2 Bagian I (Bandara)

Akan kalian temukan cerita tentang Ara, lebih tepatnya Putri Azzahra. Bukan perannya sebagai gelas pecah yang mencari pecahan lain, melainkan sebagai pecahan yang dicari. Ara berasal dari keluarga sederhana yang bukan berarti ia akan menjadi cinderella karena bertemu dengan pangeran. Mungkin terlihat di mata orang-orang jika Ara terlihat seperti ingin mencari kekayaan dengan cara instan. Tidak, itu hanya persepsi mereka yang tak tahu menahu mengenai kehidupannya dan selalu ingin ikut campur.

Ara dipertemukan dengan pangeran dan sahabat sejati. Bersama dengan sahabat perempuan pertama, dia selalu melangkah bersama. Selain itu, ia dipertemukan dengan seorang pangeran sebagai surga dunia. Surga dunia bagi banyaknya pasang mata, sebab sang pangeran benar adanya berparas tampan. Sampai pada saat dipertemukan, Ara tetap menjalankan perannya sebagai diri sendiri. Tanpa gaun indah yang melambai-lambai, tanpa polesan make up yang menghiasi wajahnya cukup menjadikannya lain dari yang lain. Pun tidak perlu ulasan kata-kata jika hanya melalui mata pun bisa menggambarkan sosok Ara menghadapi dunianya.

Dengan memiliki mata yang indah, apa yang menjadi kebiasaan manusia ketika memilikinya? Mereka akan menunjukkan pada dunia bahwa ada sisi hidupnya yang bisa mereka kagumi. Dan itu tidak berlaku bagi Ara, ia berbeda, ia selalu meredupkan matanya seolah tak ingin semua orang tau akan keindahan itu. Ara memiliki jenis tubuh yang tak jauh dari kata ideal. Badannya Ramping dengan tubuh yang bisa dikatakan tegap. Tingginya tidak dapat dikatakan layaknya model yang sering ia dapati dari berbagai media.

Ara merupakan orang yang selalu semangat dan pekerja keras. Walaupun ia sering kali menjumpai manusia yang tak menyukainya dimana pun ia berada. Namun, bukankah itu wajar terjadi di setiap kehidupan manusia? Dan Ara tidak peduli terhadap mereka yang selalu menggujingnya. Itu adalah hal yang sering ia dapati, jadi Ara sudah terbiasa. Ara hanya ingin merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Termasuk membahagiakan orang yang paling penting untuk hidupnya, yaitu keduaorang tuanya.

Setelah sekian lama, setelah selama tujuh tahun ini Ara menghilang-menghilang yang tidak sebenar-benarnya menghilang, akhirnya ia telah menyelesaikan studinya. Tanggapan dari orang lain yang sok tahu adalah ia melakukan hal yang membuang waktu, menghabiskan uang, bahkan memaksakan pikiran. Seperti kata mereka, begini: "Buat apa bersekolah jauh-jauh kalau pada akhirnya bernasib sama dengan yang bersekolah di sini. Memiliki pekerjaan yang sama, kemudian menikah dan punya anak."

Mereka tak paham, mereka hanya melihat itu dari sisi negatif, tidak dari bagaimana Ara mengalaminya. Padahal, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya berbicara demikian agar dianggap mereka lebih pintar dan tahu segalanya.

"Tidak usah mendengarkan apa yang mereka katakan, yang tahu dirimu, ya kamu sendiri. Buat apa memikirkan sesuatu yang tidak akan menjadi pelajaran untuk hidupmu." Itu adalah motivasi Ara untuk dirinya sendiri. Sebaik-baiknya motivator adalah dimulai dari diri sendiri. Tidak akan diri itu mempercayai orang lain sebelum percaya bahwa dirinya yakin itu akan menjadi motivasi untuknya.

Begitu selesai merajut pendidikan di kota lain, kini Ara akan kembali mengembara ke kota lainnya. Bukan untuk mencari ilmu kembali, tetapi mencari yang semua orang cari meski pada akhirnya mereka tak akan membawa mati hasilnya sampai di akhirat. Ia akan melanjutkan bekerja di kota besar, Jakarta. Juga ingin menghapus sisa kisah remajanya yang tak pernah dimulai dan tak akan pernah dimulai dengan dimulai dengan kisah yang baru. Mencari kawan, bukan lawan. Mencari kedamaian, bukan kerusuhan dan kesengsaraan.

***

"Ra, ingat ya, ke rumah budhe dulu sebelum kamu mau pergi."

Suara ibu mulai terdengar semenjak beliau meminta ingin membantu Ara membereskan baju-baju yang akan ia bawa. Ibu adalah orang yang selalu mendukung setiap keputusan Ara untuk kelanjutan masa depannya. Berbeda dengan bapak yang terkadang menentang Ara karena tak ingin terjadi sesuatu pada anak gadisnya. Namun, setelah diberi pengertian akan hidup itu harus maju, bapak mengerti. Mereka adalah orang-orang hebat di dalam hidup Ara dan ia sangat menyayangi mereka.

"Iya, ibu. 'Kan perginya juga bareng ibu dan bapak, masa tidak ikut. Lagian, Ara belum pernah ke Medan sama sekali."

"Pakaian ini nggak usah, bu. Biar di sini aja. Biar Ara nggak kerepotan bawa baju lagi kalau mau pulang."

"Oh, ibu taruh di lemari aja, ya?"

"Iya, bu."

"Kamu bawa bajunya panjang semua, nduk."

"Supaya sopan, bu. Di sana Ara bakalan sering di luar dari pada di tempat tinggal pastinya." Begitulah Ara, dia ingin terlihat sopan ketika berada di luar.

