17 Bagian XVI (Jalan)

"Capek nggak, Ra?"

"Enggak, kok. Kamu ngapain, sih ikut aku segala? Nanti kalau ada yang lihat bagaimana?" Ara dan Legra berjalan di atas trotoar pinggir jalan yang cukup sepi. Seharusnya Legra sudah pulang bersama An sebelum ini. Namun, dia bersikeras untuk ikut bersama Ara, alhasil mereka berada di sini sekarang.

"Siapa yang mau lihat, sini tunjukan! Kamu tenang aja, aku 'kan udah pakai masker, jalanan sini lumayan lah buat tau kalau bakalan ada orang yang nguntit atau enggak. Insting aku paling ampuh tau," bangga Legra pada dirinya sendiri.

"Iya, deh. Tapi nanti setelah aku selesai dari ATM kamu langsung pulang, ya. Takutnya ada orang lain yang mengenal kamu." Ara memang berniat untuk ke ATM di dekat sini. Dia akan mengirimkan uang hasil kerjanya pada orang rumah. Dia memang selalu seperti itu sedari dulu. Niatnya pergi ke Jakarta pun untuk membantu bapak menafkahi ibu dan adik-adiknya.

"Iya tau. Harusnya tadi kita naik kendaraan umum aja ya, atau minta An antar. Kamu jadi capek nanti."

"Gra, kamu 'kan Artis untuk apa bersikap baik dengan aku, sih. Aku hanya orang yang nggak ada apa-apanya untuk orang seperti kamu." Ara merasa bahwa Legra terlalu banyak berbuat untuk dirinya. Ia pun merasa tak pantas akan hal tersebut, siapa dirinya yang bisa berlaku seperti orang yang sederajat dengan Legra.

"Udah, Ra, nggak usah mulai."

***

Siang telah menunjuk pada waktu untuk segera menghapus lebih dari sebagian yang dimilikinya. Dengan sinar matahari yang tak menampakkan teriknya, dia mulai menenggelamkan diri di balik pepohonan yang cukup rindang. Orang-orang yang tadinya berbaur bersama-sama di studio sudah menunjuk diri untuk kembali ke tempat istirahatnya di dunia.

Tadinya An akan kembali bersama Legra dan Astri bersama Ara seperti keberangkatan mereka, tetapi tak bjadi. Saat itu Legra mendengar Ara bertanya pada Nasir untuk pertama kalinya. Ia bertanya tentang dimana letak ATM terdekat yang berada di daerah sini. Di antara mereka semua, memang hanya Nasir yang lebih mengetahui tempat-tempat tertentu. Maka dari itu, tidak salah jika Ara menanyakan hal tersebut pada Nasir.

"Iya, Ara? Ada kok, ada. Setelah jalanan ini nanti ada jalan yang cukup sepi, nah habis itu nanti bakal ada banyak toko-toko dan juga ATM di sana. Kamu hanya perlu ikut jalanan ini," jawab Nasir menjelaskan pertanyaan Ara.

"Gitu, ya, kak. Terima kasih, kak."

"Kamu mau ke ATM, Ra? Ayo aku ikut, ya, kebetulan 'kan belum sore banget."

"Enggak apa-apa, Gra?" Ara memandang Astri seolah bertanya, "Nanti Astri gimana?"

"Iya, ayo!"

"Nggak apa-apa, Ra. Kalau begitu aku pulang dulu aja ya. Aku tunggu kamu di kosan." Astri tersenyum pada Ara yang menunjukkan bahwa ia memperbolehkan.

An pun pergi atas perintah Legra, ia mengatakan akan menaiki taksi saja nanti. Walau pun sempat ada perdebatan singkat karena An yang tak mau membiarkan Legra melakukan hal yang seenaknya sendiri tanpa tau resiko yang akan terjadi nanti jika Legra berkeliaran sesuka hati. Hingga akhirnya Legra tetap pergi bersama Ara dan menemaninya menuju ATM.

Sepanjang jalan mereka gunakan untuk bercerita dan bergurau bersama. Mereka tidak pernah mempertanyakan perihal hati masing-masing. Yang mereka tau hanyalah, mereka saling nyaman satu sama lain. Terbukti dengan kebersamaan mereka seharian ini dan juga sebelumnya tak pernah merasa bosan. Mereka hanya melakukan apa yang mereka suka.

"Ara, hal apa yang paling kamu suka ketika merasa bosan?" tanya Legra dengan senyumnya.

"Ketika bosan, ya," ulangnya. "Aku suka bersepeda, Gra, tapi sendirian."

"Apa yang enak dari bersepeda?"

"Kalau aku merasa jenuh, bingung mau melakukan apa, bosan melakukan sesuatu, aku akan bersepeda santai di atas galengan sambil menikmati pemandangan di sana. Kamu tau? Rasanya itu nyaman dan menenangkan, apa lagi kalau kamu lagi stres."

