1 Bagian 1: Pada Awalnya... Kita Bertemu Bukan?

Apa arti sebenarnya perjuangan? Apa perjuangan adalah yang dilakukan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan? Apakah meraih cita-cita pantas disebut perjuangan? Kata "perjuangan" terdengar sangat relatif di telinga. Segala hal yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh dapat disebut sebagai "perjuangan". Tentu perjuangan tidaklah hal yang hanya dilakukan sebagian orang saja, walau dengan dibantu orang lain semua hal yang kita lakukan sendiri maupun bersama dapat disebut perjuangan. Di Bumi yang luas ini semua orang memperjuangkan banyak hal, mulai dari hal kecil seperti berolahraga dan diet untuk menjaga penampilan, hingga hal besar seperti bekerja keras untuk memberi makan anak istri. Semua orang selalu berjuang karena memiliki semangat untuk hidup. Tapi hal yang sama tidak bisa dikatakan padaku, aku ingin mengakhiri kehidupan ini. Ketidakadilan duniawi selalu mengarah pada diriku. Tidak ada orang yang peduli terhadapku. Bahkan saat aku menceritakan keresahanku pada Ayah, ia hanya berkata "Halah, gausah lebay deh. Kamu itu belum dewasa. Belum ngerasain gimana beratnya jadi orang tua. Jangan sedih kan bisa". Bahkan dimata orang tuaku hal ini bukanlah apa-apa. "Ini semua hanya fase diriku membenci dunia, pasti akan berakhir tidak lama lagi". Pikiran seperti itulah yang membuat orang sepertiku tak punya keinginan dan motivasi untuk hidup.

Hal ini bermula dari masa SD. Aku bukanlah anak yang kuat. Akibat asma yang kukidap, aku tidak bisa berlarian seperti anak lainnya karena aku buruk dalam mengkontrol nafasku. Aku juga bukan anak yang populer di kelas, aku tidak pintar dan tidak bodoh. Biasa saja, orang biasa. Aku tidak pernah merasa istimewa di dunia ini, karena kurasa segala hal yang bisa kulakukan, ada orang lain yang bisa melakukannya dengan lebih baik. Anak lain biasa menjadikanku bahan tawaan, menyebutku seperti perempuan hanya karena aku tidak bisa bermain sepak bola, dan menganggapku seperti sampah. Suatu hari saat aku menduduki kelas 3 SD, aku merasa sudah lelah dipermainkan. Rian, anak paling populer di sekolah dan yang paling disayangi semua orang. Hewan itulah yang selalu mempermainkan, dan mengejek diriku. Aku berpikir seperti pahlawan-pahlawan di televisi, sudah saatnya menegakkan keadilan. Tapi aku salah...

Di ruangan kelas...

"Rian, aku nggak suka dibully kayak gitu. Kamu plis stop!"

"Wah si mbaknya marah nok. Sini lawan kalo berani!"

"Tapi kalo aku menang kamu harus berhenti!"

"Iya mbak~ Ayo guys pegangin dia supaya ga gerak"

"Apa?! Satu lawan satu dong biar adil!"

Aku yang tak bisa melawan itu dijadikan bahan tertawaan lagi-lagi di dalam kelas. Semua binatang busuk itu tertawa. Super hero penegak kebenaran tidaklah ada. Setelah aku dijadikan bahan tertawaan, mereka merekayasa apa yang sebenarnya terjadi. Mereka bilang aku "lepas kendali", mengamuk bahasa kasarnya dan mencoba untuk menghantam Rian. Itu semua tidaklah benar, namun...

"Kamu kenapa pengen mukul si Rian ha?!"

"E-enggak pak, saya itu sering dibully sama dia jadinya saya pengen ngelawan"

"Ooo jadi kamu ngaku bener pengen mukul dia kan?!"

"Bukan gitu maksud saya pak, dia yang ngajak berantem"

"Mana ada! Anak-anak lain yang bilang kalo kamu itu lepas kendali pengen mukul Rian!"

