2 The Pain

Jevan menenggak kembali minuman kaleng soda yang ada di genggaman tanganya setelah langkah kakinya berada di atas balkon apartemen mewah milik Jeremy. Angin malam yang berhembus sepoi-sepoi, mampu menerbangkan rambut halus milik Jevan, sesekali menggigit tubuh pria matang ini dengan hembusan yang begitu dingin hingga merasuk sampai ke tulang-tulang.

Pria yang memiliki satu lipatan di kelopak matanya ini meringis pelan sembari mengusap lengan kekarnya yang merasakan hawa dingin.

Malam ini, ketiga lelaki bermarga Angkasa memilih menginap di apartemen kakak tertua mereka yang baru saja kembali dari Singapura setelah mengurus beberapa bisnisnya dan bisnis keluarga Angkasa. Melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu, serta mendengar pengumuman mengejutkan dari adik bungsu mereka.

Deru nafas panjang terdengar dari mulut Jevan tatkala dirinya kembali mengingat setiap ucapan yang di lontarkan oleh Jeffrey ketika adiknya dengan sangat lantang berkata ingin melamar kekasihnya.

Jeffrey, lelaki yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda darinya itu berhasil meyakinkan diri untuk membuat sebuah komitmen yang terbilang cukup riskan. Di usia Jeff yang masih sangat muda, yaitu 25 tahun, adik bungsunya itu mengambil sebuah keputusan yang cukup berat bagi seorang pria. Bahkan, dirinya dan juga Jeremy yang telah berusia diatas kepala tiga pun masih belum berani membuat komitmen seumur hidup dengan seorang wanita.

Jevan hanya tidak habis pikir, betapa dewasanya sang adik serta beruntungnya Jeffrey yang bertemu dengan seorang gadis baik dan penuh perhatian seperti Lisa. Gadis yang begitu mengerti adiknya, dan begitu memahami dengan baik bagaimana sosok Jeffrey sebenarnya.

Mengingat kisah mereka berdua, membuat Jevan merasakan sesak yang kembali melanda relung hatinya. Kondisi Lisa hampir sama dengan sosok wanita di masa lalunya.

Amanda Silvana Putri, sosok wanita yang beberapa tahun lalu sempat mengisi kekosongan hati Jevan. Wanita yang kerap Jevan sapa Manda itu, adalah seorang janda beranak satu yang usianya setara dengan kawan baiknya, Elina.

Karena sebuah kebodohan yang pernah di lakukan oleh Jevan, akhirnya mereka berpisah dan sampai saat ini keduanya tidak pernah saling berhubungan kembali.

Manda merupakan sosok wanita yang begitu sulit dilupakan oleh Jevan. Meskipun Manda bukanlah cinta pertama bagi pria tampan ini, namun ada begitu banyak moment kebersamaan yang membuat dirinya begitu sulit untuk sekedar move on dari sosok Amanda.

Terlalu perih jika harus mengungkit kisahnya dulu karena mereka berpisah bukan karena perasaan keduanya yang telah memudar. Melainkan karena mereka berpisah disaat keduanya masih sama-sama saling mencintai, bahkan teramat sangat. Hingga setelah kepergian Manda, Jevan di rundung perasaan menyesal hingga saat ini.

Andai saja ia bisa memiliki hati yang besar seperti adiknya yang mampu menyayangi seorang anak yang bukan darah dagingnya dan rela melakukan apapun demi anak tersebut, sudah pasti kehidupan Jevan saat ini jauh berbeda. Mungkin saja, bukan Jeffrey yang mengumumkan diri untuk melamar kekasihnya, tetapi dirinya lah yang melakukan itu untuk menikahi Amanda, atau bisa saja mereka saat ini telah menikah.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semua telah terjadi, waktu tidak dapat diputar ulang dan semua itu tidak akan pernah bisa kembali lagi seperti sedia kala.

