9 Bagian VIII (Populer)

"Thanks ya, Gra, udah rekomendasikan gue main di peran ini."

"Santai aja, lagi bro. Seperti yang lo bilang waktu lalu, kita sebagai sesama manusia harus saling membantu 'kan?"

"Bisa aja, lo. Baru kali ini, selama gue ikut dunia hiburan ketemu orang kayak, lo. Lo nggak sungkan buat bantuin orang kayak gue. Padahal lo tahu sendiri itu nggak bakalan menghasilkan keuntung buat diri lo sendiri."

"Lo apaan, sih. Bukannya lo sendiri kemarin yang minta kalau gue ngajak elo."

"Ya, enggak nyangka aja lo mau, gitu," Nasir mengulam senyum di bibirnya dengan tulus. Legra dapat melihat hal itu. Bukannya senyum kemenangan atas apa yang telah Legra beri, menang atas mendapatkan job besar dari yang Legra rekomendasikan pada sutradara. Biasanya dari mereka yang mendapatkan job besar seperti ini akan menampakkan wajah penuh sombongnya. Namun, Legra tak melihat raut muka penuh kesombongan itu ada pada Nasir.

Nasir adalan seorang artis yang sering muncul di banyak tempat dunia hiburan. Meski begitu, ia selalu memerankan peran kecil-kecil dengan imbalan yang sesuai. Ia sering mendekati artis-artis yang sedang naik daun untuk menaikdaunkan dirinya juga. Tidak banyak dari mereka yang menerima pendekatan dari Nasir. Bahkan tak jarang dari mereka yang menerima pendekatan itu, merekomendasikan, tetapi dengan peran kecil, kemudian mengucilkannya juga. Entah apa yang di inginkan Nasir untuk tetap melakukan semua itu.

Legra awalnya tidak mau melakukannya, dorongan dari hati nuraninyalah yang membuatnya untuk melakukan ini. Legra juga ingin tahu, apa yang akan di lakukan Nasir setelah mendapatkan job ini. Ia tidak akan mengucilkannya seperti yang orang lain lakukan. Ia selalu mengingat pesan yang pernah disampaikan oleh orang yang pernah melahirkannya: 'Kalau menilai orang, jangan dengan melihat apa yang dia lakukan terhadap orang lain. Lihatlah apa yang ia lakukan terhadap kita. Jika sama atau berbeda kita dengan orang lain, maka tatapan matanya akan menjelaskan semuanya.' Disaat itu, ia tidak menangkap kesombongan dalam diri Nasir. Melainkan ketulusan saat berterima kasih.

"Lo, sadar nggak apa yang udah lo lakukan?" Suara An tiba-tiba mengalihkan atensinya. Legra yang akan duduk setelah perbincangan singkatnya dengan Nasir tadi terhenti. Baru membungkuk untuk mengistirahatkan tulang selangkan dan punggungnya terhenti di udara.

Tidak peduli akan hal itu, yang penting duduk terlebih dahulu baru menjawab pertanyaan dari An. Lelah sekali untuk hari ini rasanya. An yang sedari awal hanya membeberkan kegiatannya, kini malah seperti ingin menginterupsinya.

"Sadar, kok. Lo juga tahu apa yang gue lakukan sehari-hari. Bahkan hari ini."

"Apa lo udah buta informasi akan Nasir. Gue juga bisa kasih lo informasi yang lo butuhkan. Nggak kayak gini, tiba-tiba aja lo mau rekomendasikan Nasir buat main bareng, lo. Lo tahu 'kan kalau dia sering mendekati bintang yang lagi naik daun buat nyari kesempatan. Dia cuma bakalan maanfaatin lo doang, Legra. Biar dia terkenal, sukses, kalahin lo di dunia hiburan."

An yang mengoceh dengan panjang lebar itu hanya didengarkan santai oleh Legra. Sudah biasa An seperti ini. Ia akan meningkatkan daya tahan bicaranya ketika Legra melakukan suatu hal yang tidak seharusnya. Namun, ketika aman, An akan berubah menjadi sedikit bicara. Tidak sampai sepanjang itu, paling hanya masalah pekerjaan jika sampai sepanjang itu.

"Lo yang tenang dong. Gue nggak sebodoh itu juga, man."

"Meskipun dengan lo kasih dia peran antagonis, peran lawan lo, dia tetep bakalan ada kesempatan untuk naik. Kenapa lo santai amat?"

"Gue merasa ada sesuatu yang ingin dia lakukan. Bukan untuk dirinya jadi populer. Gue yakin kalau matanya enggak bisa bohong tadi. Kayak ada gurat bahagia yang dia simpan. Kalau dia ingin populer, kenapa dia enggak usaha sendiri dari dulu? Lagi pula, emang lo pernah dengar dia punya cewek?"

