16 Bagian XV (Sukses)

Dari sekian banyak spesies laut yang ada di bumi, sulit memang mencari dan membedakan jenis-jenisnya. Kalau pun bisa, tidak akan semuanya akan ternilai karena terlalu beragamnya. Dari kesekian artis di Indonesia, rupanya tidak dari salah satunya Legra bisa menggambarkan akan semuanya. Legra hanya manusia yang terlalu lengah sekali pun banyak informasi yang bisa ia dapatkan. Dia tidak pernah menyangka sebodoh ini Legra jika di bandingkan dengan yang lain. Dia yang tak dapat menyembunyikan apa pun dari publik, sekecil apapun hal itu. Bahkan kehancuran cinta di awal karirnya pun demikian. Tapi untuk sekarang, apakah ia bisa melindungi Ara dari publik?

"Jadi, mereka adik-adik, lo?"

"Ya, gue nggak nyangka bakalan ketemu lo di sini. Awalnya gue kira hanya manager lo itu, ternyata ada lo juga." Dia tersenyum membalas senyuman Legra.

"Oke, kita gabung mereka, sir," ejek Legra dengan menekankan kata sir dengan logat bahasa inggrisnya.

Dia adalah Nasir, seseorang yang menjelma menjadi tokoh salah satu pemeran cerita yang Legra mainkan juga. Legra tak pernah menyangkan akan hal ini, jika Legra yang menjadi Nasir, maka hal ini bisa saja sudah bocor ke tangan publik. Menjadi hal positif seperti 'Legra yang berbaik hati' atau bisa menjadi isu negatif seperti 'Legra hanya mencari muka di depan publik dengan berempati'.

Legra dan Nasir berjalan ke arah meja dimana Ara, An, Astri dan anak-anak tempati. Ketika itu, terlihat Astri yang duduk di tengah antara An dan Ara dengan tak nyaman. Ia berbicara dengan Ara menggunakan bahasa yang Legra tau adalah bahasa jawa, dengan suara kecil namun Legra cukup mendengarnya.

"Ara, kae lho. Aku risih ning cedak e wong lanang iki. Ket mau melirik i aku terus, mangkeli tenan," adu Astri.

"Emang ono opo, to?" tanya Ara bingung.

"Mbuuh, kayane aku ora nggawe salah seko awal, aku didelok wonge koyo kui terus. Koe ket mau ning ndi wae to, sui men. Aku iki ngenteni. Untunge ono mas e iki."

"Koe weruh dewe kiye, aku bar tuku-tuku jajan nggo koe juga, ndang lah dimaem bareng-bareng." Ara mulai membuka plastik jajanan yang tersisa, karena jajanan lain telah dibuka oleh anak-anak sedari awal.

"Silahkan dicicipi."

Astri tidak tau akan semua orang yang ada di sini. Ia berpikir mereka adalah orang jakarta yang kemungkinan besar tidak akan tau apa yang ia dan Ara bicarakan tadi. Ia bahkan tidak menghiraukan An yang duduk di sampingnya menahan tawa atas pembicaraan Astri.

Mereka duduk dalam kursi panjang oleh tiga orang dikarenakan kursi yang ada di sini memang terbatas. Ara duduk di sebelah kiri Astri sedangkan An di sebelah kanan. Legra berada di kursi single samping depan Ara dan Nasir berada di kursi single samping depan An. Anak-anak? Jangan tanyakan, tentunya mereka menggunakan tikar lantai untuk duduk karena sudah tidak ada lagi kursi, sedari tadi mereka sudah sibuk dengan makanan yang Ara dan Legra bawa.

Setelah Ara selesai membuka semua bungkus makanan, Legra mengambil salah satunya. Kemudian mengangkatnya menunjukkan pada semua orang untuk melakukannya juga dan Nasir mengangguk.

Mata Astri menelisik berbagai makanan yang ada di depannya. Ia mencari mana saja makanan yang terlihat enak. Sesaat Astri mengambilnya, membawa makanan itu ke hadapan Legra berharap sang empu mau menerima. Tentu saja hal tersebut dapat disaksikan oleh semua orang.

"Terimalah."

"Terima kasih, udah pernah mencoba itu. Gue lebih suka yang ini." Legra mengambil pukis yang berada tepat di depan Ara. Pukis adalah makanan favorit Ara, Astri tau itu.

Dan apa tadi, Legra menggunakan gue sebagai penunjuk dirinya? Itu artinya bahasa aku-kamu hanya digunakan untuk Ara. Astri baru sadar bahkan sedari awal pun sudah seperti itu. Astri memutuskan untuk meletakkan kembali piring itu dan mengambil satu untuk dimakan dengan sedikit kasar. Ia sedikit kesal, mungkin seperti ini perasaan penggemar jika memberikan hadiah tetapi pemberiannya tidak diterima.

Untuk memecah keheningan, Nasir bedehem, "Ekhem, Gra ada suatu hal yang perlu gue tau dari lo."

"Hmm," alisnya terangkat seolah bertanya 'apa?'.

"Apa ini pertama kali, lo datang ke sini?"

"Bukan, ke.. dua kali ya 'kan, Ra. Iya dua kali."

"Apa tujuan lo buat datang lagi ke sini?"

"Oh, iya. Lo 'kan kakak mereka ya, berarti gue perlu izin dulu ke elo," katanya. "Jadi, awalnya gue cuma penasaran karena Ara kasih hadiah ke gue, menarik makanya gue mau datang ke sini. Bukan apa-apa, untuk yang ke dua ini gue pengen bantu anak-anak di sini, boleh 'kan? Lo tenang aja gue nggak akan mengatasnamakan gue, An yang bakal urus." An yang merasa namanya di panggil pun menoleh dan mendelik ke arah Legra tak terima, sedangkan Legra hanya cengengesan.

