3 Just Friend

Pintu yang bertuliskan ruang operasi telah terbuka. Sepasang suami istri yang duduk tak jauh dari pintu tersebut langsung berdiri manakala seorang lelaki yang memakai jubah operasi keluar dan berdiri tepat di depan kedua wali pasien sembari memberikan seulas senyum sembari mengabarkan bahwa operasi yang baru saja ia lakukan berjalan lancar.

Wanita yang berusia sekitar 30 tahunan itu menangis haru dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada lelaki berjubah biru itu karena telah menyelamatkan anak semata wayangnya. Bahkan sang suami yang sejak tadi memeluk istrinya ini pun ikut mengeluarkan cairan bening dari kedua pelupuk matanya dan ikut merasa senang mendengar kabar ini.

"Bapak dan ibu tenang saja, setelah ini Rangga bisa kembali pulang dan berkumpul bersama kalian. Kalau begitu, saya permisi dulu," tutur lelaki yang disapa dokter Jevan itu. Tak lupa ia menyunggingkan senyum manis yang tercipta dikedua sudut bibirnya hingga terlihat dua dimple di pipi kanan dan kirinya yang menjadi ciri khas dari dokter muda ini.

Setelah pamit undur diri dari kedua orang tua pasiennya, senyum Jevan pun sirna dan digantikan dengan helaan nafas lelah yang keluar dari mulutnya. Operasi tadi berjalan cukup panjang hingga membuat kedua kakinya seperti mati rasa karena harus berdiri selama enam jam lamanya.

Jevan memilih untuk pergi ke ruang kerjanya dan mencoba untuk istirahat sejenak. Disaat ia baru saja membuka pintu ruang kerjanya, sosok lelaki sebayanya tengah tertidur diatas sofa panjang dan masih memakai pakaian yang sama dengan dirinya.

Ya, dia memang berbagi ruang kerja bersama dengan salah satu rekan sejawatnya yang menjadi sahabat karibnya dari bagian bedah umum. Pratama Satria Tengker atau yang biasa Jevan sapa dengan sebutan Tama ini memiliki jadwal yang lebih padat darinya hari ini.

Tak heran lelaki berpostur tubuh mungil dibanding ukuran pria ini langsung tumbang setelah menyelesaikan tiga operasi yang cukup riskan dan memakan waktu lama yang cukup lama dimulai sejak tadi pagi.

Jevan masuk ke dalam dan berusaha sebaik mungkin agar tidak menimbulkan suara sedikitpun dan tak mengganggu atau mengintrupsi waktu istirahat rekannya. Ia pun segera duduk diatas kursi kerjanya sembari menghela nafas panjang serta membuka laci meja dan mengambil ponsel miliknya.

Ponsel dengan brand apel tergigit itu bergetar hebat di genggaman tangannya dan nama Elina terlihat dalam layar touchscreen ponsel tersebut. Tanpa ragu Jevan mengangkat panggilan telepon dari salah satu sahabat baiknya sejak SMA itu dan suara lembut Elina langsung terdengar dari seberang sana.

"Akhirnya di angkat juga," sela Elina merasa lega.

"Maaf, gue baru kelar operasi. Kenapa El?" Sahut Jevan dengan suara yang ia buat sepelan mungkin.

"Hm? Oh, Tama lagi tidur. Dia tepar habis ngoperasi tiga orang hari ini," seru Jevan saat Elina bertanya mengapa suaranya terdengar pelan.

"Sekarang banget?" Sahut Jevan lagi.

Setelah mendengar ucapan Elina serta menatap jarum jam yang tertempel diatas dinding, akhirnya Jevan pun pasrah lalu mengiyakan permintaan sahabatnya itu.

"Ok deh. Sekalian gue numpang tidur di kamar atas."

Setelahnya Jevan pun mengakhiri panggilan tersebut lalu mendengus pasrah.

"Telepon dari Elina?"

Jevan segera menatap kearah sofa ketika suara Tama tiba-tiba saja terdengar dan bertanya kepadanya.

Lelaki berwajah campuran indo-oriental ini mengangguk pelan menjawabnya.

"Kedengeran ya? Sorry udah ganggu tidur lo."

