12 Sang Pemburu

Sesampai di atas, Max meletakkan tasnya di salah satu meja. Elia mengikutinya dan mulai merasa lebih nyaman karena bisa melihat cahaya matahari.

"Tunggu di sini."

"Mau mau ngapain?"

"Mengemas pakaianku," kata Max sambil berjalan ke ruang pakaiannya. Elia baru menyadari kalau Max sangat rapi dalam hal menata ruang. Ada kamar khusus untuk tidur, bekerja, dan juga untuk pakaian. Sementara untuk ruang santai juga dibagi dua, ruang dapur dan ruang santai yang dibuat tanpa sekat. Mukanya jadi merah ketika ingat tingkahnya memancing Max untuk menidurinya dan membuatkannya tato. Aku mabuk, ya, itu karena aku mabuk, sangkal Elia dalam hati lalu merasa sangat bodoh.

Saat Max muncul lagi dengan membawa tas jinjing, mukanya masih merah. Max melihatnya sejenak tapi tidak mengatakan apapun. Max sangat fokus dengan semua hal yang ada di pikirannya saat itu. Tahu bahwa dia hanya perlu mengikuti Max, dia lalu segera menggendong tas carrier mereka lagi lalu ke parkiran mengekor Max. Dia ikut meletakkan semua tas ke kursi penumpang di belakang kursi kemudi seperti yang Max lakukan.

Dalam perjalanan menuju ke Toko Sunshine, Elia memiliki rasa penasaran pada sosok misterius ini.

"Max, apa sekarang aku boleh tanya?"

"Ya, tanya saja."

Tanggapan Max datar dan serius. Meskipun begitu, Elia tetap mengambil kesempatan, sebab dia tidak merasakan ancaman atau larangan dari Max.

"Apa sunshine itu perempuan? manusia? atau setengah siluman?"

Elia bersyukur Max menanggapinya dengan serius.

"Aku tidak tahu pasti, dia tidak memiliki aroma siluman atau pun manusia, dia juga tidak memiliki aura yang identik dengan aura manusia atau siluman. Keberadaannya adalah fenomena unik di antara tiga dunia, dari sudut pandang lain dia dianggap sebagai ancaman."

"Ancaman? kenapa begitu?"

Elia mengamati Max yang sedang berpikir. Dia menghormati cara Max menjelaskan hal-hal yang belum diketahuinya dengan sabar.

"Itu karena dia bisa menjadi kawan dan juga lawan untuk semua makhluk. Dalam keadaan tertentu dia juga bisa jadi tidak menjadi kawan atau lawan."

"Kenapa begitu?"

"Itu terserah padanya karena dia memiliki kehendak bebas untuk melakukan apapun."

"Apa semua orang, ah, maksudku semua makhluk akan membutuhkannya?"

"Bisa ya, bisa juga tidak, tergantung kebutuhan. Untuk kasus kita, kita membutuhkannya."

"Jadi kita pergi untuk bernegosiasi dengannya?"

Elia bertanya hati-hati. Dia mencoba meraba keperluan dari rencana ini.

"Bukan negosiasi tapi afirmasi. Aku rasa dia sudah mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui."

Elia menggumam, "Aku masih tidak mengerti."

Pada saat itu, Elia merasakan kehangatan telapak tangan Max yang jatuh di kepalanya. Max juga membelai rambutnya.

"Sudah kubilang tidak perlu memahami semuanya sekarang. Jangan terburu-buru, lakukan saja secara bertahap."

Ucapan itu membuat Elia merasa tenang dan mengetahui bahwa prosesnya masih panjang. Perjalanannya yang akan menjadi sama sekali berbeda dengan saat bepergian bersama ibunya membuatnya bersemangat sekaligus takut, tapi dia yakin selama ada Max di sampingnya, dia akan baik-baik saja.

"Aku jadi ingat ibu pernah mengatakan hal yang sama."

"Yang mana?"

"Yang... tidak perlu memahami semuanya," kata Elia seraya tersenyum, dia cukup senang bisa mengingat momen-momen bahagia bersama ibunya. "Waktu itu aku menanyakan apa dia benar-benar seorang pelacur. Kenapa punya tato, kenapa sering bepergian, dan orang-orang yang ditemuinya, aku menanyakan semuanya. Aku merasa ibuku tidak mau membagi apapun denganku, dia bersikap misterius dan itu mengusikku. Aku bahkan pernah melecehkannya secara verbal yang membuatku menyesal sampai sekarang."

Elia melirik Max yang tetap fokus pada kemudinya.

"Max, apa aku membuat ibuku khawatir sepanjang waktu?"