"Si Rian itu dibelain temen-temennya pak! Saya kan-"

"Udah! Ga usah ngeles-ngeles lagi! Udah jelas yang lain bilangnya salah kamu!"

"I-iya pak..."

Bahkan orang tuaku sendiri tidak percaya pada darah dagingnya sendiri. Aku merasa bahwa aku-lah makhluk terendah di dunia. Tak ada seorangpun yang bisa mempercayaiku.

Setelah masa SD berakhir, tidak banyak hal yang berubah. Umurku bertambah hanya untuk mempercepat kematian alamiku. Kemudian tibalah masa SMA, hal berjalan seperti biasa. Aku menghindari bersekolah dengan hewan-hewan ternak di sekolah terdahulu. Jauh di kota, aku berhadapan dengan orang-orang baru. Semuanya mungkin membaik, tapi tetap saja... orang-orang disekitarku tidak menggangguku karena sejatinya mereka tidak mengenalku. Dimata mereka aku hanya orang asing yang kebetulan berada didekat mereka. Kesepian yang melanda ini semakin memburuk ketika Ibu meninggal. Aku tidak mengatakan bahwa dialah satu-satunya orang yang mempercayaiku di dunia ini seperti klise-klise dalam karya literasi. Walau ia tidak mempercayai segala hal yang ku katakan di masa lalu, dia selalu mengatakan padaku untuk tidak pernah menyerah untuk berjuang mencari "ikatan" yang sejati. Entah apa maksud yang ia katakan, saat itu aku hanya bisa menerjemahkan kata-katanya sebagai "masih banyak orang lain di dunia ini yang bisa kamu percayai". Tapi... tentunya terjemahan dariku itu sudah kutinggalkan bersama dengan kesedihan kepergian dirinya.

Tentunya cerita ini adalah tentang perjuanganku untuk meraih semangat untuk hidup. Dulu aku tidak percaya dengan ungkapan bahwa masa SMA adalah masa paling indah karena kisah cinta. Aku masih tidak percaya dengan hal itu karena menurutku itu hanyalah kiasan, tapi aku percaya bahwa masa SMA adalah masa penting yang dapat merubah pribadi seseorang. Aku dapat berubah karena belajar darinya. Aku tidak pernah mendengar namanya sebelum masuk SMA, karena aku berusaha mencari sekolah yang jauh dengan rumah. Jadi, namanya belum pernah terdengar sebelumnya ditelingaku. Namun kini... aku tak akan pernah melupakan namanya.

Kami bertemu pertama kali pada semester 2 kelas X. Hari itu terjadi hujan yang sangat deras, aku tidak bisa pulang karena aku menggunakan angkutan umum untuk berangkat dan pulang sekolah. Tidak ada banyak orang yang masih berada di sekolah. Kebetulan aku berkeliling untuk mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk berlindung dari hujan di trotoar agar aku sekaligus bisa menunggu angkutan yang hendak lewat. Aku mencari-cari hingga akhirnya tiba di kelas XMIPA1 tempatnya lumayan dekat dengan gerbang sekolah, jadi benda apapun yang aku dapatkan aku tidak usah membawanya jauh-jauh. Hal ini mungkin kurang etis tapi aku mencari-cari hingga ke kolong-kolong siswa. Pelanggaran privasi? Aku saat itu tengah putus asa, jadi segala carapun aku lakukan. Di meja bagian belakang aku menemukan sebuah spanduk. Spanduk acara sekolah lebih tepatnya, mungkin ditinggalkan anggota OSIS pikirku. Anehnya kelas ini adalah kelas X jadi anggota baru belum dilantik ataupun dipilih. Saat itu aku pun berpikir untuk bodo amat, tapi suatu hal mengalihkan perhatianku. Ada sebuah buku yang tertinggal di kolong salah satu meja siswa. Ada sebuah buku harian yang tidak dikunci, karena penasaran akupun membacanya. Karena benda untuk berteduh sudah kudapatkan, kurasa tidak ada gunanya bila terlalu terburu-buru. Jarang-jarang ada siswa SMA membawa buku harian ke sekolah, maka dari itu aku mulai membaca isinya. Nama pemiliknya... Liana. Kemudian aku teringat, Liana. Ia adalah murid paling terkenal di kalangan kelas X, semua orang mengenalnya karena prestasi dan karismanya.