Tama tidak mempermasalahkan hal itu. Kebetulan ia pun sudah cukup untuk istirahat. Lelaki dengan postur tubuh jauh lebih pendek dari Jevan pun segera bangkit dan mendudukan tubuhnya diatas sofa. Sesekali ia menguap lebar sembari merenggangkan otot-otot tubuhnya lalu menatap Jevan kembali.

"Mau kemana lo?" Tanya Tama ketika Jevan melangkah mendekati almari yang menyimpan pakaian mereka.

"Ke cafe Elina. Katanya ada party kecil-kecilan disana. Mau ikut?" Ajak Jevan.

Tama berpikir sejenak lalu mengangguk cepat.

"Boleh deh, hitung-hitung mau refreshing bentar liat cewek cantik," sahut Tama yang mendapat lemparan berupa gumpalan dasi milik Jevan. Lelaki ini tahu siapa cewek cantik yang dimaksud oleh Tama.

---000---

Gedung dua lantai yang terletak tepat berseberangan dengan rumah sakit itu terlihat lebih sunyi dari biasanya. Jevan serta Tama membuka pintu cafe yang bertanda close itu lalu masuk ke dalamnya. Kedua lelaki matang ini cukup tercengang melihat dekorasi cafe yang telah berubah cukup unik dan menarik. Banner besar dengan tulisan berukuran besar terpampang jelas di salah satu dinding besar dengan hiasan balon berbentuk love.

Happy Birthday Lisa

Tulisan itu membuat Jevan mulai memahami kalau party yang sebentar lagi akan diselenggarakan disini untuk merayakan hari jadi seorang gadis yang sebentar lagi akan masuk menjadi anggota keluarganya.

Salah satu jari Tama menunjuk tulisan tersebut lalu bertanya kepada Jevan.

"Itu nama pacarnya adek lo kan?"

Jevan mengangguk pelan lalu membawa Tama masuk lebih dalam lagi dan menemukan dua lelaki muda yang sedang dengan pemompa serta balon-balon. Tak lama setelah itu sosok wanita cantik yang menelepon Jevan keluar dari kitchen membawa kue yang telah dihiasi sedemikian rupa. Dengan dibantu salah satu karyawannya, kue berbentuk bulat berwarna biru bergambar doraemon itu perlahan diletakkan diatas meja.

Elina, wanita cantik yang tadi membawa kue, menyunggingkan senyum terbaiknya melihat kedatangan Jevan beserta kawannya Tama. Ia segera melangkah mendekati kedua dokter muda itu dan menyuruh mereka berdua untuk duduk di salah satu meja kosong.

"Hai El, makin cantik aja nih. Udah lama kita nggak ketemu ya? Padahal tempat kerja kita nggak jauh," seru Tama dengan sorot mata serta nada suara menggoda.

Elina, wanita cantik berkulit coklat eksotis ini tersenyum ramah menanggapi pujian lelaki muda berkemeja putih itu sembari membalas sapaan Tama dengan nada yang cukup ramah. Tak lupa ia juga menyuruh salah satu karyawannya untuk menyajikan minuman kepada Jevan dan juga Tama.

"Party untuk Lisa ya?" Tanya Jevan yang dibalas anggukan pelan dari Elina.

"Adek lo ngide buat surprise party buat calonnya. Dia juga sampe bawa piano segala tuh," ucap Elina sembari menunjuk piano yang berdiri di panggung musik kecil yang tersedia khusus di cafe ini.

"Sekalian dia official ngelamar Lisa. Katanya sih gitu," sambung Elina yang mendapat tatapan terkejut dari Tama.

"Memangnya adek lo bisa main piano?" Kelakar Tama merasa penasaran. Jevan pun sempat dibuat bingung serta terkejut melihat piano merk Yamaha itu dibawa secara khusus oleh adiknya. Pasalnya, adiknya tidak bisa bermain alat musik apapun.

"Jeff ikut kursus piano. Mungkin udah ada enam bulanan ini sih," sahut salah satu lelaki muda yang Jevan ketahui adalah anak dari dirut di tempat ia bekerja.

"Soalnya Lisa selalu muji-muji Juna yang bisa main gitar. Makanya Jeff rela ikut kursus piano supaya pacarnya nggak oleng ke cowok lain!" Imbuh lelaki satunya dan dua lelaki muda itu tertawa geli sembari mengejek kawannya Jeffrey tepat di depan Jevan yang ikut tertawa mendengar celotehan dua teman baik adiknya ini.

