1 00

Alivia Anna. Seorang gadis berwajah imut, pipinya yang chubby, tubuhnya yang semampai (semeter tak sampai) dan lekuk tubuhnya tercetak sempurna menjadikan hal itu terlihat sangat serasi dengan perpaduan semuanya. Dia cewek yang selalu ceria, bawel, tukang rumpi, pecicilan dan doyan makan. Makan MAKANAN yang jelas, bukan makan TEMEN. Namun dibalik sikapnya itu, dia sebenarnya cewek yang paling lemah. Dia rapuh. Dan hatinya sangat mudah tergores.

Flashback on.

Via tinggal di asrama yang cukup membuatnya muak. Karena apa yang dia lakukan nantinya akan dibicarakan oleh para bigos singkatan dari biang gosip.

Begitulah Via dan teman-temannya menyebutnya. Tau 'kan yang biang itu nggak baik? Ya, itulah mereka. Yah, Mungkin mereka kurang piknik. Bagaimana tidak, untuk izin pulang ke rumah saja susahnya nggak ketulungan. Saking susahnya Via pernah sampai pura-pura sakit supaya di beri izin pulang. Karena selain alasan sakit, akan sangat sulit untuk diizinkan. Seperti halnya Via waktu itu.

Di ruang piket. Kebetulan hari itu yang piket termasuk guru killer, yaitu Ibu Tini. Tanpa basa-basi saat Via masuk, Bu Tini langsung berbicara tanpa melihat siapa yang masuk.

"Ngapain kamu ke sini?" cecar Bu Tini.

"Saya mau izin, Bu," jawab Via.

"Izin kenapa? Kalau nggak penting mending ke kamar aja sana!"

"Saya izin ada acara keluar--"

"Emangnya kalo kamu nggak dateng, acaranya bakal batal?"

Via menelan ludahnya.

Mau ngomong apalagi coba kalo udah kayak gini? Batin Via.

"Gini lho, Bu, sejak di asrama saya jarang banget kumpul sama keluarga besar, makanya mereka pengen banget saya dateng."

"Pd banget kamu. Emang siapa yang bilang kayak gitu? Siapa tahu cuma opini."

"Jadi gimana, Bu, saya diizinin nggak?"

Pertanyaan bodoh sih sebenernya. Batin Via.

"Apa kalimat saya tadi kurang jelas? Guru Bahasa Indonesia kamu siapa sih?"

"Oh, ya udah, Bu, makasih."

"Ngapain bilang makasih ke saya emang saya ngasih kamu apa?"

Makasih udah marah marahin saya, Bu. Puas? Batin Via geram.

Terbukti 'kan gimana susahnya minta izin buat pulang. Lupakan masalah izin dan bigos. Ada satu hal lagi selain masalah izin dan bigos yang cukup mengganggu hidup Via, yaitu satu orang yang sering membuatnya kesal hampir seminggu dua kali. Udah kayak bimbel aja seminggu dua kali.

Ya, Via menyebutnya si mandor. You know mandor? Yang kerjaannya nyuruh-nyuruh? Tapi mending, ya, mandor yang bener-bener mandor nyuruhnya juga karena dia tugasnya emang gitu, plus kalo salah juga mau mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab. Nah, yang ini, kalo salah nggak mau disalahin. Kalo kata dia bener, ya, harus bener walaupun kenyataannya salah. Kan bikin naik darah.

Dia mantan ketua eskul pramuka di sekolah Via. Tapi lagaknya kayak masih menjabat sebagai ketua. Dan hari paling absurd adalah ketika ada sebuah rapat. Yang berarti semua anggota maupun pengurus, putra maupun putri wajib datang.

Awalnya memang membicarakan tentang pramuka tapi suatu ketika percakapannya berubah menjadi percakapan yang sedikit mengganggu ditelinga Via. Dan karena orang itu berbicara berdiri di depan papan tulis, maka sudah pasti semua mendengar dan nadanya pun lebih tinggi dari sebelumnya.

"Siapa di antara kalian yang membicarakan saya di belakang, melalui buku diari dan memberikannya pada teman dekat kalian?! Saya lebih menghargai apabila Anda berbicara langsung di depan saya walaupun itu menyakitkan hati saya. Ayo siapa yang merasa angkat tangannya. Saya minta kejujurannya," kata Dio.

Curhat mas? Panjang amat. Gerbong kereta juga kalah wkwk. Batin Via.

Via dan sahabatnya yaitu Nidya terdiam. Saling tatap. Antara ingin tertawa dan bingung. Semua yang berada dalam kelas seketika mulai sibuk dengan satu pertanyaan yang sama intinya, "Siapa sih?" "Eh, lo tau nggak siapa?" "Siapa, ya? Sampe di bahas gini." "Siapa, ya?" yup, dengan sedikit takut Via mengangkat tangannya dengan raut watados atau wajah tanpa dosa.

Dan saat Dio menatap Via, seketika seisi kelas langsung melihat apa yang Dio lihat. Mereka sangat terkejut melihat tangan Via yang terangkat kecuali Nidya. Dia malah sedang menahan tawanya dengan susah payah. Dasar teman laknat.

"Ya, terimakasih kakak atas kejujurannya. Sebenarnya saya sudah tahu itu Anda. Saya hanya ingin meminta kejujuran Anda secara jelas."

"Sama-sama," jawab Via tak bernada.

Semua mata masih tertuju pada Via seorang. Andai Via artis, mungkin dia sudah melambaikan tangan atau dadah-dadah pada fans di posisi seperti saat ini.

