8 Pertemuan

"Adanya kamu dan si kembar, akan menjadi penyemangat saat aku kuliah nanti."

Lin tidak sanggup lagi menahannya. Ia ingin melepas seluruh gejolak yang ditahannya selama ini.

Lin menarik tengkuk Wat pelan, kakinya jinjit hingga berhasil bibirnya bertemu dengan bibir Wat.

Ia mengecupnya sesaat, kemudian melepasnya dan menatap mata Wat.

Wat menganggukan kepalanya, memberikan lampu hijau pada sang istri.

Lin menutup kedua matanya, kembali meraih bibir Wat dan melumat bagian bawahnya, begitu lembut dengan tempo yang teratur.

***

Lin duduk di tepi tempat tidur, sesekali ia tersenyum mengingat ciumannya dengan Wat di romantic night yang Wat berikan olehnya.

Ting!

Ponselnya berbunyi, sebuah pemberitahuan dari situs website yang sedang ia tunggu.

Lin segera membuka pemberitahuan tersebut.

Mata Lin membesar, terlihat begitu takjub.

Cklek

Pintu kamarnya dibuka, Wat masuk ke dalam.

Ia mengerutkan dahinya, melihat sang istri yang terlihat sumringah sembari memandangi ponselnya.

"Ada apa?" tanya Wat menghampiri Lin, duduk di sebelahnya.

"Hm? T—tidak apa-apa kok," jawab Lin.

"Kamu kenapa tersenyum seperti itu memandangi ponsel. Apa ada yang lucu?"

"Oh … t—tidak Wat … ini, a—adikku," jelasnya, tidak berterus terang.

"Oh … hmmm kemungkinan lusa aku ke kampus untuk daftar ulang, setelah itu aku berencana untuk bertemu dengan teman-teman, tidak lama. Tapi kamu tidak perlu menungguku untuk makan siang," ujar Wat.

Lin mengangguk dengan menatap mata Wat yang sedang meyankinkannya.

"Baiklah," balas Lin.

Wat memilih untuk naik ke atas tempat tidurnya dan mendahului Lin untuk beristirahat.

Lin melirik, melihat Wat yang sudah tidur memunggunginya.

'Wat … aku juga ingin kuliah, sama sepertimu. Kita kuliah beda shift ya … agar bisa gantian menjaga si kembar,' gumam Lin dalam hatinya.

***

"Wat tahu?"

Lin membulatkan matanya, mengangguk dengan meringis.

"Yasudah, Pin dan Nas ditinggal sama mama saja di rumah. Kamu kuliah yang benar, ya …."

"Terima kasih ma … kalau begitu, Lin langsung ke kampus ya ma. Hari ini terakhir daftar ulang," tutur Lin.

Sang mama tersenyum sembari menggendong Nas, sementara Pin sudah digendong lebih dulu oleh kakeknya –Khiel-.

Usai menitipkan twins kepada orang tuanya, Lin segera bergegas pergi menuju ke kampus yang akan menjadi tempat ia menimba ilmu selama empat tahun kedepan.

Lin pergi ke kampus tersebut dengan menggunakan bajaj.

Ia keluar dari bajaj tersebut, usai memberikan sejumlah uang kepada sopir angkutan umum dengan harga ekonomis tersebut. Lin menatap kagum, pada kampus yang bisa ia masuki tanpa melalui jalur tes, sama dengan sang suami yang masuk ke kampus tersebut tanpa mengikuti jalur tes. Tidak perlu diragukan lagi, keduanya bukan hanya bersahabat saat masih sekolah, tetapi juga saingan dalam memperebutkan posisi juara di kelas, maupun di sekolah. Tetapi Wat, yang pada akhirnya mendapatkan juara umum di sekolahnya.

Kaki Lin melangkah memasuki pintu gerbang yang besar, dimana kini banyak sekali orang berlalu lalang, sepertinya mereka sama sepertinya, mahasiswa baru yang akan mendaftar ulang.

Lin tersenyum sembari memegangi ponselnya, membuat video, untuk koleksi pribadinya sebagai cerita, kalau ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di kampus nomor satu di kota tempat tinggalnya.

Bugh!

Praaaak!

Seseorang menabraknya dan membuat ponsel milik Lin jatuh.

"Aduh!" gerutu Lin yang hampir terjatuh. "Hah! handphone ku!" serunya dengan segera mengambil ponselnya yang terbanting jauh.

