webnovel

Masuk ke kamar Ve diam-diam

Andika tertegun menatap bangunan yang masih mengepulkan asap. "Bagaimana bisa …," lirih Andika dengan mata melebar. Tidak menyangka akan ada kejadian seperti itu.

"Ibu …." Ve mendekap Nurlena. Menyesal karena tidak berada di sisi Nurlena dan para penghuni panti saat mereka sedang menghadapi musibah. "Maafkan Ve, Bu. Ve tidak tahu ada kebakaran. Maafkan Ve," ucapnya di sela tangis terisak.

"Uhuk …." Astari sengaja menjatuhkan diri dari kursi roda. Terbatuk sambil menarik tangan Andika yang sedang berdiri di sampingnya. 

Sontak Andika memeluk gadis itu supaya tidak tersungkur ke tanah. Ia mengangkat Astari dan mendudukkan kembali di atas kursi roda. Hal itu terlihat oleh Ve, tapi ia sama sekali tidak merasa cemburu. Ve justru merasa khawatir.

Ia berlari dan bertanya dengan cemas. Tidak pernah berpikir buruk dengan sikap aneh Astari yang menepis tangannya. Andika merasakan kemarahan dalam nada bicara Astari.

"Kamu sengaja tidak pulang karena sudah lupa dengan kami," ketus Astari sambil memalingkan wajahnya.

"Tidak benar, Kak. Ve tadi …. Ve tidak mungkin lupa dengan keluarga. Ve salah, tapi Kakak jangan marah. Maafkan Ve," kata Ve. Ia berlutut di depan kursi roda. Menangis pun tidak membuat hati kakak angkatnya tersentuh.

Andika meremas pelan pundak Ve, meminta gadis itu untuk bersabar. Hanya lewat tatapan mata, tanpa perlu bicara, Ve mampu menangkap maksud dari ucapan kekasihnya. Interaksi itu membuat Astari semakin kesal.

Dengan alasan kebakaran, ia menepis tangan Andika dari pundak Ve.

"Kamu tidak boleh menyentuh adikku seperti itu, Dika! Suasana sedang berduka, tapi kau memanfaatkan situasi untuk mendekati adikku, begitu?"

"Tidak, Kak Tari! Dika dan Ve sudah~"

"Dika!" Ve menghentikan ucapan Andika karena ia tahu seperti apa perasaan Astari terhadap laki-laki itu. Meski Dika tidak tahu, tapi Ve tetap merasa tidak enak hati. Sebelum kekasihnya mengungkap hubungan mereka, ia menariknya pergi menjauh dari Astari.

'Sialan! Mereka malah menunjukkan kemesraan di hadapanku.'

Jay datang bersama tiga buah mobil yang dibawa dari mall. Tidak ada barang yang tersisa. Jay membawa para penghuni panti ke rumah Andika.

Nurlena menolak keras ide untuk tinggal di rumah Andika, tapi Astari memaksa mereka untuk menerima saran dari laki-laki itu. Tentu saja, ia setuju dengan saran Andika karena itu adalah tujuannya membakar panti.

"Ve ikut bersamaku di mobil ini," kata Astari saat Andika membuka pintu mobil untuk kekasihnya.

"Tapi, mobil Jay sudah penuh, Kak Tari."

"Biar Ana yang ikut dengan mobilmu. Aku tidak bisa turun sendiri dan harus dibantu. Aku tidak mau disentuh sopirmu," ujar Astari dengan tatapan merendahkan. 

'Gadis ini memiliki mulut yang pedas. Sikap Ve yang tomboy justru lebih beradab saat menatap orang lain.' Jay tersinggung dengan kata-kata Astari yang menganggapnya sebagai sopir. Tatapan mata gadis itu lebih membuat sakit hati Jay.

"Kalau begitu, tolong kamu jaga Ana. Aku akan naik mobil pak Jay." Ve menggendong si kecil Ana ke mobil Andika. Ia sendiri duduk di sebelah Astari di dalam mobil Jay.

Rumah Andika sangat besar. Kamar di lantai dasar dan lantai dua saja tidak akan penuh jika mereka semua tinggal di sana. Andika juga merasa sangat senang saat mereka bersedia tinggal di rumahnya. 

Rumah dingin itu tidak akan lagi sepi. Akan ada kehangatan dan keramaian sebuah keluarga yang telah lama diimpikan olehnya. Selain itu, ia juga bisa tinggal serumah dengan kekasihnya, berangkat bekerja bersama, dan menghabiskan waktu lebih banyak.

