ucapan yang keluar dari bibir Yusuf setiap Fatimah mengeluh tentang berat badan nya yang terus bertambah.

Yusuf seringkali merasa kasihan pada Fatimah, itu sebabnya Yusuf selalu membantu Fatimah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Dret...dret...dret " ponselnya berdering. Ada nama Nazwa disana. Yusuf pun mengangkat telpon tersebut.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Sedang apa?"

"Sedang menggendong Fahri putraku." Jawab Yusuf malu-malu pada Fatimah.

"Luar biasa."

"Kenapa luar biasa?"

"Tidak banyak ayah yang mau menghabiskan waktu bersama putranya."

"Aku juga bukan menghabiskan waktu bersama putraku, waktu ku juga banyak di luar. Ini hanya kebetulan saja. " Tegas, Yusuf meyakinkan Nazwa.

"Selalu merendah."

"Ada apa?"

"Apanya?"

"Ada apa kok telephon?"

"Tidak ada apa-apa hanya... "

"Hanya apa?"

Nazwa diam. Dia tidak meneruskan kalimatnya.

"Kangen."

Kemudian sambungan telephon itu di putus begitu saja.

" Halo... "

" Halo... "

"Kok malah di putus." Ucap Yusuf dengan kesal menyadari sambungan telephon nya benar-benar terputus.

Yusuf menghubungi Nazwa kembali tetapi sepertinya ponsel Nazwa off.

Yusuf menggelengkan kepalanya. Dia melangkah memasuki rumah melalui pintu samping karena ada tamu di ruang tamu.

Yusuf meletakkan Fahri di ranjang. Anak laki-laki berusia empat tahun itu telah terlelap tidur.

Cuaca ekstrem yang mengahdirkan hawa dingin membuat hampir setiap orang terayun-ayun dalam suara alam yang menimbulkan rasa kantuk.

"Apakah sudah tidur Fahri nya?" Tanya Fatimah.

"Iya."

"Syukurlah."

"Apakah tamunya sudah pulang?"

"Sudah."

"Ada apa?"

"Mereka menitipkan putrinya untuk mondok di pesantren ini. Mereka membawa beras dua puluh lima kilogram, gula lima kilogram juga minyak goreng."

"Rizqi dari Allah memang tidak pernah tertukar " seloroh Fatimah di samping Yusuf.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam sedang hujan masih turun dengan deras.

Fatimah telah terlelap. Fatimah dan Yusuf telah menikah lima belas tahun lamanya.

Sejak melahirkan putra kelima mereka. Fatimah memang lebih sering tidur lebih dahulu di banding Yusuf mungkin karena dia merasa lelah.

Yusuf duduk di beranda, menikmati hujan yang turun dengan deras.

Hati Yusuf resah sejak tadi dia menghubungi Nazwa namun perempuan itu tidak mengaktifkan ponselnya.

Bahkan pesan yang Yusuf kirimkan via perbincangan WhatsApp pun belum terbaca.

Hingga beberapa detik usai itu Yusuf melihat centang dua biru di pesan yang Yusuf kirim untuk Nazwa.

Dengan rasa tidak sabar Yusuf pun menghubungi Nazwa.

"Dari mana saja? Aku menghubungi mu sejak tadi tapi ponsel mu mati."

"Aku sedang merenung."

"Sengaja ya membuat aku cemas, setelah bilang kangen lantas pergi."

"Tolong jangan di ulangi lagi."

"Iya maaf."

"Aku mencintai mu Nazwa tolong jangan siksa aku." Tanpa Yusuf ketahui ada sesosok tubuh yang berdiri gemetar mendengar kalimat yang Yusuf ucapkan.

Kalimat itu jelas terdengar, meskipun diucapkan diantara deras nya air hujan.

avataravatar