1 Prolog

Audi perak itu melaju dengan kecepatan tinggi, mengejar mobil sedan di depannya yang juga menambahkan kecepatan. Setiap kendaraan di jalan raya disalip lihai oleh mereka tanpa menurunkan jarum spidometer. Pandangan pria di dalam mobil audi perak tampak menajam, terpaku pada satu titik di sana dengan mengabaikan lingkungan di sekitar dan dia hanya akan menghindari apa pun yang menghambat laju audinya. Dia tidak boleh ketinggalan jejak oleh mobil sedan itu yang berada dua mobil di depan.

Ketika berbelok ke perkomplekan pabrik yang sepi karena sudah malam, pistol di kursi samping diraih pria itu. Berhubung jalanan yang lurus dengan sebelah kiri merupakan sungai dan sebelah kanan deretan bangunan pabrik, membuat pria itu seakan melihat peluang untuk segera menghentikan target. Maka dengan tangan kiri terjulur ke luar jendela, dia mengarahkan lurus pistol itu ke sedan dan jemari langsung melepaskan pelatuknya. Dor!

Letusan senpi bagai peringatan keras bagi mereka. Namun, mereka tetap terus melakukan kendaraan agar lolos dari kejaran audi milik Rafael. Mereka tidak boleh sampai tercegat oleh pria itu. Demi misi yang ditugaskan pada mereka, apa pun akan mereka lakukan untuk melaksanakan perintah. Dan salah seorang pria di dalam sedan itu mengeluarkan setengah tubuhnya dari jendela, sementara temannya fokus menyetir sebelum dia membalas tembakan pertama tadi. Dor!

Niat mengincar ban mobil, bidikannya sama meleset seperti Rafael. Pria berkepala plontos itu mengumpat kesal, lalu melepaskan pelatuk lagi. Dor! Seketika kaca depan audi Rafael berhasil ditembus peluru. Hampir saja mengenai kepalanya kalau dia duduk di kursi samping kemudi. Rafael geram. Dia membalas tembakan itu lagi sembari tangan kanannya mengendalikan stir. Terlihat cukup merepotkan dilakukan seorang diri. Tetapi berada dalam situasi seperti memaksa Rafael bertindak nekat.

Dor!

Dor!

Dua letusan peluru Rafael terbuang sia-sia ketika tak berhasil menghentikan sedan itu yang berbelok ke jalan lain. Rafael mengikuti jejaknya dengan memutar stir ke arah kiri. Hingga dua jalur di hadapan membuat Rafael bingung. Akhirnya audi perak itu berhenti di tengah-tengah dan Rafael keluar mobil dengan hati mengkal. Pandangan Rafael menyapu ke kanan-kiri dengan perasaan gusar. Kesal harus kehilangan target, dua kepalan tangan Rafael mendarat keras di atap audinya. Keberangan yang menggelora di dada membuat urat dahi pria itu muncul. Rahang Rafael mengeras sampai garis halus di lehernya yang kokoh nampak. Padahal target sudah di depan mata, tapi dia malah tidak mampu menangkap mereka.

"Sial!"

Ketika itu dia mengambil gawai dari saku jas hitamnya. Sebuah panggilan masuk dari rekan segera dijawab. "Ada apa?" kata Rafael tak mau berbasa-basi. "Kau di mana sekarang? Sinyal mereka tiba-tiba hilang. Itu membuatku kehilangan jejak mereka," jelas suara wanita.

Rafael mendengus. "Aku juga sama. Tapi aku berada di lokasi terakhir kali melihat mereka. Aku yakin mereka tidak jauh dari sini," ucap pria itu sembari mengamati sekeliling yang tampak sepi. "Baiklah. Aku akan panggil mereka untuk ke lokasimu," sahut wanita itu mengakhiri panggilan.

Gawai tipis disimpan kembali ke saku jas, dan kemudian Rafael menarik langkah lebar ke selatan. Pistol semi otomatis digenggam tangan kanannya. Dia perlu menemukan sedan itu. Jika sudah ditemukan, maka akan mudah baginya menemukan mereka. Terlambat sedetik sangat terlarang bagi Rafael yang begitu gelisah. Jadi pria itu harus secepatnya menemukan mereka malam ini juga! Karena kedua tangannya sudah gatal sejak tadi untuk melepaskan pelatuk ke jantung mereka.