"Saya ingin bertanya, apa alasan Anda menulis tentang saya lalu memberikannya pada teman dekat Anda itu?" Tanya Dio serius.

"Alasan saya yang pertama, saya benci pada Anda. Yang kedua, itu buku catatan harian saya, jadi saya berhak menulis apa saja yang saya inginkan. Yang ketiga, teman dekat saya itu adalah pendengar dan pemberi solusi yang baik, maka dari itu saya meminjamkan buku saya padanya lagi pula Anda tidak sopan membaca tanpa seizin saya. Saya rasa cukup, apakah Anda ingin bertanya lagi?"

"Mengapa Anda tidak berbicara langsung saja pada saya bahwa Anda membenci saya dan apa alasan Anda membenci saya? Mengapa harus menulis di diari lalu Anda berikan pada teman dekat Anda?"

Muter muter terus aja pertanyaannya. Batin Via.

"Itu sama sekali bukan urusan Anda. Alasan saya membenci Anda karena anda sangat keras kepala, tidak mau menerima saran dari orang lain dan ingin menang sendiri."

"Iya, saya tahu. Tapi bukankah lebih baik Anda bicara langsung pada saya?"

"Apa gunanya jika saya bicara langsung pada Anda? Toh Anda tidak akan menerima atas apa yang mungkin saya katakan nanti."

"Belum tentu begitu."

"Belum tentu begitu bagaimana? Sekarang saja sudah jelas bahwa Anda tipikal manusia yang tidak ingin disalahkan. Ingin selalu benar."

Dio terdiam. Mungkin dia merasa perkataan Via benar.

"Buat apa masalah ini di perpanjang? Dan buat apa membahasnya dalam rapat ini? Hanya buang-buang waktu orang lain saja. Ini 'kan masalah pribadi. Tak seharusnya di publikasikan. Dan satu lagi yang saya tidak suka dari Anda, ya ini." Tegas Via.

"Jikalau begitu saya minta maaf atas sikap saya selama ini pada kakak Via, maupun pada kalian semua yang ada di sini."

Gue kira lo nggak bakal sadar apa kesalahannya. Batin Via sambil memutarkan bola matanya malas.

"Sebaliknya saya pun minta maaf atas kesalahan yang telah saya lakukan pada Anda, maupun pada kalian semua yang ada di sini."

Udah kayak lebaran aja ya wkwk.

Batin Via terkekeh.

Rapat pun di akhiri. Tentu saja semua langsung menuju asramanya masing-masing.

***

Pada rapat maupun latihan pramuka selanjutnya setelah hari perdebatan itu, Dio terus saja membahasnya sampai Via dan teman-temannya bosan. Bahkan author juga bosan. Via yang tadinya sudah memaafkan Dio dengan tulus, rasa benci itu timbul lagi. Ya ampun, Dio memang makhluk yang benar-benar membuat Via tak bisa lagi menahan amarahnya.

Tadinya Via ingin berbicara empat mata dengan Dio. Tapi Via benar-benar sibuk dengan tugas yang mulai menumpuk. Di tambah lagi akhir-akhir ini Via tak pernah melihat Dio. Akhirnya dia membuat surat lalu menitipkan surat itu pada teman sekamar Dio. Isi suratnya antara lain tentang kemuakkan Via atas apa yang telah Dio lakukan.

***

Hari ini diadakan rapat seperti biasa. Dan seperti biasa juga, Dio lah yang memimpin untuk membicarakan tentang kegiatan yang akan di adakan di luar lingkungan asrama. Setelah rapat ditutup, Via dan sahabatnya bingung. Saling pandang. Seakan tahu apa yang ada di pikiran Via, Nidya berbisik.

"Tumben si mandor nggak nge-flasback-in masalah yang sama lo itu, ya, wkwk," katanya disambung tawa.

"Gue juga bingung Nid, kenapa dia, ya? Kesambet apa? Wkwk."

Tiba-tiba satu suara mengejutkan Via dan Nidya.

"Untuk Alivia jangan dulu meninggalkan ruangan."

"Sudah kuduga." bisik Via dan Nidya berbarengan.

Ya, siapa lagi kalau bukan Dio.

Nidya pun menunggu di sudut depan kelas karena Via yang memintanya. Dio pun membuka percakapan.

"Maaf gue ngomongin masalah kita terus hampir setiap pertemuan pramuka. Tapi itu cuma sekedar jadi bahan pembelajaran bukan maksud nyindir atau apapun."

"Ya kenapa pake masalah itu? Biasanya 'kan lo nggak pake cerita-cerita gitu buat pembelajaran. Gue nggak suka cara lo itu. Lo tuh sama aja kayak nyiletin tangan gue terus lo hansaplasin, tapi hansaplasnya itu lo cabut paksa sampe akhirnya timbul luka baru yang lebih parah!"

"Sekali lagi maaf, Vi, maaf. Gue janji nggak bakal flashback-in soal itu lagi."

"Haha gue nggak perlu janji. Suer, nggak butuh. Gue cuma butuh bukti doang. Udah!" jawab Via dengan penuh penekanan.

"Iya gue pegang kata-kata gue, kok."

"Semoga gue bisa percaya sama lo," Jawab Via sambil menarik tangan Nidya dan berlalu meninggalkan Dio di dalam kelas.

Flashback off.

Yah, begitulah sepenggal pengalaman Via sewaktu SMP.

avataravatar
Next chapter