19 Bagian XVIII (Pamit)

Sabtu ini merupakan satu hari dari berbagai macam hari yang memiliki sapaan pagi cukup cerah. Sinar mentari yang tampak dari ujung timur tak berujung sebab bumi ini bulat; mulai menyinari perumahan kota dengan burung yang berangkat di atapnya. Burung-burung berkicauaan terdengar serasi dengan pagi yang cerah ini, sembari menelusuri langit hingga jalanan kota yang mulai padat akan kendaraan. Bahkan di pagi-pagi buta pun para pengendara telah berada di jalanannya mengisi udara dengan polusi yang seharusnya belum ada. Tapi tidak apa, semuanya telah terbayarkan oleh indahnya langit pada pagi hari ini.

Tak ada mendung seperti hari-hari sebelumnya, mungkin karena bulan ini telah memasuki musim penghujan. Beruntung tidak pernah ada atau bahkan belum pernah ada bencana alam seperti banjir selama Ara menjadikan kota Jakarta sebagai tempat tinggalnya sementara untuk mencari rezeki. Namanya juga Jakarta, jika tidak ada bisikan-bisikan banjir melanda kawasan ibu kota itu akan jadi asing rasanya terdengar di telinga.

Bahagia dan ceria adalah jodoh yang cocok untuk pagi yang cerah ini sebagai latar belakang adanya suasana. Hati yang berbunga-bunga, pernyataan cinta, pasangan yang akan menikah, dan keluarga yang bahagia adalah hal yang pas jika disandingkan pada waktu saat ini. Juga pembawaan suasana hati yang baik tentu akan terlibat pula sebagaimana yang Ara alami pada saat itu juga. Bibirnya tak henti menopang senyuman sedari awal perjalanan menuju pada tempat dia bekerja.

Suasana hati Ara sedang baik meski dengan kelopak mata yang sedikit membengkak. Semalaman dirinya kekurangan asupan mimpi dan memilih untuk berpikir dibandingkan mengistirahatkan diri. Dongeng tidur alias rekaman suara sang ibu yang dulu pernah dengan sengaja ia rekam pun tak dapat membuat pikirannya teralihkan. Tapi jika melihat Ara yang terus menarik bibirnya itu, sepertinya kerterjagaannya memberikan hasil yang baik dan memuaskan untuk dirinya sendiri.

"Ara, nanti siang di tempat seperti biasa ya?" pesan dari Legra tiba-tiba muncul pada layar ponselnya. Langsung saja hal tersebut membuat senyum Ara tambah merekah hingga ujung.

Dengan yakin, hari ini dirinya akan memantapkan hati. Namun, sebelum itu dia harus memulai harinya dengan semangat bekerja. Baiklah Ara, tunjukkan semangat bekerjamu yang tak kalah dari semangat hari-hari sebelumnya. Tunjukkan pada dunia bahwa semangat bekerja hingga semangat hidupmu sangatlah tinggi meski dunia berusaha menebang itu.

Semua orang dibuat terheran oleh tingkah laku Ara yang menurut mereka tidak wajar. Banyak orang dari tempat itu yang tak menyukai Ara, entah apa sebabnya tetapi hampir semua orang disapa dengan senyum dan panggilan yang sopan. Bahkan Egan menjadi tak sampai hati mengeluarkan mulut nyinyirnya di depan senyuman Ara. Mungkin dia luluh akan senyuman itu atau juga dia merasa akan percuma mengeluarkan suara yang sudah biasa tak ditanggapi oleh Ara dan sekarang akan membuatnya kesal sendiri dengan adanya Ara yang tersenyum.

Sampai pada waktu menunjukkan jam istirahat di siang hari, Ara buru-buru melangkahkan kaki untuk pergi ke tempat yang ia dan Legra janjikan. Sesampainya di sana, rupanya Legra telah duduk menunggu. "Aku terlalu lama ya? Oh ya, dimana An, nggak biasanya kamu sendiri?"

Legra yang mendengar itu mendongak dan membalas senyum Ara yang tampak. "Nggak lama kok, Ra. Aku baru aja datang tapi An langsung masuk ke dalam mau ngurus sesuatu."

"Oh, begitu." Sembari mendengarkan Legra menjawab pertanyaannya tadi, Ara sudah terduduk di kursinya.

"Nih, Ra minum. Aku tau kamu pasti capek banget."

"Terima kasih, Gra."

"Sampai keringetan begitu," kata Legra dengan memandang lekat wajah Ara yang memiliki banyak sekali bulir keringat.

"Namanya juga teknisi, Gra. Kalau enggak keringetan ya enggak gerak, kalau enggak mau keringetan ya nggak usah kerja jadi teknisi." Sembari mengelap peluhnya dia tersenyum kembali. Ah, dia pun jadi ikut banyak tersenyum di hadapan Legra. Jangan mudah tersenyum terlebih dahulu, Ara. Mungkin saja nanti, kamu akan terbenam oleh kebimbangan yang jika orang lain yang merasakan itu akan jadi biasa saja.