Tama bertepuk tangan merasa salut mengetahui hal ini.

"Niat banget. Salut deh gue sama adek lo Van."

Tak lama setelahnya, sosok yang sejak tadi mereka bicarakan akhirnya datang dengan membawa sebuket bunga mawar merah berukuran cukup besar. Elina segera menghampiri Jeffrey dan membantu lelaki itu membawa buket bunga dan menyuruh Jeffrey untuk bersiap-siap.

Jevan mengulas senyum melihat adiknya yang baru saja tiba dan merasa bangga karena adik bungsunya mampu membuat ide brilian seperti ini. Jeffrey sempat menyapa mereka sebentar lalu kembali bersiap-siap karena sebentar lagi kekasihnya akan segera tiba.

"Wah gila, adek lo keren banget Van. Dia beneran mau ngelamar pacarnya?" Jevan mengangguk menjawab seruan Tama.

"Jadi si bontot bakal ngelangkahin dua kakaknya nih?" Sahut Tama melanjutkan. Jevan terkekeh mendengar sindiran Tama sembari meminum ice americano.

"Wah, beneran salut gue sama adek lo. Dia berhasil survive dari masa terpuruknya. Giliran kakaknya nih yang mesti move on," kelakar Tama dengan nada menyindir keras hingga mendapat lirikan malas dari lelaki berkulit putih ini.

Tama menjentikkan jemari tangannya berulang kali tepat di depan wajah Jevan agar sahabatnya sadar dan melihat keberhasilan yang telah direngkuh oleh adiknya.

"Ikutin tuh adek lo. Jangan cuma stag dan nggak ngelakuin apa-apa. Percuma lo kerja banting tulang tiap hari tapi hasilnya cuma bisa lo nikmati sendiri," seru Tama lagi.

"Ck, lo nggak liat kondisi diri sendiri apa?" Sahut Jevan mulai terlihat kesal karena Tama kembali membahas masalah ini.

"Gue emang sendiri. Tapi seenggaknya gue udah punya anak yang bisa gue jadiin prioritas buat kerja. Gue emang gagal, tapi gue nggak pernah trauma buat menjalin hubungan lagi. Coba aja lo nggak ngehalangin gue pepetin Elina, mungkin saat ini dia udah jadi istri gue."

"Pacar bukan, suami bukan, main larang-larang aja lo!" Gerutu Tama yang mendapat tatapan tajam dari Jevan.

"Gue sahabatnya! Lagian gue tahu tabiat lo dan nggak mungkin gue bisa ngelepasin Elina sama orang kaya lo Tam. Setidaknya Elina harus dapat cowok baik yang bisa menjaga dia."

"Kalau gitu lo aja Van. Lo kan selama ini bisa menjaga Elina dengan baik daripada lo selalu wanti-wanti gini. Lo berdua tuh cocok dan sama-sama sukses. Apalagi yang kurang?" Timpal Tama yang membuat Jevan menghela nafasnya kasar. Ucapan seperti ini lagi yang harus ia dengar.

"Masalahnya dia sahabat gue! Aneh banget kan semisal gue nikah sama sahabat sendiri?"

Tama menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju.

"No! Justru itu bagus karena kalian berdua sama-sama saling kenal dan sudah tahu sifat masing-masing. Banyak tuh laki-laki diluar sana yang nikah sama sahabatnya sendiri."

Jevan hanya meringis tipis sembari memainkan sedotan minumannya. Cara berpikir Jevan dan Tama memang cukup berbeda. Jika Tama merasa bahwa tidak masalah antara sahabat saling memiliki hubungan, sedangkan dirinya justru merasa bahwa hal itu adalah hal yang cukip tabu dan bisa saja merusak tali persahabatan.

Meskipun secara tidak sengaja dirinya dan Elina pernah berbagi ranjang berdua, namun hal itu mereka lakukan secara tidak sengaja.

Tama menepuk pundak Jevan pelan sembari berkata,

"Dicoba dulu. Mau sampai kapan lo stag sama Manda? Mau sampai kapan lo gini-gini aja? Hidup terus berlanjut bro! Percaya lah sama gue.  Elina pasti bisa jadi pasangan yang cocok buat lo buat move on dari Manda!"

avataravatar
Next chapter