"Galangan? Galangan kapal maksudnya?" Pertanyaan Legra sungguh membuat Ara tertawa. Bagaimana mungkin dari galengan bisa menjadi galangan. Memang kata yang dituliskan sangat mirip, tetapi itu sangat jauh dari konteks yang Ara lontarkan. Pun artinya jauh berbeda.

"Galengan, Gra, bukan galangan. Rumahku jauh dari daerah pantai. Aku bahkan tidak tau di sana ada galangan kapal atau tidak," jawabnya.

"Oh, galengan, inget aku. Jalan kecil di antara sawah 'kan? Sejuk pasti ya, sawah 'kan hijau semua. Nggak kayak Jakarta penuh polusi, kebanyakan gedung lagi."

"Nggak boleh gitu, Gra. Kita harus tetap bersyukur. Kalau nggak ada Jakarta kita nggak akan ketemu. Kalau nggak ada Jakarta nggak akan ada yang mencari nafkah di sini. Dan kamu lihat, buktinya Jakarta masih punya banyak tumbuhan seperti yang ada di sini 'kan?"

"Iya, ya, Ra. Hidup aku juga kebanyakan ngeluh kayaknya." Dia mengeluh karena terlalu banyak mengeluh. Ara hanya tersenyum tipis.

Tidak pernah Ara merasakan waktu yang begitu cepat berlari ketika dia sedang ada bersama Legra. Belum lagi jika mereka berbincang-bincang masalah hal ke depan maupun nostalgia waktu yang berlalu. Kini mereka telah sampai pada tempat yang Ara tuju. Ia pun melihat sebuah taksi yang masih berada jauh akan melewati mereka.

"Kamu pulang sekarang aja, ya, Gra. Itu sudah ada taksi lewat."

"Sekarang banget?"

"Iya udah sana!"

Ara melambaikan tangan untuk memberhentikan taksi tersebut. Kemudian menyeret Legra untuk masuk ke dalamnya setelah membukakan pintu. Melambaikan tangan sebelum taksi tersebut dijalankan. Sedangkan dirinya masuk menemui mesin pengiriman uang.

Jauh dari hal tersebut, Legra tidak akan sebenarnya pergi. Seperti yang selalu Legra lakukan ketika hari menjelang malam bahkan pada malamnya sekali pun. Legra tak akan dengan teganya membiarkan seorang perempuan seperti Ara berkeliaran sendiri di malam hari meski tampaknya sendiri pun Legra selalu ada di belakang Ara untuk memastikan bahwa gadis itu selamat sampai tujuan. Dia memberhentikan taksinya sedikit jauh dari jangkauan penglihatan Ara.

"Pak, berhenti sebentar pak."

Selepas Ara keluar mencari dan menunggangi kendaraan umum, Legra mengikutinya dari belakang hingga melihat Ara masuk dalam kawasan kos-kosan tempatnya tinggal. Baru setelah itu dia pergi menuju tempat tinggalnya. Tak mungkin dia tidak sebertanggung jawab itu. Legra tau bahwa kodrat perempuan adalah di jaga, Legra pun sadar sebagai laki-laki akan orang-orang di sekeliling Ara, dia yang tak memiliki penjaga di sini. Tak akan ia membiarkan Ara sebagai perempuan bahkan sepolos dirinya ada yang berlaku kejahatan bahkan melecehkannya.

Entah apa yang Legra lakukan kali ini. Legra rasa semua yang telah ia lakukan terhadap Ara adalah di luar kendalinya. Ia begitu peduli terhadap Ara. Tampaknya saja ia hanya berlagak sebagai seorang teman, tetapi perilakunya melebihi dari hal tersebut.

Sikap Ara yang sulit mengenal terhadap orang-orang baru selalu mengingatkannya pada seseorang yang telah melukainya, walau Legra tau mereka adalah orang yang berbeda. Hanya satu dari sifat mereka yang sama. Jika Ara tidak memiliki banyak teman yang Legra lihat, maka dia sangat memiliki banyak teman yang kerap ditunjukkan padanya.

"Arina, apa kamu bahagia dengan orang lain di sana? Dulu aku yang kamu bilang bisa buat kamu jadi perempuan di saat kamu mengucapkannya."

Hingga Legra mulai kesal terhadap dirinya sendiri, "Gue harap lo nggak akan bahagia karena selain kebahagiaan, orang yang gue sayang pun lo hancurkan." Emosinya tiba-tiba membludak tak tentu arah. Kejadian-kejadian akan masa lalu selalu membuatnya marah tak tertahankan. Ia ingin membalas tapi lengannya tak sampai. Ia ingin mencaci maki tapi mulutnya terkunci. Sehingga dia hanya bisa diam mengubur luka.

avataravatar
Next chapter