1 Kematian Bibi

"Aku ingin jadi Pelacur! seperti ibuku, Max!

Max berdiri terpaku menghadapi Elia. Sekitar tiga jam yang lalu dia mendengar kabar penemuan mayat Bibi, ibu Elia di kolam renang sebuah hotel. Sekarang Elia, putri Bibi, muncul di depannya.

Nafas Elia belum teratur. Itu karena Elia berjalan tergesa-gesa di antara gerimis. Sisa-sisa gerimis bahkan terlihat di mantel merahnya.

Elia membawa tas kanvas lusuh. Sambil merapatkan mantel, Elia tampak bertekad untuk melakukan sesuatu yang besar.

Max mengamati sepatu kets Elia. Ada bekas menginjak lumpur di halaman rumahnya yang sebuah pondok kayu dua lantai bergaya Jepang jaman Edo.

Beberapa detik lalu, Elia mengetuk pintu pondok kayu Max dengan buku jari tengahnya. Suara ketukannya agak teredam oleh gerimis, sehingga dia harus melakukannya beberapa kali sampai terdengar suara seseorang menuruni tangga.

Max, pemuda setengah siluman dengan wajah berumur 30-an tahun, memiliki tubuh bugar membukakan pintu untuk Elia.

"Ada apa tengah malam begini?"

Elia menyeruduk masuk ke dalam.

"Elia!"

"Aku ingin jadi pelacur Max! Seperti ibuku!" seru Elia sambil melempar tas dan mantel merahnya ke lantai. Max dapat melihat Elia hanya mengenakan bra dan celana pendek ketat warna hitam di atas lutut.

"Kamu dari mana?" tanya Max.

Penampilan Elia membuat Max tertegun sesaat lalu tersadar harus menutup pintu dan menguncinya sebelum memperingatkan Elia lebih tajam. Ketika dia membalik badan, Elia sudah masuk ke ruang tengah yang gelap. Hanya cahaya lampu jalanan yang menerangi rumah itu. Suara gerimis menjadi pengiring percakapan mereka.

"Kamu dari mana? Dan untuk apa kamu datang kemari tengah malam begini?"

"Aku butuh bantuanmu Max!"

Max memindai tubuh Elia.

"Aku rasa kamu tidak butuh bantuanku, lihat bagaimana kamu berpakaian, kalau mau jadi pelacur tinggal pergi saja ke rumah bordir, tawarkan dirimu dan aku yakin kamu lolos dengan tubuh seperti itu."

Max jelas-jelas mengejek, tapi Elia sedang tidak mau meladeni ejekan yang mengarahkan Elia untuk menghentikan niatnya. Sorot matanya tajam menatap Max. Itu membuat Max menyadari keinginan Elia nyata lebih nyata dari keinginannya untuk menghentikan Elia menjadi pelacur. Max lalu bergerak mengambil bungkus rokok yang tergeletak di meja, dia mengambil satu batang, menyalakannya dengan pemantik yang posisinya juga tak jauh dari bungkus rokoknya. Setelah itu duduk di sofa kulit.

"Jangan pura-pura nggak tahu!"

Elia menuding wajah Max. Pada saat itu, Max bersikap tenang.

"Aku ingin kamu menatoku lalu memasukkanku ke Bawah Tanah, kamu orang yang bisa melakukannya."

Elia terdiam ketika menyadri Max sedang mengamatinya mulai dari rambutnya yang setengah basah. Tatapan Max terlihat turun ke pundaknya yang bersih, buah dadanya mengkilap, pusar Elia yang bulat, pinggulnya yang ramping sempurna untuk didekap dari arah manapun. Elia tahu Max terus mengamati sampai ke bawah lalu kembali lagi ke setengah badan atasnya.

"Tidak ada tato yang cocok untukmu," katanya. Sikapnya dingin.

"Persetan! kamu harus mencarinya! dan juga masukkan aku ke jaringan Bawah Tanah."

"Kenapa harus pakai tato? tidak pun kamu bisa menjual tubuhmu."

Elia menatap Max dengan berani. Dia berkata, "Aku ingin tato yang membuatku bisa masuk ke Bawah Tanah!"

Jari tangan Max terhenti di udara. Tadi dia mau menghisap rokoknya, tapi mendengar kata-kata Bawah Tanah berkali-kali sudah membuat tengkuknya merinding. Elia tahu pengakuannya menarik bagi Max tapi Max tidak bersedia menanggung akibatnya.

"Bawah Tanah bukan tempat yang mudah dimasuki, kamu tahu seperti apa orang-orang di sana?"

"Karena itulah aku ke sini! Aku tahu kamu punya koneksi di sana!"

"Kamu boleh duduk."

Elia menarik nafas. Dia duduk begitu saja di kursi kayu terdekat.

"Dengan apa kamu mau membayar?"

"Kamu bisa membuatku masuk ke sana kan?"