Halaman pertama buku harian itu ditulis pada tanggal 5 Juli 2015. Janggal, halaman pertama ditulis tahun lalu. Biasanya anak perempuan jarang mengganti buku hariannya karena sejatinya hanya kejadian pentinglah yang mereka tulis. Tapi buku harian yang cukup tebal ini kelihatannya hampir penuh. Bulan Februari, aku menemukan buku hariannya pada bulan itu. Kelihatannya buku hariannya memiliki paling tidak 300 halaman tapi aku kurang yakin. Sepertinya dia mengisi buku harian ini setiap hari, tapi kenapa? Aku mulai membaca isi dari buku hariannya...

(5 Juli 2015,

Selamat ulang tahun diriku! Mulai sekarang berjuanglah untuk berubah! Belajar dengan sungguh-sungguh! Bersikap baiklah pada semua orang! Sebisa mungkin bantu semua orang tanpa pamrih! Jaga penampilan sebaik mungkin! Jangan mencari terlalu banyak teman! Kamu cuma bakal bikin mereka sedih! Buatlah impresi yang bagus dimata masyarakat!)

Aneh... mengapa ia menulis semua hal ini? Ia menulisnya seperti suatu aturan untuk dirinya sendiri. Aku tahu ada tipe orang yang suka menuliskan peraturan untuk dirinya di tempat penting seperti buku harian. Tapi kalimat "Kamu cuma bakal bikin mereka sedih!", apa maksud dari kalimat itu? Kenapa dengan mencari teman akan membuat mereka sedih? Akupun memutuskan untuk membaca lembar berikutnya...

(P.S

Hasil dokter minggu lalu jangan terlalu dipikirin, berjuanglah selagi masih ada waktu! Buatlah kenangan yang gabakal kamu lupain!)

...

Aku memang tidak pintar, tapi aku juga bukan orang bodoh. Setelah membaca semua itu aku mulai mengerti bagaimana situasinya. Walau tidak mampu kususun dalam suatu kalimat, kini aku mengerti makna setiap kata yang tertulis dalam buku harian ini.

*tok tok tok

"Permisi~"

"A-"

Tanpa bisa bersembunyi ataupun mengembalikan buku harian itu, kami berdua menatap sejenak sembari diam saja. Kemudian ia mulai mendekat ke depan meja tempatku duduk itu.

"Dapet baca?"

"Sorry, iya-"

Aku tak bisa berkata apa-apa... setelah melakukan pelanggaran privasi, aku malah menemukan hal yang seharusnya tidak aku temukan. Selama ini aku memang selalu merasa berat di hati, tapi beban kali ini terasa berbeda. Rahasia yang harusnya hanya ia yang mengetahui kini diketahui orang asing dari kelas sebelah sepertiku.

"Maaf, tadi aku penasaran pengen baca soalnya nggak dikunci..."

Apa yang kukatakan? Terlalu jujur seperti itu membuat aku terlihat seperti orang ga sopan yang ga ada kerjaan.

"Hahahahahahahaha~", balasnya

"Eee... kamu nggak marah?"

"Ngakak aku, jujur banget kamu ngomongnya. Kalo orang lain pasti bilangnya, "Waduh sorry sorry aku nggak sengaja liatnya" gitu"

"A-ah tapi bener, aku minta maaf banget"

"Udah ah, nggak apa-apa. Aku nggak masalah kalau orang yang baca bukan orang yang aku kenalin"

(Sumpah, aku cuma dianggap orang asing numpang lewat doang nih?)

"Semua isi buku itu beneran?"

"To the point banget ngomongnya ya"

"Canggung ga sih kalo aku isi basa basi lagi?"

"Hahah iya iya"

......