An menggeleng dalam duduknya. Masih mencermati kata-kata selanjutnya apa yang akan Legra sampaikan. Sepertinya ini menarik.

"Kebanyakan yang populer dari kita adalah kalangan orang berstatus memiliki hubungan dengan lawan jenis. Yah, gue akui meski ada yang sendiri juga. Tapi kebanyakan gitu. Kenapa dia enggak lakukan itu? Gue merasa akan ada yang dia lakukan nanti."

"Apa itu?" tanya An dengan polosnya seperti anak kecil yang ingin diceritakan dongeng lanjutannya.

"Mana gue tahu, emang gue bapaknya? Bapaknya aja belum tentu tahu."

Pemikiran orang lain tidaklah mudah untuk kita tebak. Tidak mudah kita mempengaruhi dalam sekali tatapan mata dan bisikan telinga. Kecuali jika dia yang terpengaruh akan pengaruh orang lain, terpengaruh dengan bisikan orang orang-orang yang membisiki. Tetapi, tetap saja dia sendiri yang mengendalikannya atas dirinya. Hanya dengan gerak-geriknya kita dapat mengenali pemikiran itu.

"Udahlah bahas Nasir nanti-nanti aja. Nggak perlu bahas lagi sekalian. Lokasi udah siap. Ayo."

"Let's go."

Bekerja bersama An membuat Legra tak merasa rugi. An itu orang yang profesional, jika sudah waktunya jam kerja, pasti pembicaraan lain ditinggalkan sementara. An selalu mensupportnya. Dia adalah support sistem yang baik. An akan mengomentari jika menurutnya sesuatu yang ada tidaklah cocok atau tidak sepadan dan tidak baik untuk Legra. Tidak salah jika ia dahulunya memilih An.

Mengenai An, Legra rasa An juga tidak berkomentar apapun tentang Ara. Mereka memang belum berbincang-bincang secara langsung, tetapi mereka pernah bertemu berhadapan. Di gedung kantor tempat Ara bekerja saat itu, sewaktu An memaksa untuk mengikutinya. Padahal Legra tidak suka jika An mengikutinya ketika bukan masalah pekerjaan, berbeda lagi jika hal itu bukan privasi. Apakah Ara termasuk dengan privasi? Entahlah Legra juga tidak tahu itu.

"Daneen emang cakep dan bertalenta. Tapi, menurut gue Ara lebih cocok sama lo," celetuk An tiba-tiba ketika berada di dalam mobil menuju perjalanan pulang.

"Apaan, lo. Tiba-tiba aja ngomongin cocok. Dari kemarin kemana aja? Gue emang pantes dapatin siapa pun," dengan percaya dirinya Legra menjawab seperti itu. Namun, An tahu isi hati Legra bukanlah seperti itu.

"Udah saatnya buat lo lupain dia, Gra. Hidup ini nggak bakalan tentram kalau terus membawa masa lalu."

"Kalau milih antara Ara sama Daneen. Gimana, ya?"

"Gue yakin lo bakalan milih Ara."

"Kenapa seyakin itu?"

"Lihat aja nanti. Gue juga lihat kalau Daneen memanfaatkan hubungan di depan publik ini juga untuk dia makin populer. Kalau enggak karena itu, kalau dia beneran suka sama lo, dia pasti udah pepetin lo dari dulu." Ya, kepopuleran Daneen ikut meningkat bersama Legra ketika keduanya dikabarkan menjalin sebuah hubungan di depan publik.

"Gue tahu itu, gue selalu ngerasa juga kalau Daneen itu biasa aja sama gue. Tapi, nih, gue paling nggak suka kalau ada acara live show kayak kemarin."

Legra sangat tidak menyukai itu. Mereka terlalu sok tahu akan apa yang terjadi. Selalu menginterogasi agar acaranya laris di kalangan para penggemar karena ada bintang yang sedang ngetop di dalamnya.

Jika dikembalikan pada faktanya, kesempatan ini sangat baik untuk dimanfaatkan. Tak akan Legra menyia-nyiakan itu untuk tidak menambah kepopulerannya. Ini adalah saatnya ia membuat masa lalunya semakin berada di bawah. Tidak akan bisa menyusulnya. Tapi, bagaimana dengan Ara? Jika Legra tetap memaksakan diri untuk itu dan juga memaksakan diri ada untuk Ara, apa yang akan terjadi? Suatu saat publik juga akan mengetahui identitas Ara pada saatnya nanti.

avataravatar
Next chapter