"Aku ingin tahu berapa uang yang bisa kamu berikan padaku?"

"Aku memang belum punya uang sekarang, tapi aku sudah membulatkan tekad dan telah memikirkannya masak-masak." Elia menatap Max tajam. "Akan kuberikan sekitar 10 persen dari setiap penghasilan yang kuperoleh, bagaimana?"

"Apa yang bisa jadi jaminan?"

Elia bergerak maju, dia duduk di atas pangkuan Max sambil melepas branya.

"Kamu boleh lakukan apa saja padaku dan sebanyak apapun yang kamu inginkan, asalkan aku bisa masuk ke Bawah Tanah."

Elia menatap Max lekat-lakat. Mereka bertatapan satu sama lain dalam waktu yang lama. Elia tidak mempedulikan rokok di mulut Max terbakar dengan sendirinya. Dia bisa merasakan Max sedang memindai wajahnya dan rambutnya yang basah kena gerimis sebelumnya.

Elia melihat Max seperti kembali ke kesadarannya. Elia melihat setiap gerakan Max yang menyingkirkan rokok dari mulutnya. Meletakkannya dengan ketenangan terukur ke atas asbak, tanpa mematikannya dia meninggalkannya begitu saja di sana. Elia bisa merasakan sensasi asing tapi nagih ketika Max meletakkan kedua tangannya di pundaknya yang telanjang. Imajinasinya penasaran apa yang terjadi selanjutnya.

Elia merasakan sensasi yang disukainya tapi juga membuatnya takut. Jari-jari Max mulai bergerak ke arah tengkuk Elia dan Elia memberikan reaksi. Jari-jari tangan kiri Max berjalan ke punggung, sementara jari-jari tangan kanannya bergerak ke wajah Elia. Saat Max meletakkan jempol ke bibirnya, dia menghisapnya seperti menghisap es krim kemudian menciumi telapak tangan Max.

"Sepertinya kamu sudah siap sejak awal."

Elia merinding mendengar suara Max yang rendah di telinganya. Dalam sekejab dia sudah dalam pelukan Max seperti koala. Dia mendekap erat tubuh Max yang berjalan menaiki tangga. Dia tidak melihat ke mana Max akan membawanya tapi dia bisa mendengar Max menggeser pintu.

Elia mencium aroma kayu yang basah karena gerimis. Dia menduga itu kamar Max atau sebuah ruangan khusus untuk tamu. Dia terkejut ketika Max melemparnya ke atas tempat tidur. Seluruh ruangan itu berwarna kayu, kecuali tempat tidur yang sekarang dinaikinya dengan Max yang bergerak perlahan mendekatinya.

Elia mendapati tatapan mata Max liar padanya. Dia merasakan Max sedang mengamatinya yang setengah telentang di tempat tidur. Tubuh bagian atasnya sudah terbuka, jadi dia sudah siap jika pada saat itu Max akan melepaskan celananya.

Elia melihat kedua mata Max memicing. Dalam satu detik kemudian, dia tak percaya pada apa yang terjadi. Max duduk di atasnya, mencengkeram lengannya dengan tangan kiri kemudian menyeret sesuatu dari belakangnya dengan tangan kanan. Itu sebuah tali terbuat dari kain. Max mengikat lengan kanan dan kirinya dengan kuat. Itu membuat tubuhnya terekspos dengan sangat jelas.

"Waw! kamu berselera dengan yang beginian?"

Elia melihat Max yang semakin liar. Max menyeret kaki kiri Elia ke sisi dipan dan mengikatnya dengan tali dari bahan yang sama yang sudah tersedia di sana. Dia melakukan hal yang sama dengan kaki kanan Elia. Max mengamati hasil karyanya.

Setelah itu, Max menutup tubuh Elia dengan selimut putih. Kemudian berjalan keluar dan mengunci pintu ruangan itu dari luar.

"What!? hei! apa yang kamu lakukan! lepaskan! sialan! sial! dasar tolol!"

Elia mencoba melepaskan diri tapi ikatan buatan Max menjadi semakin kuat ketika dia sering bergerak. Lelah berteriak-teriak dan memberontak, dia terdiam dengan nafas tersengal-sengal.

Elia lalu tersadar kalau tindakannya tidak ada gunanya. Elia memejamkan mata dan mencoba untuk mengatur nafasnya. Semakin lama dia semakin bisa lebih tenang dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian dia mendengar suara mobil dari garasi Max keluar dan menjauh.

"Sialan kau, Max!"

===

Hai~

Silahkan baca cerita-cerita saya yang lain ya. Judulnya antara lain:

1. Half Demon Againts the Devil

2. My first Kiss My Enemy

3.Red Lines in the Blue Sky

Kalau kamu suka silahkan berikan komentar, vote atau gift. Aku akan update 3 chapter sekaligus keesokan harinya jika hari ini ada yang kasih gift 1000 koin. Hehe. Thankyou so much for your attention!

avataravatar
Next chapter