"Bener, kalo kamu orangnya tanggap, sekali baca pasti langsung paham situasinya. Iya, aku bakal mati", ucapnya.

.....

Ia mengatakan hal itu sambil tersenyum, jujur... aku tidak habis pikir. Liana Nagapasa, murid paling terkenal dan dikenal di sekolah. Pintar, cantik, baik, dan karismatik. Banyak orang menyukainya, banyak pula yang membencinya. Seimbang sempurna, seperti semua hal seharusnya. Namun dibalik "persona" tersebut, hal seperti ini bisa terjadi. Hujan pun terlihat sudah mulai mereda.

"Semenjak tahun lalu kah?"

"Iya, jelek banget nasibku ya?"

Ia berjalan ke pintu kemudian berhenti...

"Tapi kupikir... kalo aku bakal pergi, aku harus pergi dengan ledakan", ucapnya

"Ledakan? Ngasi kesan sama orang-orang dideketmu?"

"Ya, makanya sebisa mungkin aku pengen ngemainin peran anak sekolahan perfect yang disukai banyak orang"

"Peran hah..."

"Hm?"

Bila semua yang ia lakukan semuanya hanya "peran" yang ia mainkan. Secara teori ia tidak ada bedanya dengan orang-orang lain. Tapi alasannya memainkan "peran" ini untuk membuat "ledakan" yang ia katakan... bukan seperti orang lain. "Peran" atau yang aku lebih kusuka sebut dengan "persona" adalah topeng atau hal yang kita lakukan untuk menimbulkan persepsi tertentu kepada orang lain. Misalnya cewek yang selalu bersikap baik padamu nyatanya juga bersikap baik pada semua orang, cewek itu hanya melakukannya agar dimata orang banyak ia dicap sebagai orang baik, maka dari itu janganlah terbuai kebaikan semata, karena nyatanya dia melakukannya pada semua orang. Simpelnya, "persona" adalah topeng yang kita gunakan untuk menyembunyikan jati diri kita sesungguhnya. Temanmu yang terlihat selalu ceria biasanya melakukannya untuk menyembunyikan "luka" yang ia miliki. Muak. Biasanya aku muak dengan orang-orang yang menggunakan "topeng" yang tebal. Tapi dia... mengenakan "topeng" yang tebal bukanlah untuk keuntungan dirinya sendiri, tapi demi orang-orang disekitarnya agar mereka selalu mengingatnya. Liana Nagapasa.

"Kayaknya kita gabakal akrab, ya?", ucapku

"Where is this coming from?", tanya Liana

"Aku pengen mati aja", balasku. "Sorry, mungkin topik kematian ga boleh dibahas sembarangan. Tapi dunia ini bikin muak ga sih?"

"Muak...", balas Liana. "Mungkin pandanganmu sama dunia beda yah... tapi bagi aku yang mungkin ga lama lagi... setiap jam, setiap menit, dan detik... semua itu berharga!"

Aku tersenyum, sudah lama aku tidak bertemu orang sepertinya. Walau menggunakan "topeng" yang tebal, tapi semua perkataan yang keluar dari mulutnya seperti berasal dari hatinya.

"Kupikir kamu bakal marah atau pergi karena aku bahas topik sensitif kayak gitu... hebat. Kalau aja kita temenan, mungkin aku bakal punya temen bicara yang asik. Karena hujan udah agak reda, aku mau pulang"

Karena hujan sudah reda, nampaknya spanduk ini sudah tak kubutuhkan lagi. Liana hanya terdiam saat aku mengembalikan spanduk itu ketempatnya. Ketika aku hendak keluar...

"Tunggu!", ucapnya

"Kenapa?"