***

Imah membagi kamar untuk anak-anak panti. Dua belas anak-anak dibagi dalam empat kamar. Sementara yang remaja, mereka tinggal sekamar berdua. Astari, Ve, Nurlena, serta dua orang pengurus panti diberi kamar masing-masing.

'Akhirnya rencanaku berhasil. Aku sudah masuk ke rumah Andika dan aku akan menjadi nyonya Ozla.'

Astari tinggal di samping kanan kamar Andika, sedangkan Ve di samping kiri kamar laki-laki itu. Nurlena melihat rona kebahagian di wajah putri kandungnya. Entah kenapa, hati wanita paruh baya itu merasa tak tenang.

"Putriku … dia tidak merasa sedih setelah kehilangan panti yang sudah menjadi tempat tinggal sejak lahir. Aku harap, dia tidak melakukan hal aneh di belakangku," lirih Nurlena sambil menatap Astari yang duduk di dekat jendela.

Andika bahkan meminta Jay untuk membelikan kursi roda listrik untuk gadis itu. Ia juga sudah meminta asistennya itu untuk memanggil tukang bangunan besok siang. Masih jam empat pagi, mereka semua perlu beristirahat setelah mengalami saat-saat menegangkan.

"Mama tidak pergi ke kamar?" tanya Astari saat melihat ibunya masih berdiri di dekat pintu.

"Hah? Oh, mama akan pergi sekarang. Kamu juga cepat beristirahat," kata Nurlena sambil menutup pintu kamar Astari.

Nurlena tinggal di lantai dasar, sedang Ve dan Tari tinggal di lantai dua. Di lantai dua, hanya tiga kamar yang terisi. Semua kamar itu berdampingan.

Ve duduk melamun di depan sebuah cermin. Di dalam kamar mandi, ia mulai memikirkan hubungannya dengan Andika. Tinggal bersama kakaknya yang jelas-jelas sudah memintanya untuk menyerah.

"Bagaimana caranya memberikan alasan kepada Andika? Aku tidak bisa menyakiti hati kak Tari."

Tubuhnya menggelusur turun, jatuh terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Ia tidak sanggup berpisah dengan Andika. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan kakaknya.

Tok! Tok!

Andika mengetuk pintu kamar Ve pelan-pelan. Matanya berkeliling mengamati keadaan sekitar. Ia menemui Ve diam-diam karena ada keperluan mendesak.

Gadis itu tidak mendengar suara ketukan pintu. Ia tetap duduk diam melamun di kamar mandi. Pintu kamar tidak dikunci dan pintu kamar mandi terbuka lebar. 

Tidak mendapat jawaban dari dalam, Andika memutar gagang pintu. "Tidak dikunci?" Ia bergumam dan kembali mengedarkan pandangan. Merasa tidak ada orang, ia masuk dan menutup pintu. Tidak lupa, Andika mengunci pintu kamar Ve agar aman.

"Ve!" Panggilnya setengah berbisik.

Andika menoleh ke pintu kamar mandi yang terbuka. Matanya membelalak lebar saat melihat sosok gadis yang dicarinya sedang terbaring di lantai. Ia pikir Ve pingsan, tapi rupanya hanya tertidur.

"Astaga, Ve!" Andika memekik dan berlari menghampiri Ve.

"Dika!" Ve terkejut bukan main saat laki-laki itu memanggil dan membangunkannya. "Kamu… sedang apa di sini?" 

"Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kau berbaring di lantai seperti ini? Kamar mandi itu untuk mandi, bukan untuk tidur. Dasar gadis bar-bar!" Andika mendesah berat sambil menggerutu. Ia sudah sangat cemas, tapi Ve dengan tenangnya tersenyum lebar.

"Sepertinya aku tidak sengaja ketiduran saat melamun tadi," ucap Ve dengan sudut bibir terangkat. Kata-kata itu keluar begitu saja dan ia tidak merasa ada yang salah.

"Melamun? Apa yang membuat kamu melamun sampai tertidur di kamar mandi?"

Senyum Ve berubah menjadi wajah kebingungan. Pertanyaan itu membuatnya tersadar. Ia sudah salah ucap dan ia harus bisa memberikan alasan kepada Andika sekarang.

*BERSAMBUNG*

Next chapter