"Kenapa kamu maksa kerja di sini sih, Ra. Padahal kamu juga udah punya pekerjaan lain."

"Kalau aku berhenti dari sini, maka aku akan berhenti juga untuk sering bertemu denganmu, Legra. Bahkan sesering apapun aku bertemu denganmu, banyak waktumu hanya ada di hari sabtu dan minggu." Hanya batin Ara yang dapat mengatakan hal sedemikian. Seperti biasa dirinya terlalu naif.

"Nggak apa-apa kok, kan bisa nambah uang buat dikirim ke ibu."

"Apa gaji kamu di industri itu nggak cukup?"

"Ya, cukup sih."

"Kamu itu perempuan, nggak seharusnya kamu bekerja keras kayak gitu. Apa lagi dengan profesimu ini. Kasihani tubuh kamu sendiri, Ra." Sebenarnya mau dikatakan Legra kasihan pada tubuh Ara atau pun Ara sendiri, tetap saja itu menunjukkan bahwa dirinya peduli dan perhatian terhadap Ara. Entah peduli itu atas dasar sebagai manusia, teman, atau laki-laki.

"Iya, Gra iya." Lebih baik ia iyakan saja sebelum Legra berkomentar lebih jauh.

"Jadi, ada hal apa yang ingin kamu sampaikan?"

"Aku mau pergi ke Singapura besok. Waktunya pagi, jadi aku nggak bisa mampir ke tempat anak-anak. Kamu mau 'kan pergi ke sana buat beliin mereka jajanan seperti minggu-minggu lalu?"

Ara mendengarkan semua hal yang dikatakan oleh Legra dengan seksama. Namun, batinnya menolak untuk mendengarkan hal tersebut dengan menutup kuping rapat-rapat. Mengapa harus besok? Bahkan rencana yang telah ia susun sedari tadi malam hingga sulit tertidur harus keluar dari perencanaan. Tidak mungkin jika hari ini, semuanya terlalu mendadak untuk saat ini. Setidaknya bila hal yang telah ia rencana itu terlaksana esok hari memberikan dia kekuatan meski apa yang ia inginkan akan bertolak belakang. Tapi jika sekarang, ia belum siap. Ah, sudahlah besok atau pun sekarang juga akan sama saja hasilnya. Apapun yang terjadi, ia akan selalu siap sedia menerima semuanya.

"Kamu pergi besok pagi ya?"

"Iya, Ra."

Jika dipikir-pikir, sebenarnya pernyataan Legra kali ini termasuk berpamitan dengannya atau tidak, ya? Entahlah Ara pun tak tau. Dirinya pun sungkan untuk bertanya langsung pada sang empunya itu untuk memastikan.

"Ya sudah, aku sendiri yang akan pergi ke studio seni oleh anak-anak luar biasa itu."

Legra terkekeh pada penuturan Ara yang dalam menyebutkan tampat anak-anak itu. "Aneh-aneh aja kamu, Ra. Yaudah ini uangnya," kata Legra dengan memberikan lembaran uangnya pada Ara.

"Nggak usah. Pakai uang aku aja. Punyaku cukup kok buat mereka juga," tolaknya halus.

"Kamu nanti tetap di sini? Sampai sore nggak?"

"Iya, kemungkinan aku akan sampai sore nanti. Ada beberapa hal yang harus aku urus bareng An di sini."

"Baik, tunggu aku nanti. Ada hal yang perlu aku sampaikan sama kamu."

"Hal apa? Kenapa nggak sekarang?"

"Nanti aja."

Lepas dari perbincangan itu, hanya ada perbincangan ringan di antara mereka. Pun tak hanya itu, karena waktu ini adalah jam makan siang, mereka memutuskan untuk makan bersama. Menikmati hidangan sederhana yang diperjualkan di tempat itu. Hidangan yang menurutnya tidak cocok bila dihadapkan pada artis papan atas seperti Legra ini. Tapi dia tetap memakan sembari asik bercanda ria dengan Ara. Sampai-sampai mereka tak pernah sadar akan tatapan-tatapan iri orang-orang yang berada di sekitar mereka. Lebih tepatnya, mereka iri terhadap Ara yang bisa melakukan perbincangan seleluasa itu terhadap seorang artis seperti Legra. Artis yang tak begitu banyak orang yang menjadi temannya karena An yang menjaganya cukup ketat meski Legra memiliki sifat yang menyenangkan dan mudah bergaul.

Katakan saja orang-orang yang bekerja pada perusahaan pemroduksi film itu yang masih bekerja pada hari sabtu itu. Maka, akan ditemukan banyak sekali orang yang menonjolkan ketidaksukaan mereka tehadap Ara. Sisanya adalah orang yang tak peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka akan melakukan apa. Dan juga hanya Legra dan An yang mau berjalan di sampingnya.

avataravatar
Next chapter