"Kasi aku ngebantu kamu"

"Hah? Bantu ngapain mbak? Aku tau kamu pengen baik sama semua orang. Tapi aku itu cuman orang asing. Gausah bantuanmu"

"That's not the point! Bukannya kamu baca buku harianku ya? Kalo kamu bacanya jeli pasti ngerti kenapa"

"Ha? (Sebisa mungkin bantu semua orang tanpa pamrih!) Terus kalo kaya gitu emang kenapa mbak? Aku nggak butuh bantuannya"

"Peraturan sekolah No. 44, "Siswa tidak boleh memasuki kelas yang bukan merupakan kelasnya setelah jam pulang sekolah kecuali ada kepentingan yang sangat mendesak". Kalo aku liat-liat, kamu bukan tipe murid yang mau mencolok bukan?"

"Ngh-"

"Lagipula aku juga bisa ngelaporin kamu untuk pelanggaran privasi. Gimana? Aku cuma minta buat kamu ngasih aku ngebantu aja kok"

"Tch- Hebat, cocok kamu murid ikon sekolah ya. Kayaknya aku gaada pilihan lain. Kamu pengen bantu apa? Bantu supaya aku nggak pengen mati?"

"Itu sama ngubah persepsi kamu ke dunia"

"Aku pengen liat kamu nyoba tapi biar aku bilang kalo ngelakuin itu bakal susah. Gimana?"

"Kamu pikir segituan doang bisa bikin aku nyerah? Enggak lah. Kita mulai besok! Mumpung libur, tunggu di taman kota. Kalo kamu nggak dateng, udah tau lah konsekuensinya"

Walau aku merasa terganggu karena sebenarnya aku ingin diam di rumah dan bermain game dari pagi sampai sore, tapi karena konsekuensi itu akupun tak bisa menolak. Kami-pun pulang, ke arah yang berbeda tentunya. Setelah tiba dirumah aku merebah dan berpikir, kalu orang sepertinya mati maka orang-orang terdekatnya akan sedih. Apalagi jika teman-teman terdekatnya tahu kalau dia akan mati, mereka pasti akan sangat terpukul dengan nasibnya. Kehilangan orang yang penting bagi kita pasti menyakitkan, jika kau tidak ingin tersakiti janganlah kau anggap mereka penting. Berlebihan? Aku lebih suka menyebutnya berpikir realistis, hal seperti "pergi dengan ledakan" pasti tidak akan terjadi padaku jika aku mati nanti. Semakin realistis kita berpikir maka kita akan sadar bahwa semua orang suatu saat akan mati. Seberapa besarpun usaha dan perjuangan yang kita lakukan, akhir cerita kita manusia pasti sama. Itulah yang disebut takdir, seberapa keraspun kita berjuang ialah yang kita sebut "yang tak terhindarkan".

Keesokan harinya aku menunggu di taman kota sembari bermain HP, tentunya untuk menyingkirkan kebosanan karena ia terlambat. Sudah hampir 30 menit aku menunggu ia tak kunjung tiba.

"Dor!"

"aaah kagetnya," balasku dengan nada serendah-rendahnya

"Gaasik banget sih kamu, gimana nunggunya?"

"Ooh jadi sengaja kamu dateng telat ya?"

"Hmmm enggak lah, jalanan lagi macet tauu"

"Kau jalan kaki mbak, ceritanya bisa macet gimana?"

"Udah ah, anggap aja ada urusan wanita. Kamu pernah ngomong sama cewek nggak sih?"

"Kalo pernah mungkin aku udah punya pacar lah"

"... yak aku ragu sama kenyataannya"

"Yaudah, sekarang emang mau ngapain?"

"Nah di depan ada kafe baru tuh, aku mau coba-coba disana"

"Aku gabawa duit banyak lo"

"Ndak apa, selow, biar aku yang bayarin"

"Waduh serius nih?"

"Iya dong, rencananya tabunganku mau kuhabisin. Buat apa orang mati nyimpen duit banyak-banyak"

Kami-pun masuk ke dalam kafe baru itu. Seperti pada umumnya, kafe baru pasti dipenuhi dengan pelanggan. Aku hanya memesan latte, karena aku tidak mau terlalu merepotkan. Malu rasanya apabila aku membeli banyak hal saat sedang ditraktir perempuan. Kami kemudian duduk di tempat duduk yang kosong.

