18 Tidak Ada Kesempatan

"Win, tolong jangan mendekatinya," pinta Lin.

"Hm? Maksud kamu?"

"Pa—gi ini, W—wat ada kuis. Dia harus segera ke kelasnya," ujar Lin membantu Wat untuk menghindar dari Win.

"Masuk sesi masih satu jam lagi, Lin … aku hanya ingin bicara sebentar saja dengannya," ujar Win, mengutarakan maksudnya.

"Tapi pagi ini aku ingin sarapan bersama dengan Wat," ujarnya dengan lantang.

Lin merangkul tangan Wat dan mendekatkan tubuhnya pada pria itu.

"Kamu janji kalau kita akan sarapan bersama, bukan?"

Wat membesarkan matanya, mengangguk dan memberikan senyum sumringahnya kepada Lin.

"Iya … aku tidak lupa kok, Lin …," balas Wat, membuat geger para mahasiswi yang menyaksikannya.

"Win … kami … dulu—"

"Apa hubunganmu dengan Wat, Lin?" tanya Win memotong omongan dan juga menahan Lin dengan menarik lengan tangan Lin, pelan.

Lin diam, menoleh pada Wat, berharap suaminya memberikan jawaban kepada Win, agar pria itu tidak lagi curiga.

"Lin … adalah pasanganku," jawab Wat, menepis tangan Wat dari lengan Lin.

Keduanya berlalu usai membuat seluruh mahasiswa yang menyaksikannya panik.

Wanita cantik yang sedang digemari mahasiswa di kampus itu, ternyata adalah pasangan dari Wat, pria paling tampan dan juga mahasiswa baru yang paling terkenal di kampusnya.

Pasangan yang sangat serasi dan juga banyak sekali menimbulkan kontroversi.

***

"Maaf," ucap Lin, ketika Wat sedang mengantarnya menuju ke gedung perkuliahan, ibu dua anak itu.

"Maaf untuk?"

"Karena tadi—"

"Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Lin. Terima kasih, ya …."

Wat mengutarakannya dengan menggapai tangan Lin, menggenggamnya.

Jantung Lin seolah berhenti berdetak, darahnya tak lagi mengalir. Ia seolah mati karena genggaman tangan Wat yang membuatnya hanya bisa merasakan cinta. Ya … Lin yang begitu mencintainya berharap, apa yang dilakukan dan dikatakan Wat hari ini tidak hanya sekedar mencari aman saja.

Lin melepas genggaman tangan Wat dan kemudian berlari kecil masuk ke dalam kelasnya. Tidak lupa ia kembali menoleh pada Wat sejenak, untuk melambaikan tangan dan memberikan salam perpisahan.

Ia menunggu Wat berlalu dan memandang punggung tegap sang suami yang menjauh dan hilang dari pandangan. Lin tersenyum dan berbalik badan. Ia kaget, melihat ekspresi teman-teman kelasnya yang seolah bersiap ingin menggodanya.

"Lin … ternyata ya … aku sudah menduganya sejak di lapangan kemarin," ucap Ran dengan seruan yang membuat seisi kelas menjadi heboh.

Tidak dapat ditutupi lagi, pipi Lin mendadak memerah dan ia menjadi malu.

"Lin … keren sekali … kamu kenal dengan Wat di mana?"

"Lin … kamu sudah berapa lama menjadi pasangan Wat?"

"Siapa yang mendekati lebih dulu, Lin?"

Rentetan pertanyaan diajukan untuk Lin. Bukan hanya banyak bertanya, mereka juga memburu Lin dan tidak memberikan kesempatan pada Lin untuk mengambil tempat duduk lebih dulu.

Sementara itu, Wat tetap saja tidak bisa masuk ke dalam kelasnya. Win lagi-lagi menunggunya di depan mading dan jelas menahan Wat.

"Ada apa?" tanya Wat.

"Kita bolos satu hari. Aku perlu bicara denganmu," ujar Win.

Wat membuang pandangannya dan menghela napas dengan mendengus.

"Wat!"

"Iya-iya … ayo ke parkiran," ajak Wat, berlalu lebih dulu.

Mereka menuju ke parkiran, tepatnya masuk ke dalam mobil Wat.

Raut Win sama sekali tidak enak dipandang, namun ia tetap menurut saja.

