11 Bagian X (Direndahkan)

Waktu begitu lambat dalam berjalan menuju jalan ternyaman yang bisa Ara temukan di dunia. Begitu mengulur banyak hal hingga memberinya celah menemui titik terang jalan itu. Begitu mahal untuk sekedar memberinya informasi yang paling tepat agar ia tak terus menerus berada dalam jalan ini. Rasanya Ara ingin berbelok saja ke lain tujuan. Tapi Ara takut jika tujuan yang berbeda itu malah memberikan jalan yang akan dipilihnya menuju jalan yang lebih sesat, membawanya pada jurang yang lebih dalam dari yang pernah ia temui.

Jadi bagaimana? Apakah ia harus tetap berada di tempat menunggu waktu menunjukkan cahaya yang tepat? Memaksakan diri untuk mendengarkan mulut bersuara dengan makna ganda, menghina yang secara tidak langsung menunjukkan rasa iri. Tidak berguna dan bahkan Ara tak mau mendengarkannya. Yang ada telinganya terus berdengung atas semua itu, tak terima bahwa nama pemiliknya diikutsertakan dalam pembicaraan kotor mereka. Namun, Ara bisa apa? Masih seperti dahulu yang terus saja diam tak berkutik menunggu keajaiban.

Tenang, cukup tenangkan diri dan tak usah dibawa pikiran. Mereka hanya iri padanya karena bisa memiliki hal yang tak bisa mereka lakukan. Mereka hanya ingin menggantikan posisinya agar mereka dapat merasakannya juga. Tapi sayangnya, itu tidak akan pernah terjadi, hidup ini miliknya dan terus akan begitu sampai Tuhan membelokkan takdir hidupnya.

"Nggak tau diri banget dia, udah tau Legra punya cewek yang lebih cantik, putih, bersih, feminim, lebih pinter, lebih cocok buat bersanding sama Legra, masih aja dideketin. Nggak tau malu apa?" Hello, memang fisik bisa menentukan segalanya? Memangnya pintar bisa selalu lebih baik dari cerdas. Azzahra itu cerdas! Bahkan arti namanya pun begitu. Kalian bisa cari dimana saja dengan arti yang sama.

"Emang mereka ada hubungan apa? Setahu gue, mereka emang pernah kenal dulu. Tapi mana mau artis kayak Legra sama cewek begituan."

"Nah, itu dua bener banget. Sekitar dua minggu yang lalu, sepulang kerja, gue lihat tuh si Legra marah-marah sama cewek itu di kafe depan."

"Yakin itu Legra?"

"Yakinlah, orang di luar kafe ada An sama mobilnya Legra. Udah gitu besoknya lagi besoknya lagi ceweknya ngajak tuh Legra buat makan bareng. Kelihatan dari dia yang pesan makanan duluan. Biar apa? Nyogok kali, ya?"

Bukan salah Ara apabila ia mendengarkan semuanya. Mereka bersuara terlalu keras untuk sekedar menyindir. Terkesan seperti mengolok-olok secara tidak langsung. Memang benar apa yang dikatakan teman kerjanya itu-ralat bukan teman, tetapi seseorang yang bekerja pada tempat yang sama. Namun, yang dimaksudkan olehnya bukanlah arti yang sebenarnya.

"Dia itu cari perhatian aja, sok kalem padahal aslinya Nggak sesuai sama visual yang ada."

"Iya, kelihatannya dia anak baik-baik. Nggak nyangka gue."

Orang yang sedari awal banyak berbicara bernama Egan. Di depannya ada Freny sebagai orang yang sedari tadi menanggapi omongan-omongan tak berguna yang keluar dari mulut Egan. Sejak awal Ara datang untuk mengambil air minum, Egan mengetahui kedatangannya, sedangkan Freny tidak dikarenakan tubuhnya membelakangi Ara.

Makian yang terlontar dari mulut wanita tak bermoral bersama lawan bicaranya yang meski hanya menanggapi membuat hati Ara tercubit. Sejak awal wanita itu memang terlihat tak menyenanginya. Sudah tak terhitung lagi berapa sindiran yang mengalir dari mulutnya. Entah karena apa ia tidak menyukainya sedari Ara pernah bekerja di sini. Ara ingin sekali membalas semua itu, tapi ia tak bisa.

"Ehem," tenggorokannya terasa sangat kering sedari tadi. Bahkan pendengarannya panas meminta penyejuk ruangan bisa ditambahkan sejuknya.

Keduanya menoleh, "Eh, Ara. Lagi ngapain, Ra. Haus, ya? Ambil air minum?" Sudah tahu tanya.

Ara hanya mengangguk-meletakkan gelasnya kembali, kemudian beranjak pergi dari sana secepatnya.

"Lo apaan, sih! Sok ramah gitu sama Ara," sungut Egan.

Apa peduli orang tentang hidupnya? Mereka hanya menyia-nyiakan tenaga dan suara mereka untuk hal-hal yang tidak berguna. Menyia-nyiakan hidup demi memasuki dunia orang lain yang tidak berkaitan padanya sendiri. Menyia-nyiakan waktu yang seharusnya untuk membidik masa depan yang lebih cerah.

Antara masing-masing jiwa memiliki cara yang berbeda dalam menggambar atas dirinya sendiri. Terkadang cara yang sewenang-wenang hatinya adalah jalan yang dilihat untuk tidak menunjukkan kelemahannya. Ada juga yang sangat berbaik hati karena tidak mau orang lain merasakan akan hal yang sama dengan dirinya sendiri. Hati mereka akan berpihak pada pola pikirnya sendiri.

