1 Bagian 1

"Jangan! Jangan lakukan itu! Kalian jahat! Kalian jahat!"

Seorang gadis muda terus menjerit. Matanya terpejam. Tubuh semampai yang sedikit sintal banjir keringat, sehingga baju tidurnya basah kuyup. Ekspresi ketakutan bercampur dengan amarah menghiasi wajah manis itu menggambarkan seburuk apa mimpi yang tengah dialaminya.

Gadis lain baru saja memasuki kamar dengan rambut masih dibebat handuk. Awalnya dia bersenandung riang. Namun, begitu melihat sang kawan tengah menjerit seperti kesetanan, dia langsung berlari mendekat dengan panik.

"Kak, Kak Putri! Kakak kenapa? Nyebut, Kak! Nyebut!" serunya.

Tak ayal, gadis bernama Putri itu tersentak. Suara melengking sang kawan telah menariknya dari mimpi buruk. Dia perlahan membuka mata. Amarah yang terpancar dari raut wajahnya perlahan mereda.

"Tyas ...," lirih Putri dengan suara serak.

"Kak ..., kakak kenapa? Kakak baik-baik aja, 'kan? Kok, sampai teriak-teriak gitu?" cecar gadis bernama Tyas.

"Bukan apa-apa, Tyas. Aku cuma mimpi buruk."

"Beneran nih?"

Putri mengangguk lemah. Tenaganya seolah terkuras akibat mimpi buruk. Kepalanya juga terasa berdenyut. Namun, dia tak ingin menjadikan hal itu sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Putri pun mencoba duduk, sambil mencoba menenangkan hati yang masih digayuti amarah.

Sementara itu, Tyas tampak tercenung. Keningnya berkerut-kerut. Suatu kebiasaan saat gadis itu tengah berpikir keras ataupun ketika berpikiran absurd.

"Eh, tunggu dulu, Kak!" serunya tiba-tiba. "Jangan-jangan ...," mata Tyas melotot bagaikan tokoh jahat di sinetron. "jangan-jangan ... jangan-jangan ...."

"Jangan-jangan apa?" potong Putri. Dia tak ingin Tyas bertingkah penuh drama.

Tyas menggenggam tangan Putri. "Jangan-jangan Kakak dikirimin ilmu hitam. Kayak santet gitu lho, aku curiga, sih, pelakunya si Lela."

Tawa Putri seketika pecah. Tyas memang kadang seabsurd itu. Mimpi buruk saja dikaitkan dengan ilmu hitam.

"Lah, kenapa si Lela jadi kena fitnah?" celetuk Putri setelah tawanya mereda.

"Kakak tuh emang enggak peka, ya. Kakak enggak liat apa muka juteknya kalo liat Kakak. Soalnya, gebetan dia, kan, naksir Kak Putri," cerocos Tyas dengan menggebu-gebu, bibirnya mencong sana mencong sini persis ibu-ibu tukang ghibah di sinetron azab.

"Hush! Enggak boleh suuzon! Aku sampe mimpi buruk mungkin gara-gara kita nonton film horor kemarin malam," sergah Putri. Kemarin, mereka memang menonton film tentang pembunuh berantai sebelum tidur.

"Tapi, Kak, biasanya kita nonton film horor juga enggak sampe bikin Kakak mimpi buruk. Aku masih curiga sama si Lela," protes Tyas.

Putri mengibaskan tangan. "Udah, udah, suuzonnya. Aku juga enggak percaya yang begituan. Lagian ini udah jam berapa, aku mau mandi dulu. Kamu juga cepat pakai baju sana, entar masuk angin lagi," tegurnya.

Tyas tampak belum terima. Jelas sekali gadis itu masih ingin menggosipkan si Lela. Sayangnya, Putri sudah tancap gas meninggalkannya sambil membawa handuk dan perlengkapan mandi.

Sebenarnya, Putri bukannya tidak peka. Dia tahu perkataan Tyas tentang kebencian Lela memang benar. Namun, Putri juga tahu tetangga mereka yang terkenal dengan penampilan seksi dan gaya ceriwis itu bukan tipikal pengguna ilmu hitam. Sosok bermulut pedas seperti Lela akan lebih suka baku hantam. Lagi pula, Putri sadar penyebab mimpi buruknya, bukan santet ataupun film horor, tetapi kenangan buruk di masa lalu.

Akhirnya, Putri selesai mandi dan merasa lebih segar. Meskipun rasa tak nyaman akibat mimpi buruk masih sedikit menyesakkan, paling tidak kemarahannya sudah benar-benar mereda. Dia pun segera kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar, Putri melihat Tyas sudah berpenampilan rapi. Tubuh mungilnya dibalut kebaya merah muda yang manis, dipadu jarik cokelat tua. Rambut panjang nan halus tidak lagi terurai, tetapi tersanggul anggun.

