10 Pria Itu ....

"Kamu kuliah? Tanpa sepengetahuanku?" tanya Wat.

Lin kini menatap Wat yang terlihat begitu marah padanya.

"Marahlah padaku … bukankah kamu pernah bilang, tidak akan membatasi gerakku?" tutur Lin.

"Tapi—"

"Tapi kuliah ini adalah salah satu impianku, Wat. Andai kamu tidak menikahiku saat itu, kini aku sudah berada di semester atas, bukan seorang mahasiswa baru lagi," sahut Lin, berbicara seolah melawan Wat.

"Lin … aku juga harus menunda kuliahku. Itu karena apa, karena menunggu kamu melahirkan."

"Oh, jadi sekarang kamu menyesal karena ada Pin dan juga Nas, iya?!"

***

Lin keluar dari bajaj, usai memberikan sejumlah uang sebagai tarifnya. Ia tersenyum lega, hari ini dirinya resmi menjadi mahasiswa baru di kampus impiannya. Lin melangkahkan kakinya dengan melenggang, menikmati paginya, yang selalu ia sambut dengan suka cita.

Tin tin!

Terdengar klakson mobil yang lewat.

Lin diam, melihatnya.

Ia merasa poselnya berdering dan membuatnya tergerak untuk mengambil ponsel miliknya dari dalam tas.

Panggilan masuk dari sang suami –Wat-, dimana mobilnya baru saja lewat.

"H—halo?" sapanya.

"Aku melihatmu sedang berjalan. Klakson tadi sebagai sapaan untukmu," ujar Wat.

"Oh … i—iya, aku melihatnya. Terima kasih," tutur Lin.

Ia mengakhiri panggilannya.

Ini juga salah satu alasan, mengapa ia bertahan dengan Wat. Wat masih sempat memberikan perhatian padanya. Tetap saja, Wat adalah pria sempurna bagi Lin.

"Hey!"

Mata Lin membalalak.

Begitu kaget dengan tepukan yang membuyarkan lamunan indahnya.

"Lin? Ini aku, Win."

Lin menoleh, masih memasang raut terkejutnya.

"K—kamu … membuatku kaget, tahu!" gerutu Lin, mengelus dadanya.

"Bagaimana pagi ini?"

"Hm? Pagi ini? Baik … cerah … semangat … bahagia."

Win terkekeh, mendengar jawaban dari Lin yang selalu dijeda di setiap katanya.

"Su—dah … sarapan?" tanya Win.

Lin menjawabnya dengan senyuman terlebih dahulu.

"Sudah," jawabnya kemudian.

"Kamu tidak masalah, bukan, jalan bersamaku?"

"Hmmm, Win … gedung perkuliahan kita cukup jauh. Sebaiknya, kamu—"

"Kita masih OSPEK, Lin … kita masih berkumpul di aula. Yuk!" ajaknya.

Lin menyeringai, malu karena sudah menolak lebih dulu.

"Boleh," balasnya.

***

Wat berdiri di bagian belakang, berkumpul bersama teman-temannya, menghindari tatapan langsung dari kakak pembina OSPEK. Ia terlihat jenuh dan membuat matanya melirik kemana-mana, namun tidak ada satupun yang bisa dianggap sebagai bahan cuci matanya. Hingga akhirnya matanya tertuju pada Lin yang berdiri tepat di sebelah seorang pria yang ditemuinya tempo hari.

'Pria itu ….' gumam Wat mengerutkan dahinya, penasaran.

Matanya terus tertuju pada pria itu, agar saat barisan dibubarkan, ia tidak kehilangan jejaknya.

Namun sungguh disayangkan, tiba-tiba ia ditarik oleh salah satu pembina OSPEK dan diminta untuk ke depan, menghadap seluruh mahasiswa baru yang sedang berbaris.

"Tepat sekali saya menarik kamu. Tampan," ujar kakak pembina itu.

Terdengar deru sorak seluruh mahasiswa yang terpana dengan ketampanan Wat.

"Nama kamu siapa?" tanya kakak pembina, yang menarik dan sedari tadi berada di sebelah Wat.

"W—"

"Water Ionataurus …!!!" seru seluruh mahasiswa khususnya para wanita, menyahut, menjawabnya.

"Semuanya sudah kenal? Hari ini, hari pertaman kuliah … kenapa sudah tahu? Apa karena dia … tampan?" tanya kakak pembina itu lagi.

Kini kakak pembina itu juga terpana oleh ketampanan Wat.