Ia bertanya, "Kanapa kamu pengen mati?"

Kujawab, "Ga bisa ku kasih tau, palingan kamu bakal nganggep aku orang lemah. Kalau kuceritain paling kamu bakal bilang "kok kayak klise abis yak?""

"Hah, enggak lah! Tapi kalo kamu ga mau ngasih tau juga ndak apa-apa, nanti juga kamu curhat sendiri"

"Gak mungkin lah. Terus pelajaran apa yang aku dapetin kalo aku ke kafe ini sama kamu?"

"Hmmm... nikmatin hidup?"

"... kamu beneran gak pikir kedepan ya ngajak-ngajak ke sini?"

"Mikir gimana? Ngatur kencan pertama itu susah tau"

"Hah, kencan? Bukannya kata "pemerasan" lebih tepat ya?"

(Kalau ga ada ancem-anceman mana mau gue kesini...)

"Hahahahaha, gila, gila, sumpah... Aku suka lo kata-kata yang keluar dari mulutmu. Kalo orang biasa pasti mikir dulu ngomongnya"

Speechless, aku benar-benar kehabisan kata-kata menangani perempuan ini. Aku selalu bicara blak-blakan agar orang-orang menjauh dan memberiku ruang untuk sendiri.

Dia bertanya lagi, "Kalo temen gimana? Semua orang punya kan?"

"Kalo yang kamu maksud temen itu parasit yang ngemanfaatin ada banyak. Tapi kalo "temen" ga ada, nol"

"Kenapa ga nyari?"

"Gaada orang yang bisa dipercaya. Biasanya kalo sedetikpun kita balik badan, pasti kita dikatain dari belakang"

"Kayaknya itu prasangka burukmu aja deh. Gimana kalo misalnya kamu besok mati? Kan kita nggak tau kejutan apa di tangan Tuhan"

"Dengan senang hati, aku rasa ga ada ruginya. Mungkin di neraka lebih enak ya? Eh enggak-. Hari liburku disita kayak gini aja berasa siksaannya"

"Heeh gitu toh, gajadi deh aku bayarinnya. Malas"

"Bercanda, bercanda, aku seneng disini kok," ucapku dengan akting alakadarnya

"Keliatan banget bo'ongnya asli. Daya tarikku nggak berpengaruh ya? Hahahaha"

"Kenapa kamu nggak kesini sama temen aja? Ngapain gitu ngajak aku segala?"

"Gaasik, udah biasa sama yang lain. Pengen pengalaman baru aja sih"

"Eh, sebelum kamu mati bukannya banyak hal yang pengen kamu lakuin"

"Nah itu dia! Sebenernya aku mau diskusiin itu sih. Ada tempat yang pengen kudatengin"

"Oke, ajak temenmu aja kalo kayak gitu nggak usah ngelibatin aku"

"That's not the point bro, kita berdua aja yang kesana"

"Apa?! Ngapain aku ikut terlibat wasiatmu sih?"

"Ya karena cuma kamu sama keluargaku aja yang tau kalo aku bakal mati. Ga enak aku kalo ngajak temen"

"Aduh, aku bakal kena terus kayaknya"

"Mohon bantuannya! Aneh kan kalo anak SMA kemah sendiri"

"Malah lebih ambigu lagi kalo anak SMA lawan jenis berdua kemah buk"

"Waah, ternyata kamu juga bisa mikir kayak gitu yah?" Ucapnya dengan senyum rubah

"Ah udahlah, aku anggep semakin cepet pemerasan ini selesai kalau aku iyain aja"

"Nah gitu dong~ oke aku tunggu di terminal lagi seminggu"

Dengan begitu, kami berdua pulang ke rumah masing-masing, kuharap semua ini bisa berakhir dengan cepat. Ia memberikan sebuah gelang yang ia bilang harus kukenakan disekolah sekalipun. Padahal sekolah melarang siswa mengenakan perhiasan, sebaiknya kusembunyikan dibawah jam tangan saja.

avataravatar