"Pakai seat belt kamu, Win," perintah Wat dengan raut kesalnya.

"Kita mau kemana? Bicara di sini saja," balas Win.

Wat mendekat pada Win. Tangannya meraih set belt di sisi kiri Win. Mata mereka saling bertemu, menatap satu dengan yang lain.

Tanpa kerjapan mata, keduanya menatap semakin dalam. Win menelan salivanya, melihat mata indah Wat yang semakin sayu … seolah menatapnya penuh arti.

"Wat, a—aku … pakai sendiri saja," ujar Win, terlihat sangat gugup.

Tangan Wat melepas seat belt itu begitu saja, setelah Win meraih dan memasangnya sendiri.

Wat kembali ke posisi awalnya, berada di belakang kemudi dan mulai menginjak pedal gas, untuk mengemudikan mobilnya, berlalu dari area kampus.

"Kemana kita akan pergi?" tanya Win.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Wat balik bertanya, tanpa menjawab petanyaan dari Win.

"W—wat … apa benar, kamu dan Lin memiliki hubungan?" tanya Win, lagi-lagi mempertanyakan hal itu.

"Win … apa yang kamu inginkan? Aku pikir, kamu tidak sama seperti yang lain. Tidak menanyakan hal ini. Bedanya dengan mereka … kamu berada di pihak Lin."

"Pihak Lin?" tanya Win, dengan dahi yang menyerngit.

"Iya. Kamu menyukainya, bukan?"

Win terkekeh dengan menggelengkan kepalanya.

"Segera cari tempat untuk menepikan mobil, karena ada yang ingin aku tanyakan padamu," pinta Win.

Bibir Wat merengut dan mengangguk, sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari lokasi untuk parkir.

Wat melirik Win yang sedang memainkan ponsel dan Wat memutuskan untuk menepikan mobilnya di depan kafe.

"Sudah. Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Wat, menagihnya pada Win.

Win menunjukkan ponselnya pada Wat, bahkan memberikannya, agar Wat bisa melihatnya dengan jelas.

"Tolong jelaskan apa maksud foto di slide terakhir," pinta Win.

Wat diam, melihat media sosial miliknya yang sedang di geledah oleh Win. Ia melihat foto yang diposting olehnya, dimana di slide terakhir adalah foto kamar pria yang ia kejar selama ini … dan pria itu adalah Win.

"Kamu pura-pura tidak tahu atau masih butuh penjelasan?" tanya Wat, mengembalikan ponselnya pada Win.

"Wat … yang di kantin saat itu … benar kamu?" tanya Win.

"Maksud kamu?"

"Aku mengingatnya dengan jelas … tapi saat itu … aku sedang berduka … dan tidak ada lagi pikiranku untuk berkenalan denganmu … meski pesonamu membuatku tertarik," tutur Win, dengan mata berbinar.

Mata Wat membesar, cukup kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Win.

"Sekarang aku ingin mencintai seorang wanita, Wat … dan wanita yang aku pilih adalah Lin. Bukan yang lain dan tidak ingin yang lain. Sepertinya … aku tidak akan memberikan kesempatan pada hatiku, untuk mencitai pria lagi."

***

Praaaang !!!

"Kamu jalan pakai mata! Ada orang di hadapanmu, masih saja ditabrak?!" seru June yang tidak sengaja tertabrak oleh Lin dan dengan kesal June membanting piring yang sedang dipegang oleh Lin.

"June! Sudahlah!" tegur Mario, menghampiri June dan menahannya.

"Dia selalu saja mencari masalah denganku, Mario. Kamu tidak perlu membelanya."

"June … sudahlah …. ayo kita pergi dan mengalah saja," ujar Tom, menyahutinya.

"Kalian berdua kenapa?! Kenapa menahanku untuk memberinya pelajaran?! Ini semua jelas salahnya! Dia sengaja—"

"Aku tidak sengaja, June! Kenapa kamu selalu mencari masalah denganku, June?"

"Apa?! Aku mencari masalah denganmu?! Kamu yang mencari masalah denganku!" pekik June mendorong bahu Lin.

"Bilang saja kalau kamu cemburu dan tidak ada kesempatan lagi untuk mendekati Wat! Iya, bukan?!"

avataravatar
Next chapter