Lin melihat layar pada ponselnya yang retak dan mungkin lebih masuk dalam kategori hancur. Ia menekan tombol power pada ponselnya.

"Huft … untung saja masih bisa hidup," ujarnya lega.

"Maaf! a—ku tidak sengaja," terdengar suara seseorang dari belakang dan membuat Lin berbalik badan untuk memastikannya.

Lin memandangnya datar. Sebenarnya ia marah, karena pria itu sudah membuat ponselnya jatuh sehingga meretakkan bagian layarnya.

"Maaf … aku benar-benar tidak semgaja. Tadi aku mendapat telpon, jadi aku tidak memperhatikan jalan," ujar pria itu lagi.

"Tidak masalah," balas Lin masih dengan wajah datarnya.

"Yang benar. Aku lihat ponselmu, ya …."

"Tidak perlu. A—ku bisa membelinya lagi nanti. Lagipula, ini masih bisa dipakai kok," imbuh Lin.

"Aku benar-benar menyesal …."

"Tidak masalah … ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus ini dan aku sangat bahagia. Jadi … aku terima permintaan maafmu."

Mata pria itu membesar melihat Lin yang sudah menunjukkan senyumnya. Ia membalasnya dengan senyum yang begitu sumringah.

"Terima kasih … ternyata hatimu secantik rupa yang kamu miliki," tutur pria itu.

"Oh … terima kasih … ini hal biasa, tidak perlu berlebihan."

Pria itu menyeringai, mengulurkan tangannya pada Lin.

"Win, Win Archivitae," ujar pria itu memperkenalkan dirinya.

"O—oh … a—aku Lin. Lin Kalvinaceka," balas Lin dengan menjabat uluran tangan dari pria bernama Win.

"Kita jalan bersama ke dalam, kalau begitu," ucap Win.

"Oh, iya … mari …."

Keduanya berjalan bersama, berdampingan. Berbincang mengenai bagaimana dan dengan jalur apa, hingga dinyatakan diterima sebagai mahasiswa di kampus itu.

Lin dan Win benar, mereka adalah mahasiswa baru yang sama-sama akan mendaftar ulang kuliahnya, tetapi mereka berada di jurusan yang berbeda.

Win, dengan kesediaannya mengantar Lin menuju ke gedung perkuliahannya untuk melakukan pendaftaran ulang.

"Ummm, Win … terima kasih ya. A—ku duluan kalau begitu."

Win tersenyum dan mengangguk.

"Iya, silakan," balas Lin.

Lin melambaikan tangannya dan berlalu, tanpa menoleh lagi pada Win, yang masih berdiri di posisinya semula.

'Andai aku bisa mencintai wanita seperti Lin. Sangat cantik dan juga murah hati,' batinnya masih memandang punggung Lin yang berlalu semakin jauh. 'Aku harus belajar mencintai seorang wanita. Ya, harus!' batinnya bertekad untuk mendekati Lin.

Sementara itu, di sisi lain Wat sedang berkumpul dengan teman-teman barunya di kampus, usai melakukan pendaftaran ulang.

"Wat, hari pertama masuk kuliah, aku jamin pasti kamu akan dapat banyak surat untuk meminta kontak ataupun menanyakan media sosialmu," ujar Mario, teman baru Wat.

"Sepertinya kamu harus berpura-pura memiliki seorang kekasih, Wat. Agar tidak ada yang mengusikmu," timpal June, yang juga ikut bergabung dengan Wat.

"Ah, itu maunya kamu, supaya Wat pacaran dengan kamu, begitu bukan?" sahut Tom.

"Aku bicara dengan Wat, bukan denganmu."

"Hey hey, sudahlah … orang yang bersangkutan juga tidak berkomentar apapun," timpal Mario.

"Wat … kamu kenapa diam saja sejak tadi?" tanya Tom. "Wat?!"

Wat tersentak masih dengan ketampanan dan juga sikap sempurnanya. Ia hanya menggelengkan kepalanya, kemudian kembali memalingkan pandangannya, melihat seseorang yang sejak tadi sedang ia perhatikan.

"Kamu lihat siapa, Wat?" tanya Tom lagi.

Mata Wat terus memperhatikan seseorang yang mengingatkannya pada seseorang.

"Wat?!"

Mata Wat membesar, ia beranjak dari tempat duduknya.

avataravatar
Next chapter