Rencananya, mereka memang akan mengamen di taman. Bukan sembarang mengamen tentunya. Keduanya akan membawakan lagu dan tarian daerah. Kegiatan itu juga hanya dilakukan di saat mereka libur dari pekerjaan reguler. Hal tersebut adalah ide Putri yang ingin menjaga kelestarian budaya. Tyas yang memang hobi menyanyi menyambut antusias ide sang kawan, maka jadilah mereka mulai melakukan rutinitas itu sejak 8 bulan lalu.

"Lah, sudah pakai kostum aja kamu?" tanya Putri. "Kita, kan, masih harus bantu-bantu Ibuk, ribet loh nanti kamu," celetuknya lagi.

"Wanita anggun dan luwes macam aku ini, bakal gampanglah ngerjain pekerjaan rumah biar pake kebaya juga, Kak," sesumbar Tyas. "Aku ke dapur duluan, ya, Kak!" serunya riang, lalu menuju dapur.

Putri menggeleng pelan. Tak ingin membuang waktu dia segera mengenakan kaos hitam dan celana jeans biru. Tentunya, tak lupa dimasukkannya kostum pertunjukan hari itu, sinjang, sampur, dan apok ke tas.

Baru saja Putri selesai mengemas perlengkapan, lengkingan suara Tyas terdengar. Tak lama kemudian, sang kawan muncul di depan pintu kamar dengan wajah cemberut. Kebaya merah muda kesayangan Tyas terlihat bermotif bintik-bintik kuning beraroma opor.

"Sudah dibilangin juga pakai baju biasa dulu," ejek Putri, membuat Tyas mengerucutkan bibir.

Putri menggeleng pelan, lalu segera keluar dari kamar. Seperti biasa, sebagai penghuni panti mereka memiliki tugas masing-masing. Tyas pandai memasak, sehingga ditugaskan membantu ibu pemilik panti di dapur. Sementara menyapu dan mengepel menjadi urusan Putri yang teliti, hingga sudut-sudut pun bebas dari debu.

Sambil menyapu, Putri akan langsung patroli membangunkan anak-anak yang lebih kecil. Total anak ada sepuluh orang. Jumlahnya memang kecil karena sebagian besar meninggalkan panti ketika sudah dewasa atau diadopsi keluarga baru. Panti itu menjadi lebih mirip keluarga biasa, seorang ibu single parent dengan sepuluh orang anak.

Putri pun mulai memasuki kamar satu demi satu. Sebagian besar anak sudah bangun dan merapikan tempat tidur, bahkan ada yang sudah mandi dan rapi. Namun, penghuni kamar terakhir sedikit berbeda. Mereka adalah trio malas mandi. Tiga gadis kecil berwajah imut itu meringkuk nyaman di bawah selimut.

"Pasukan anak ayam ayo bangun!" seru Putri.

Salah seorang gadis kecil membuka mata. "Kak Putri ...," gumamnya serak sebelum menutup lagi matanya.

"Loh, malah tidur lagi. Ayo bangun!"

"Masih ngantuk, Kak ...."

"5 menit lagi, Kak ....."

"Ayo bangun! Yang terakhir bangun enggak bakal Kakak ajak jalan-jalan lagi."

Tiga gadis kecil itu seketika duduk. Mereka pun berebutan ke luar kamar. Putri terkekeh, lalu melanjutkan pekerjaannya menyapu.

Setelah selesai dengan tugasnya, Putri pergi ke dapur bermaksud membantu Tyas dan Bu Asih, si pemilik panti. Tak banyak yang perlu dilakukannya karena seluruh jenis masakan sudah matang, tinggal menata di meja saja.

Tepat setelah makanan tersaji, celotehan riang anak-anak terdengar mendekat. Tak lama kemudian ruang makan pun ramai. Mereka segera sarapan bersama. Putri tersenyum kecil saat kehangatan yang nyaman menyusup di hatinya.

Usai sarapan, Putri dan Tyas pun berpamitan. Bu Asih mengantar sampai ke gerbang panti. Kedua gadis itu mencium punggung tangannya bergantian.

"Hati-hati di jalan, Nak. Pulangnya jangan sampai kemalaman," pesan Bu Asih.

"Siiaaap, Buk!" seru Tyas dengan pose hormat, membuat Bu Asih terkekeh dan menggeleng pelan.

"Kami berangkat, Buk," pamit Putri sekali lagi.

Bu Asih mengangguk. Putri dan Tyas pun berjalan bersisian meninggalkan Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu. Sesekali mereka saling melempar candaan, lalu tergelak bersama. Seorang pemuda dengan jambul aneh mendekat. Tyas melotot dan langsung menarik tangan Putri sembari berlari dengan kencang.

"Ayang Tyas jangan tinggalin Mas Paijo dooong!" teriak si pemuda mengiringi kepergian dua gadis itu.

***

avataravatar
Next chapter