1 1

šŸŽ¶Andai kau izinkan, walau sekejap memandang. Kubuktikan kepadamu, aku memiliki rasašŸŽ¶

Bianglala Lagnasia, gadis berusia 19 tahun yang kini menjadi mahasiswi tahun kedua di sebuah universitas ternama di Surabaya. Bian -sapaan gadis itu- memandang lurus ke depan, melihat aktivitas pemuda yang menjadi pusat seluruh perhatiannya sejak mereka masih berstatus siswa SMA. Pemuda itu adalah Pramuda Asyraf atau sering dipanggil Rof.

"Bian, lo gapapa?" tanya Dina saat menyadari teman di depannya belum menyentuh mangkok baksonya.

"Bian, liat apa sih?" ketika Dina merasa gagal membuyarkan lamunan Bian dengan melambaikan tangan di depan mukanya, kini Dina menoleh ke belakang. Ikut mencari objek pandangan Bian hingga membuat gadis itu melamun.

Ooo, gumam Dina saat mengetahui siapa yang dipandang Bian sedemikiannya.

"Eh, oneng. Bakso lo keburu dingin." ucap Dina sedikit keras dan menggoyangkan lengan Bian.

"Apa?" tanya Bian saat sadar.

"Apa, apa. Makan bakso lo. Sebentar lagi masuk, lagian si Rof makan juga kan? Dia gak liat lo kan?" cerocos Dina. Hanya ia yang bisa mengatai Bian seperti itu karena as secret admirer, Bian tidak pernah bercerita tentang objek kekagumannya kepada orang lain. Hanya kepada Dina, ia menceritakan hal-hal sepele yang dilakukan Rof dan bisa membuat jantung Bian kembang kempis.

"Siapa juga yang liat Rof? Gue mah mikirin tugas kali." sanggah Bian.

"Alesan lo," Dina mencomot baksonya. "Sejak kapan Bianglala Lagnasia mikir tugas? Bukannya lo sering kopas punya gue?" lanjut Dina.

"Kalo ngomong suka bener deh, Din" Bian mengaduk kuah bakso, mulai makan meski beberapa kali masih melihat ke Rof yang kini sedang becanda dengan teman-temannya.

###

Sore harinya Bian duduk nyaman di sofa ruang keluarga, nyemil. Tangannya asik ngescroll akun instagram. Bian bukan gadis yang suka bermain di jejaring sosial, ia hanya membuka akun tersebut untuk mengetahui aktivitas teman-temannya.

"Bian, anter kue ini ke tetangga!" pinta Ratna.

Bian beranjak dari duduknya, "siapa, ma?"

"Ke rumah tante Sari." ucap Ratna sambil menyodorkan kotak berwarna merah ke Bian. Mendengar nama Sari disebut jantung Bian serasa keluar dari dadanya.

See. Pasti kalian bisa menebak rumah siapa itu, it's right. Tante Sari itu mamanya Rof. Jadi bisa dong. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati. Sambil nganter kue sekalian liat Rof.

Bian pun melangkah keluar.

Bisa kalian tebak rumah Rof dimana? Pasti ada yang bilang di sebelah atau di depan rumah Bian, dan jawabannya rumah Rof ada di depan rumah Bian.

"Tante Sari!" ucap Bian sedikit keras, ia mengulang sampai tiga kali dan akhirnya gagang pintu terlihat berputar, dan muncullah tante Sari.

"Bian kebiasaan deh kalo ke sini gak teken bel, tapi manggil-manggil. Untung aja tadi tante lagi beresin ruang tamu, jadi kamu gak kelamaan." semprot Sari sembari membuka gerbang rumah. Bian nyengir kuda, eits.. Bukan karena dia merespon omelan Sari, melainkan saat Bian menyadari kalau Rof belum pulang terbukti dengan motor sport Rof belum terparkir anggun di depan garasi.

"Kamu tunggu tante ambil uang sambil berdiri di situ? Enggak masuk?" tanya Sari ketika menyadari Bian tidak mengikutinya masuk rumah.

"Bian nunggu di teras aja deh, Te." Bian melangkah menghampiri Sari.

"Bentar yah." ucap Sari sebelum masuk ke rumah.

Kemana Rof ya? Padahal udah sorean, kan tadi kelasnya berakhir sejam sebelum kelas gue. Lah gue udah sampek, kok dia belom? Bian bermonolog dalam hati.

"Lo ngapain di sini?" suara bariton favorit Bian.

"Eh? Nganter kue." jangan kira setelah itu Rof akan berbasa-basi lagi. Tidak, ia segera turun dari sepeda motor seperdetik kemudian melenggang masuk. Cukup satu pertanyaan dari Rof mampu membuat jantung Bian berdetak kencang. Gadis itu kini memegang pipinya, unch.. Senengnya aku.

"Kamu sakit Bian?" Sari yang baru saja keluar, langsung melihat wajah Bian agak memerah segera meletakkan punggung tangannya ke dahi Bian.

"Enggak kok, Te."

"Kok wajah kamu merah?"

Ini karena ulah anak tante, siapa suruh nanya? Kan jadinya aku seneng.

"Masak sih?" Bian beranjak berdiri saat Sari menarik tangannya dari dahi Bian.

"Iya. Ini uangnya, salam ke mama kamu makasih dan jangan kapok kalo tante pesen lagi." Bian mengangguk kemudian melangkah pergi.

Sepeninggalnya Bian dari gerbang rumah Rof, tidak berjalan. Gadis itu melompat girang sampai ke rumah.

"Mama, ini uangnya. Jangan ganggu Bian sampek makan malem ya." pinta Bian sambil menyodorkan uang ke Ratna yang tengah duduk di ruang keluarga.

"Mau ngapain?" tanya Ratna, mata wanita itu terlihat meneliti sesuatu dari anak gadisnya.

"Ada deh." ucap Bian agak keras karena ia sudah menaiki anak tangga ke duabelas.

Bian's room

Kamar bernuasa biru milik Bian terlihat seperti club dadakan. Bagaimana bisa? Bian memutar lagu kesukaannya keras, tidak hanya itu ia juga menari di atas kasur. You can see, bedcover berwarna senada dengan dinding kamar tersebut jauh dari kata rapi, bantal dan boneka doraemon kesayangan Bian sudah tergeletak di lantai.

Pasti ada yang bilang Bian alay, itu Bian kayak anak smp pertama kali aja, Bian childlish banget sih, sebegitu sukanya kah ke Rof. Well, hanya seperti itu cara Bian memendam semuanya selama ini. Jika dia mendapatkan kesenangan dari Rof seperti tadi, ia akan meredamnya dengan berjoget di kamar. Dan jika ia mendapatkan rasa sakit seperti beberapa bulan lalu karena Rof berjalan dengan gadis lain, Bian akan melampiaskan tangisannya dengan menonton drama korea karena menurutnya agar ada alasan saat ditanyai kedua orang tua Bian. Maklum saja, Bian adak bungsu dari tiga bersaudara. Jadi, Ratna dan Edi pasti mencurigainya apalagi dengan kedua kakaknya tidak tinggal bersama.

Bian merebahkan diri di kasur, terdengar nafas yang masih memburu. Gimana enggak coba? Dia udah berjingkrak-jingkrak selama hampir tiga puluh menit tanpa henti.

"I love you, Rof." lirih Bian sambil menutup matanya perlahan.

avataravatar
Next chapter