Terkadang, Jevan sempat bingung dengan pemikirannya dulu. Dia seseorang yang bekerja sebagai dokter anak. Sudah pasti setiap hari bertemu dengan anak-anak kecil dan selalu bersikap ramah dengan mereka. Jevan tidak menutup kemungkinan kalau dirinya memang sangat menyukai anak kecil.

Bahkan ia pun begitu mengerti bagaimana perasaan anak kecil. Diantara ketiga lelaki Angkasa, Jevan lah yang begitu menyayangi anak-anak. Namun, mengapa ia tidak bisa menerima anak Manda seperti dirinya menerima wanita itu di hatinya?

"Hey bro!"

Jevan terhenyak kaget saat sang kakak tiba-tiba saja mengejutkannya dan berdiri tepat di sampingnya. Jeremy datang sembari mengenakan bathrobe dan memegang sekaleng bir di salah tanganya.

"Belum tidur lo?" Tanya Jevan berbasa-basi yang di balas Jeremy dengan beberapa ekspresi yang membuat Jevan berdecik kesal melihatnya.

"Pak dokter juga kenapa belum tidur? Overthinking karena mau di langkahin si bungsu?" Sergah Jeremy yang memperlihatkan wajah menyebalkan hingga Jevan begitu malas untuk menanggapi godaan Jeremy.

Lelaki tertua di keluarga Angkasa ini menatap langit malam yang terlihat mendung sembari mendesah panjang. Jeremy kembali meneguk minumannya tanpa mengalihkan tatapannya dari atas sana.

"Gue nggak pernah nyangka kalau Jeff bakal ngelangkahin kita berdua. Setelah denger sendiri keyakinan dan kemantapan Jeffrey, gue jadi sadar kalau adik bungsu kita ternyata udah sedewasa itu. Bahkan udah berani ngajak anak orang buat hidup bareng sama dia," seru Jeremy dengan raut wajah tak percaya. Pasalnya, Jeremy selalu menganggap Jeffrey sebagai adik kecil yang masih harus ia jaga.

Jevan tersenyum tipis mendengar penuturan kakaknya. Ya, Jeremy memang benar. Adik bungsu mereka yang paling kecil ternyata sudah berani mengambil langkah yang sangat berani.

"Oh ya, Elina apa kabar?" Sela Jeremy secara tiba-tiba yang membuat Jevan mengernyit heran mendengarnya. Baru saja mereka membahas tentang Jeffrey, kini kakaknya justru berubah topik dan membahas tentang Elina, sahabatnya. Jevan merasa sedikit curiga.

"Ngapain lo tanya-tanya Elina?" Sergah Jevan dengan sorot kebingungannya.

Jeremy mundur beberapa langkah usai mendengar nada mengerikan dari adiknya. Ia meminta Jevan untuk stay clam.

"Easy bro! Astaga, salah banget ya gue nanya kabar Elina?"

"Jelas lah! Lagian ngapain juga sih lo mesti tau kabar tentang dia?" Sergah Jevan sembari meneguk minuman soda miliknya.

"Yah, kali aja Elina bisa jadi salah satu anggota keluarga kita setelah Jeff masukin satu anggota baru. Lagian mau berapa lama lagi sih lo sama Elina? Be brave like our Jeffrey! Lo tuh nunggu apalagi sih sama Elina?" Kelakar Jeremy diimbangi dengan rasa penasaran yang cukup tinggi tentang hubungan antara Elina dan juga Jevan.

Sedangkan Jevan sendiri hanya mengernyit bingung karena tidak paham dengan maksud ucapan kakaknya.

"Maksud lo? Gue nggak ngerti banget deh. Lagian gue sama Elina kenapa coba?" Tandas Jevan tak mengerti.

"Lah? Lo sana Elina kan juga pacaran. Masa gitu aja nggak ngerti sih lo?" Jevan semakin heran dengan ucapan kakaknya. Lalu ia tertawa keras hingga membuat Jeremy diam dan menatap Jevan dengan ekspresi aneh.