Lalu, bagaimana reaksi Wat?

Masih tetap sama.

Rautnya begitu datar dengan mata yang ia tujukan pada seseorang.

Ya, seseorang yang setiap hari mengisi harinya, tanpa mampu memiliki hati pria pemilik nama lengkap Wat Ionataurus.

'Semoga Lin baik-baik saja,' batinnya berharap kalau sang istri tidak cemburu.

Meski ia sama sekali tidak mencintai Lin, tetapi tetap saja … sebagai suami, sahabat dan juga ayah dari kedua anak Lin, ia tidak ingin melihat Lin terluka.

"Wat … satu pertanyaan untuk kamu," ujar kakak pembina itu, namun Wat masih saja melihat Lin yang juga membalas pandangannya dengan senyuman.

Wat kini menoleh pada kakak itu.

"Apa kamu sudah memiliki pasangan? Ini adalah pertanyaan yang sangat ditunggu oleh seluruh mahasiswa di kampus ini …!" serunya.

Wat menghela napas dan mengusap wajahnya.

Ia kemudian menganggukkan kepalanya.

"Sudah," jawabnya kemudian.

Dengan seketika suasan menjadi sunyi.

Diam, tidak ada satupun yang bersuara. Syok dan juga perasaan kecewa, jelas menyelimuti hati pada wanita yang ada di aula saat itu.

"O—oh … sudah ya … apakah ada di sini, pasanganmu?" tanya kakak pembina itu lagi.

Wat menatapnya, ketus.

"Perkenalan secara pribadi sepertinya tidak perlu dibicarakan di depan umum," ujar Wat.

Semua diam, merasa kalau Wat tidak senang.

"O—oh b—baik … kamu boleh kembali ke barisan," ujar kakak pembina itu merasa tidak enak karena terlalu banyak mengintrogasi Wat.

Wat kembali ke barisan dengan raut yang tidak bersahabat, juga tatapan para mahasiswa yang melihatnya dengan berbagai ekspresi.

***

Wat duduk di dalam mobilnya yang kini sudah berada di luar kampus, di pinggir jalan. Ia menunggu pria yang akhir-akhir ini mengganggu hati dan pikirannya.

Kini matanya tertuju pada seorang wanita, itu Lin.

"Lin?!" ucapnya merasa kalau ia juga harus segera menuju ke rumah mertuanya, untuk menjemput Lin dan kedua anaknya.

Wat memilih diam dan bertahan di dalam mobilnya. Menunggu kemana langkah Lin pergi.

Hingga akhirnya, datang sepeda motor yang menghampirinya dan memberikan helm kepada Lin, itu adalah ojek online yang sepertinya sudah dipesan oleh Lin.

Lin berlalu dengan ojek online tersebut … dan akhirnya Wat memilih untuk menginjak pedal gas pada mobilnya dan melaju menyusul Lin, menjemput Pin dan Nas.

***

Saat malam tiba, keduanya sedang makan malam bersama di sebuah restoran, pastinya dengan kedua anak kembarnya. Wat baru saja mengajak Lin pergi membeli ponsel baru, untuk mengganti ponsel lamanya yang rusak.

Hari ini Lin terlihat begitu sumringah, entah karena apa. Tapi itu membuat Wat menjadi tidak nyaman.

"Ada apa denganmu hari ini, Lin?" tanya Wat, sembari memotong steak yang dipesan olehnya untuk menu makan malam.

"Hm? Aku? A—aku baik-baik saja," jawab Lin heran, mengapa tiba-tiba suaminya bertanya seperti itu. "Kamu sendiri bagaimana? Seluruh kampus sudah tahu kalau mahasiswa baru yang tampan ini, sudah memiliki pasangan," balas Lin.

"Ah, itu … hanya sekedar kiasan saja. Agar mereka tidak terlalu ribut, Lin," jawab Wat.

"Ouh …."

Lin terlihat kecewa.

"Kamu juga cantik … pasti sudah ada bukan, yang mendekatimu?" Wat balik bertanya. "Tetap prioritaskan anak-anak ya …," ujar Wat dengan senyuman.

"M—maksud kamu apa, Wat? Tidak ada pria manapun. Hanya kamu, satu, suami dan papanya anak-anak," tutur Lin, berkata terus terang.

"Jika aku bilang, kalau aku melihatnya, bagaimana?"

"S—siapa?"

"Pria itu …."

avataravatar
Next chapter