"Ya, tapi itu wajar karena dia seorang ibu."

"Aku juga khawatir dan kesal padanya. Sekarang, kalau segala sesuatunya semembingungkan ini, tentu saja aku pun akan kesulitan untuk menceritakannya pada orang yang kusayangi. Seperti yang kamu lakukan sekarang, aku rasa ibuku merasakan hal yang sama. Dia kebingungan. Dia mungkin ingin menyimpan rahasia ini selamanya."

"Masih sempat jika kamu tidak ingin melanjutkan ini," ucapan Max membuat Elia gelagapan.

"Tidak! aku tetap ingin mencari tahu, aku hanya menyesalkan beberapa hal yang telah terjadi di masa lalu. Tidak tahu apa-apa membuatku menyusahkannya."

Elia tertunduk. Dia tidak mengharapkan Max diam saja. Dia ingin Max memarahinya, tapi keinginannya tidak akan terkabul pada saat itu. Dia lalu menempelkan kepalanya ke kursi mobil. Dia membuat dirinya sendiri sibuk melihat pemandangan luar yang terlihat berjalan mundur dari dalam mobil.

Walaupun sudah berusaha, Elia tidak bisa tidak berdialog dengan perasaannya. Mengira ditinggal ibu membuatku marah, lalu menghadapi kabar kematian ibu saja sudah membuatku tak bisa berpikir, sekarang ada fakta aneh di sekitarku, sesuatu yang tidak pernah kuketahui, mau tak mau harus kuketahui jika ingin tahu apa yang sebenarnya ibu lakukan. Apa yang bisa kubantu untuknya ya? sejak dulu aku ingin tahu hal itu, tapi ibu seperti sengaja menjauhkanku dari masalah. Dia bahkan tidak melibatkanku dalam urusan sederhananya seperti mencucikan pakaiannya atau membuatkan sarapan untuknya. Apakah itu ada hubungannya dengan semua ini? apakah makan makanan yang kumasak akan mempengaruhi sesuatu? kenapa dia berusaha untuk membawaku ke luar negeri?

Elia jadi gagap pada jalan hidupnya. "Max, apakah selama ini ibu mencoba menyembunyikan aku dari sesuatu?"

Elia bisa merasakan Max jadi waspada saat dia mengatakannya. "Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dariku saat ini bukan?"

"Aku tidak tahu, ini hanya dugaanku, selama ini aku juga berpikir kalau dia berusaha menyelamatkanmu dari sesuatu yang mengancam keselamatanmu. Aku tidak tahu persis, tapi gelagatnya memperlihatkan hal itu."

"Kamu tidak bertanya padanya apa yang membuatnya gelisah?"

"Pernah, tapi dia tidak memberitahuku."

"Barang-barang itu Max, yang kamu bilang dikumpulkan oleh ibuku, kenapa dia titipkan padamu?"

"Itu juga yang ingin aku ketahui. Alasan sebenarnya kenapa dia menyimpannya di ruang bawah tanahku. Dia tidak secara resmi menitipkannya padaku. Suatu hari dia datang padaku dan memintaku untuk membuat ruang penyimpanan di rumahku. Hasilnya ruangan itu. Kemudian aku bertanya asal usul semua benda yang dibawanya. Dia tidak bisa menjelaskan semuanya. Dia hanya berkata, itu benda koleksinya. Dia janji suatu saat jika sudah bisa menetap bersamamu, dia akan mengambil semuanya."

"Kenyataannya itu tidak terjadi," Elia berkata dengan sesal terpendam.

Max mengangguk.

"Lima tahun yang lalu, aku menyempatkan diri melihat dengan seksama setiap benda yang disimpannya di sana. Satu per satu aku pelajari. Kemudian aku mencapai suatu kesimpulan bahwa ibumu...."

Elia menantikan Max menyelesaikan kalimatnya dengan jantung berdebar-debar.

"Seorang pemburu."

Satu fakta lagi terdengar seperti ledakan mercon di kapala Elia. Dia bengong selama beberapa saat. Proses memasukkan dua kata itu ke dalam kamus pengetahuannya berjalan lambat.

"Max ... apakah itu berbahaya? aku hanya bisa membayangkan seorang pemburu yang menggunakan senapan atau senjata lainnya untuk menangkap binatang dan menjual mereka ke pasar ilegal. Itu artinya ibuku seorang penjahat."

Elia merasakan sesuatu yang serius dari tatapan Max. Walau hanya sesaat, tatapan itu mengandung suatu arti yang sangat besar, dalam, dan sangat rahasia. Sesuatu yang tidak akan mudah untuk ditanganinya seorang diri.

avataravatar
Next chapter