"Ya, sudah. Ini dilanjutkan sedikit lagi. Kalau sudah selesai langsung tidur. Jangan buka novel atau main Hp." Setelah memberikan pesan, ibu melangkah keluar kamar, meninggalkan Ara yang masih sibuk sendiri itu.

"Ibu ini." Ara menggelengkan kepala tak habis pikir, tetapi juga senang atas perhatian ibunya yang terus menerus.

Ini adalah kepergian terjauh dalam menempuh hidup yang akan Ara lalui. Sebelumnya ia menghabiskan masa SMA di Solo dan Kuliahnya di Yogyakarta. Memulai kehidupan baru dari yang terbaru, semoga juga menemukan hati yang baru sebagai support system barunya.

Keesokan hari setelah mimpi panjangnya, akhirnya Ara dan keluarga melakukan perjalanan menuju kota metropolitan, Medan. Disambut dengan ramah oleh pakdhe dan budhe. Bahkan saudara sepupunya sampai menjemput di bandara.

"Ini kak Mawar, ya? Kak Mawar cantik banget," puji Alana-adik kecil Ara pada Mawar yang telah sampai di hadapan mereka.

"Kamu ini bisa saja. Kalau kak Mawar cantik, kamu apa namanya?"

"Aku imut."

"Iya, deh, yang imut," balas Mawar mengusap rambut Alana lembut. Setelah menyalami dan mengucapkan selamat datang pada orang tua Ara, Mawar mendatangi Ara bertanya kabar.

"Bagaimana kabarmu, Ara? Kita sudah tidak pernah bertemu selama sepuluh tahun lebih, loh. Bahkan kita nyaris tidak berbicara lewat telepon."

"Aku baik. Kamu tau sendiri bukan kalau aku bersekolah di luar. Untuk menghubungi orang tuaku saja susah karena jadwalku yang dipadatkan."

"Alasan. Bilang saja kalau kamu tidak suka berbicara lewat telepon. Waktu kecil kamu juga seperti itu," cibir Mawar. Dia adalah anak bungsu budhe, satu-satunya anak budhe yang belum menikah. Umurnya tak jauh berbeda dengan Ara, hanya berselisih sekitar dua tahun dibawahnya.

"Kamu tahu itu."

Tidak lama Ara berada di Medan, di hari selanjutnya ia kembali lepas landas menuju Jakarta. Sebelumnya Mawar telah menawarkan untuk mengantar, tapi Ara menolak dengan alasan takut merepotkan. Tentu saja Mawar merasa tidak direpotkan, tapi Ara bersikukuh berangkat sendiri. Jadilah ia berangkat mengenakan ojek online. Jarak antara rumah budhe dan bandara hanya beberapa kilo meter saja, sehingga Ara tak terlalu lama berada di perjalanan.

Selepas turun dari motor tukang ojek, Ara menengok kanan kiri untuk menyebrang jalan. Belum sempat kakinya melangkah, Ara melihat seorang nenek berjalan seorang diri di tempat kendaraan berlalu lalang, tepatnya berada di samping kanan depannya. Ketika itu mobil pajero melintas dari arah kanan. Ia langsung berlari cepat menghampiri nenek itu. Biarlah, apapun yang terjadi, Ara ingin hidupnya berguna untuk orang lain. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan satu nyawa di bumi meski dirinya akan terluka. Beruntung sekali Ara hanya mendapatkan luka goresan. Luka yang tergores itu tak sepadan dengan ketidakpedulian orang-orang sekitar pada keadaan yang ada. Mereka hanya menyaksikan dengan raut khawatir tanpa ada niatan sedikitpun menyelamatkan nyawa yang tersisa itu.

Setelah memastikan keadaan nenek itu baik-baik saja, datanglah seorang pria dengan wajah pucat pasinya. Dengan napas terengah-engah ia mendatangi Ara dan si nenek yang tengah bersimpuh di atas aspal.

"Mbak sama nenek tidak apa? Apa perlu saya bawa ke rumah sakit? Nenek, ayo bangun, nek."

Sebenarnya pria itu ingin membawa mereka ke rumah sakit terdekat, tapi Ara berkata tidak apa-apa dan nenek juga tampaknya baik-baik saja. Pria itu bernapas lega. Setelah itu, ia dan Ara membawa nenek ke tempat tujuannya. Karena nenek berkata bahwa ia ke sini untuk menjemput cucunya yang akan pulang.

"Maaf ya, nek, mbak. Teman saya kurang berhati-hati nyetirnya, tapi saya akan gantikan dia, kok. Oh, iya, ini kartu nama saya, kalau ada apa-apa silahkan hubungi saya. Terima kasih, mbak, nek. Saya permisi."

Ara sudah menduganya sejak awal, pria ini bukan pengemudi mobil pajero itu, dia bahkan turun dari pintu samping kemudi. Kenapa tidak pengemudinya langsung yang turun? Kenapa temannya? Apa dia terlalu takut untuk menemui korban seorang nenek dan anak manusia sepertinya? Untuk apa? Ara bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut. Ya, kenyataan lainnya adalah Ara terlalu pengecut.

Saat pria tadi memasuki pintu kemudi, saat itu pula seseorang itu mendongakkan kepala dan berpindah ke samping kemudi. Dia memakai kaca mata hitam dengan surai yang sedikit panjang. Ara dapat melihat seseorang itu, kaca mobil itu tembus pandang. Dia? Dia adalah seseorang yang selama ini Ara idolakan! Dilihatlah kartu nama yang tengah Ara pegang, tertera nama An di sana. Bukan teman, An adalah manager dari seorang Allegra Arizki. Pantas saja jika tadi ia merasa familiar dengan An. Ya ampun, Ara sampai lupa tujuannya kemari untuk take off di bandara Internasional Kualanamu, Medan.

avataravatar
Next chapter