"Nggak boleh."

"Loh, kenapa?"

"Nggak gitu, apa pernah lo kasih tanya ke anak-anak tentang ini?" tanya Nasir.

"Belum."

"Gandhi, coba ke sini. Ada kak Legra mau bicara." Gandhi yang dipanggil pun menoleh dan menghampiri orang-orang dewasa itu.

"Ada apa, kak?"

"Kak Legra mau bicara."

"Begini, kamu sebagai anak tertua di sini 'kan Gandhi. Kakak ingin sedikit memberi bantuan untuk kalian. Bukannya kakak ingin merendahkan kalian, kakak rasa kakak ada tempat yang sepertinya lebih baik dan layak untuk kalian tinggali dari pada kalian di sini. Bagaimana apakah kamu mau? Tolong pertimbangkan Gandhi, kakak pastinya nanti juga akan membantu kalian masalah bahan baku."

Akhirnya Legra telah mengungkapkan apa-apa yang ada di benaknya untuk anak-anak ini. Harapannya, mereka bisa menerima niat baik Legra ini.

"Kak, bukannya apa-apa juga. Kita memang lebih memilih untuk tinggal di sini. Dulu, kak Nasir juga pernah menawarkan hal yang sama. Tapi.. Kita mau lihat kak Nasir sukses dulu, kita mau sering-sering lihat kak Nasir di tv dulu. Nanti kalau kak Nasir udah sukses kita mau dibawa kak Nasir pergi dari sini. Yang penting kak Nasir sukses dulu baru kita menyusul."

Semua orang yang berada di sana tentu saja tercengang. Tidak pernah menyangka bahwa anak-anak sekecil mereka memikirkan hal tersebut. Jadi, ini alasan Nasir sering mencari-cari job, agar anak-anak ini bahagia dengan caranya. Dia tersenyum tatkala Gandhi berbicara begitu hebatnya.

"Bijak sekali kamu. Lalu, sekolah kalian bagaimana?" tanya Legra.

"Kita tetap sekolah kok, kak. Sekolah kita masih dekat sini, kak Nasir yang mengurus. Kita berada di tempat ini pun supaya keberadaan kak Nasir aman."

Senyum terbit dari masing-masing bibir. Anak-anak di sini rupanya tidak hanya luar biasa dalam hal seni. Mereka pun memiliki hati yang sangat mulia. Mereka yang selalu membuat Ara bahagia ketika berada di tempat ini. Selain memanjakan mata dengan karya mereka, Ara pun dibuat ternganga atas pendirian mereka.

"Baiklah kalau begitu. Emm, kakak bisa apa?" Legra terkekeh. "Gimana kalau kakak bantu kakak kalian?"

"Iya, kak, iya. Kalau kak Nasir cepet sukses, artinya kita juga cepet sukses," ceplosnya.

Semua orang jelas tertawa atas tingkah polos Gandhi kali ini. Dia ingin cepat-cepat sukses namun menginginkan Nasir untuk sukses terlebih dahulu. Bertepatan menyelesaikan kalimatnya yang menggemaskan itu, Gandhi memperhatikan Ara tanpa kedip. Hanya saja yang diperhatikan tidak menyadari akan hal tersebut. Ara terus saja memakan makanan lezat yang ada di hadapanya. Apa lagi jika bukan pukis makanan favoritnya.

"Kak Ara, itu 'kan yang dari tadi aku cari-cari." Gandhi menunjuk pada pukis yang Ara makan. Air mukanya memelas meminta belas kasihan.

"Ada apa dengan pukis ini Gandhi?" memang dasarnya Ara yang tidak peka saja.

Gandhi berlari melewati belakang kursi yang Legra duduki. "Ih, kakaaak. Gandhi dan semuanya juga mauu.. Kenapa kakak makan sendiri..?" rengeknya.

"Ini masih, eh kok, habis?" Seperti kebiasaan Ara sebelum-sebelumnya, dia makan tanpa memperhatikan keadaan makanannya sendiri. Baginya jika lidahnya telah cocok, maka ia hanya akan tahu makan saja. "Gandhi maafkan kakak, ya, maaf. Besok-besok janji, deh, kakak belikan banyak pukis untuk kalian. Janji," ucapnya dengan mengangkat tangannya. Sedangkan Astri yang duduk berada di samping Ara ikut mengangkat tangannya sekaligus dua. Tangannya maju ke depan mencubit kedua pipi Gandhi gemas.

Betapa menyenangkannya berbicara bahkan bermain dengan anak-anak. Ara jadi seperti mengenang masa kecilnya yang selalu ia gunakan untuk bermain. Tak kenal waktu hingga sang ibu marah karena tak pulang-pulang. Belum lagi jika bapak mengetahui Ara yang bermain air sawah bersama teman-temannya di belakang rumah, dengan menjadikan air sawah tanpa padi itu seperti kolam renang kosong dan dangkal meski dirinya tak dapat berenang. Tapi apakah sekarang teman-teman sepermainannya masih mengingat akan dirinya yang pernah menjadi bagian dari masa kehidupan mereka sewaktu kecil? Ara rasa sudah tidak lagi. Dia pun juga sudah tak mau mengingat-ingat yang terdahulu lagi. Sekarang sudah ada Legra dan juga Astri yang akan selalu jadi teman baiknya sampai nanti. Ara sangat berharap bahwa mereka tidak akan pernah berubah untuknya. Ara berharap mereka akan selalu berada di sisinya untuk selama-lamanya. Belum lagi sekarang ada anak-anak luar biasa ini, itulah panggilang favorit Ara untuk mereka. Semoga juga akan ada An dan Nasir. Sesederhana untuk mereka menjadi temannya saja, tidak lebih.

avataravatar
Next chapter