***

Tuan Morisco menyesap cerutu mahalnya. Lalu uap tipis keluar dari celah bibir pria tua itu yang sudah keriput di kala mendesau lega. Dia duduk begitu angkuh di single sofa di hadapan enam pria tua berjas formal yang juga duduk di sofa panjang di sebelah kanan kiri. Ke-enam pria tua itu terlihat duduk tidak nyaman, kaku dan canggung, bahkan pendingin ruangan terasa tak berfungsi sehingga membuat mereka harus melonggarkan sedikit kerah kemejanya dengan gugup.

"Apakah hanya itu yang bisa kalian lakukan?" Tuan Morisco buka suara dengan intonasi yang berat sambil melirik tajam pada mereka. Sorot mata bagai ujung pisau itu membuat mereka tidak berani membalas tatapannya selain hanya menunduk dan menghindari wajah tuan Morisco. "Tuan, kita hanya perlu memperbaiki citra kita agar mereka percaya kembali kepada kita. Walau mendapatkan kepercayaan lagi setelah membuat mereka kecewa, tidak mudah...." usul salah satu pria di sana.

"Apa yang ingin kau bicarakan. Katakan dengan jelas!" perintah Tuan Morisco tegas. Ke-enam jajarannya menelan ludah susah payah. "Mereka telah merusak bisnis kita di sana! Apa kalian membiarkannya begitu saja hah!!" berang tuan Morisco. "Apa gaji kalian mau saya turunkan?!! Atau saya pecat? Lakukan dengan benar! Dapatkan ladang kita kembali dari mereka!" Tuan Morisco tidak mau ada bantahan apalagi ceramahan dari mereka. Dia sudah tersulut emosi mengenai kasus bisnisnya sekarang.

Kemarahan tuan Morisco membuat mereka terdiam bungkam dan hanya bisa menuruti perintah sang bos besar. Wajah mereka menunduk, tetapi pikiran mereka seperti benang kusut. Tugas yang rumit dan merepotkan ditambah dengan sifat temperamen tuan Morisco yang ambisius terhadap segala hal, memaksa otak mereka bekerja keras sampai rasanya stress. Tetapi berada di jabatan yang bergengsi dengan gaji yang tidak kecil, tentu mereka sadar bahwa tugas mereka semakin sulit ketika berada di atas. Dan mereka harus menanggungnya untuk mempertahankan pekerjaan. Masih ada anak istri di rumah yang membutuhkan biaya hidup.

Ketika itu pintu ruang kerja tuan Morisco dibuka dari luar, dan seorang pria lebih muda melangkah tergesa menghampiri Tuan Morisco. Pria muda itu membisikkan sesuatu di telinga tuan Morisco secara singkat, lalu berdiri tegak lagi di samping sofa sang tuan. "Kalian, bubar!" usir pria tua itu pada ke-enam bawahannya. Mereka segera bangkit dan berjalan ke luar ruangan dengan tak lupa menutup pintu.

"Di mana Rafael sekarang?" tanya tuan Morisco.

"Tuan muda Rafael sedang menyelesaikan tugasnya, tuan," jawab pria muda berkisaran tiga puluhan tahun itu dengan sopan. Tuan Morisco berpikir usai mendengar jawaban dari sekertarisnya itu. Rafael sedang melakukan tugasnya, dan tuan Morisco merasa tidak ingin mengganggu tugas sang putera sulung yang tidak pernah mengecewakan.

"Bagaimana persiapan untuk pidato besok pagi?" Akhrinya tuan Morisco kembali berfokus pada perannya di masyarakat. Soal bisnis sudah dipercayakan pada Rafael, sehingga dia bisa konsisten melakukan rencana selanjutnya yang menjadi impian untuk diwujudkan. "Ini teks pidato anda, tuan. Anda hanya perlu mempelajarinya sehingga besok tidak perlu membawa teks lagi," kata sekertaris itu sembari menyerahkan map ke meja. Tuan Morisco mengangguk-angguk saat melihat isi lembar kertas tersebut. "Ini terlalu mudah," komentarnya dengan pandangan membaca cepat isi kalimat di dalam.

***

avataravatar
Next chapter