"Siapa yang pacaran sama Elina sih? Gue sama dia cuma temen doang nggak lebih! Dapat kabar darimana kalau gue sama Elina pacaran? Aneh-aneh aja lo!" Tandas Jevan tertawa geli diselingi dengan klarifikasi hubungannya dengan Elina. Sudah berapa orang yang salah mengartikan hubungan pertemanan dirinya dan juga Elina. Jevan hanya menggeleng heran.

"Yakin cuma temen? Kalau cuma teman doang masa bisa check in di hotel bareng? Gue juga laki ya Van! Tau banget cewek sama cowok check in di hotel ngapain aja!" jelas Jeremy yang membuat Jevan terkejut lalu membuang pandangannya kearah lain sembari menenggak soda yang ada di tangannya.

Ia memilih untuk menghindari hal itu. Cukup malas membahas hal sensitif seperti itu dengan Jeremy yang memiliki tabiat lebih parah daripada dirinya.

"Astaga, gue kira lo paling alim diantara kita bertiga, ternyata brengsek juga. Jadi lo sama Elina cuma ... friend with benefit, begitu?" Tebak Jeremy sembari memandang penuh curiga kepada adik keduanya.

Jeremy kembali teringat tentang kejadian beberapa waktu yang lalu. Ia cukup kaget saat ada yang berkata bahwa adiknya, Jevan sempat menginap di salah satu hotel bersama dengan seorang wanita. Ia kira Jevan akan mengikuti jejaknya, namun setelah ia tahu wanita itu adalah Elina, kemudian Jeremy berasumsi bahwa mereka tengah menjalin sebuah hubungan.

Tapi, saat ia mendengar sendiri penuturan Jevan tentang hubungannya dengan Elina, Jeremy justru di buat tercengang dan tidak percaya.

"Gue nggak se brengsek itu yang jadiin Elina pelampiasan hasrat gue! Dia teman terbaik gue, dan waktu itu hanya kesalahan. Kita sama-sama hangover dan akhirnya ... ya begitu," tutur Jevan kembali menjelaskan tentang kejadian waktu itu kepada kakaknya.

"Kesalahan? Gimana kalau kesalahan itu berbuah hasil? Lo cuma ngelakuin sekali doang kan sama dia? Lo pake pengaman juga kan?"

Jevan berjengit kesal mendengar kalimat Jeremy yang semakin  frontal. Ia memilih untuk menyingkir namun Jeremy menahan lenganya agar ia tidak lari begitu saja saat dirinya membahas tentang Elina.

"Lo yakin cuma ngelakuin sekali doang kan? Gue cuma mau mastiin aja. Jangan sampai lo ngehancurin masa depan sahabat lo sendiri Van!" Ungkap Jeremy memperingati. Namun hal itu justru membuat Jevan menatap tajam kakaknya sendiri.

"Iya cuma sekali doang. Gue juga tau tentang itu. Kalau lo lupa, gue dokter! Gue pasti tahu dan bisa bermain safety meskipun lagi nggak sadar. Nggak perlu lo ingetin pun gue nggak bakal buat Elina tersiksa!" Jelas Jevan dengan emosi yang tiba-tiba saja membelenggu dirinya. Setelah itu ia melepas cengkeraman tangan Jeremy lalu memilih untuk pergi dari sini.

Lelaki dengan paras blasteran Eropa ini menatap punggung Jevan dengan pandangan yang sulit di artikan. Jeremy meremas kaleng bir yang ada di tanganya usai menenggak seluruh isinya hingga tandas.

"Semoga ucapan dan hati lo selaras Van. Gue nggak mau, lo hidup terpuruk seperti gue. Dan gue juga nggak bakal bisa terima cewek yang gue sayang justru rusak karena sikap plin plan lo itu!" Lirih Jeremy dengan tatapan tajamnya lalu kembali menghadap balkon dan menikmati langit malam yang begitu sunyi.

avataravatar
Next chapter