"Harusnya kamu lawan dong! Sesuka hati aja mereka bilang seperti itu. Kalau aku jadi kamu, udah pasti adu mulut kita. Mereka itu sok tau banget dan sok benar."

"Udah 'lah biarkan aja. Mulut juga punya mereka."

"Terus kamu diam aja begitu?"

"Mau apa lagi emang?"

"Labrak lah, udah jelas-jelas dia bilang yang enggak-enggak, masih aja diam."

"Adu mulut nggak akan menyelesaikan masalah." Adu mulut hanya akan membuat mulut kita mengikuti hal-hal tidak berguna. Bukannya mereka diam, tapi malah menjadi-jadi. Mereka akan puas karena umpannya berhasil mengenai sasaran.

"Tapi dengan adu mulut dan kamu menang. Itu bakalan buat mereka kapok. Mereka bakalan mikir lagi kedepannya kalau ingin mau bilang yang enggak-enggak tentang kamu. Biar mereka itu nggak seenaknya aja jadi manusia."

"Tapi aku bukan kamu Astri. Aku bukan kamu yang bisa labrak mereka di tempat kejadian. Memikirkan kata-kata yang cocok untuk membuat mereka bungkam. Nggak semudah itu." Ara tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Dia terlalu memikirkan nasib hati orang yang akan tersakiti, sedangkan hatinya sendiri tidak terurus. Dia tidak mau orang itu akan semakin menaburkan bubuk kebencian yang menggerogoti rasa bersalah yang Ara miliki.

"Ya, itu karena kamu selalu diam kalau ada yang mejatuhkan kamu. Jadi kamu nggak terbiasa untuk semua ini." Astri bingung sendiri bagaimana caranya supaya Ara bisa berubah untuk menyayangi diri sendiri. Tidak membiarkan orang lain terus terusan menyakitinya.

"Gini deh, Ra."

"Apa?"

"Apa dulu teman-teman kamu pernah menyuruhmu ini itu? Melakukan sesuatu yang seharusnya nggak kamu lakukan?" tanya Astri hati-hati.

Ara mengangguk lemah, pandangan matanya mengarah ke bawah. Pertanyaan Astri mengingatkannya pada masa-masa sekolah. Dimana dia tidak memiliki teman di sana. Memang sekolahnya adalah sekolah yang bagus hingga dapat menampung siswa seperti Ara dengan membebaskan biaya sekolah. Tapi siswa-siswi yang terdapat di sana memiliki karakter yang tidak sesuai dengan sekolah, melainkan seperti sekolah yang lebih rendah dari sekolah biasa. Meski tidak dipungkiri bahwa otak mereka jauh lebih baik.

"Mereka memanfaatkanmu?"

"Iya,"

"Alasannya?"

"Aku anak miskin, aku bersekolah dengan beasiswa, dan.. uang jajanku yang habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."

"Apa hubungannya dengan uang jajanmu yang habis? Seharusnya mereka mengambil uang dari anak lain berlebih, ini kenapa uangmu yang habis membuat mereka memanfaatkan kamu?" Jelas sekali Astri bingung. Pada dasarnya untuk apa mereka memanfaatkan murid lain yang tidak memiliki uang? Sangat tidak menguntungkan, tetapi pada tenaga boleh juga.

"Ini berbeda Astri."

"Lalu apa? Tolong jelaskan, Ara!"

"Kamu tau bukan kalau aku itu suka sekali dengan yang berbau makanan. Dari sana mereka dengan suka rela memberikan makanan mereka padaku. Karena uangku habis untuk kebutuhan keseharianku. Tentu aja aku tergoda untuk mencicipi makanan mereka, makanan-makanan itu sangat lezat. Tapi, aku memakan makanan sisa dari mereka yang tidak habis."

"Apa? Sisaan?! Gila aja!" Astri tak habis pikir lagi.

"Iya. Disana memiliki sistem menggunakan dan mencuci piringnya masing-masing." Sekolah yang Ara duduki waktu itu adalah sekolah berasrama.

"Kamu tahu, mereka hanya memanfaatkan kamu dan ingin menghinamu?"

"Ya, aku tahu itu."

"Tapi kenapa kamu diam aja?"

"Sudah aku bilang bahwa aku bukan kamu yang bisa melakukan hal itu." Bagaimana caranya untuk bergerak? Ara saja tak mempunyai ruangan yang cukup untuk leluasa menggerakkan otot-ototnya.

"Masing-masing orang memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan ketidaksukaan mereka. Mereka yang iri, mereka yang dengki. Jadi aku mohon, selalu beri tau aku jika ada masalah seperti ini. Aku akan selalu siap membantumu. Aku yang akan melawan mereka kalau kamu tidak mau atau khawatir akan menyakiti mereka."

"Terima kasih, Astri."

Ara memeluk Astri begitu erat di atas kasurnya yang mengempis ke bawah akibat dibebani dua orang sekaligus di atasnya. Ara bukan orang yang memiliki berat badan yang lebih untuk membuat kasur itu menurun ke bawah. Bahkan Astri yang tubuhnya sangat ideal menurutnya. Tapi tubuh mereka berdua cukup untuk membuat kasur berbusa itu mengempis.

avataravatar
Next chapter