2 Dua Garis Merah

"Lin … menikahlah denganku … s—siapa tahu, nanti aku bisa jatuh cinta padamu," ujar Wat.

"Wat … ya, aku bersedia."

Rona merah tampak jelas di pipi Lin. Hari ini, ia memutuskan untuk menerima lamaran dari sahabat yang sudah disukainya sejak lama. Ia percaya, Tuhan selalu memberikan kejutan kepada setiap hamba-Nya yang sabar dan pasrah, tanpa banyak mengeluh dengan rentetan permintaan. Lin hanya meminta dan berdoa, 'aku mencintai dia yang tidak mencintaiku. Ku serahkan segalanya padamu, Tuhan. Berikan yang terbaik untuk jodohku', tidak salah lagi, doa nya benar-benar terwujud.

***

"Di hadapan Tuhan, orang tua dan para saksi, saya Water Ionataurus, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Lin Kalvinaceka, menjadi istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung maupun malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka dengan baik."

Sebuah janji pernikahan telah diucapkan oleh Wat, dengan balasan yang sama dari Lin, dimana Lin Kalvinaceka bersedia menjadi istrinya.

Cincin titanium dengan sempurna melingkar di jari manis Lin dan Wat. Keduanya saling menatap serta mengumbar senyum. Wat mengangkat jari manisnya, bersamaan dengan tangan Lin yang juga seolah menunjukkan kalau mereka telah resmi menjadi pasangan suami istri.

Ucap syukur terdengar seperti bergemuruh dengan tangis haru yang menghiasi. Lin dan Wat kini saling berhadapan, menatap satu sama lain, menunjukkan kebahagiaannya di hari ini. Dimana usia mereka yang belum genap dua puluh tahun, sudah menikah dan akan menjalani hari bersama, selamanya, hingga akhir hayat.

Wat sedikit membungkuk, memberi kode pada Lin kalau ia ingin mencumbu bibir sang istri, sebagai bentuk cinta dan kasih sayangnya, dengan hati yang tulus, sebagaimana Lin menerima Wat menjadi pendamping hidupnya.

Bibir mereka saling bertemu, memagut lembut dan diiringi sorak yang menjadikan suasana semakin haru dan membuat seluruh keluarga dan juga tamu yang berada di tempat itu, menjadi terbawa suasana dan turut bahagia.

***

Pernikahannya digelar secara out door, dengan hijaunya rumput jepang yang terbentang luas dan aneka ragam bunga di setiap titik tempat tersebut.

Gaun putih tanpa ekor yang dipakai Lin memang sangat cocok untuk pernikahan bernuansa taman bunga. Dengan bucket bunga yang dipegangnya sejak tadi, ia hanya diam dan selalu berada di sisi Wat.

"Kamu kenapa? Sejak tadi aku perhatikan, kamu hanya diam saja," bisik Wat.

"Ummm … tamunya banyak sekali … aku hampir tidak mengenal semuanya," balas Lin, juga berbisik.

"Rekan bisnis ayah. Kalau seperti ini, kita hanya bisa bersalaman dan mengumbar senyum saja. Karena kita juga sama sekali tidak mengundang teman satu sekolah, bukan?"

Lin lagi-lagi hanya tersenyum, mencoba menikmati suasana di acara pernikahannya sendiri, yang terasa begitu asing.

Mata Lin tertuju pada keluarganya, yang hanya berkumpul di satu meja dan semuanya terlihat sedang bersenda gurau di sana. Ia senang, melihat keluarganya bahagia seperti itu. Meskipun kebahagiaan mereka karena kebahagiaan Lin, yang sebenarnya Lin tidak tahu, apakah bahagia itu akan hadir untuknya.

***

Diam.

Lin dan Wat hanya diam duduk di tepi tempat tidur. Keduanya sama-sama tidak saling menoleh dan berbicara.

"…."

Benar-benar hening.

"I—ini, malam pertama, kah?" tanya Wat, terlihat gugup.

"Kalau tidak bisa malam ini, juga tidak apa-apa," balas Lin, tersenyum namun tidak menoleh pada suaminya.

Wat melihat Lin yang hanya menunduk. Ia menggeser tempat duduknya, menjadi bersebelahan dengan Lin.

"Kita bicara dulu, bagaimana?"

***

07.00 am at Albany, New York

Tok tok tok

"Lin …."

Tok tok tok

Wat lagi-lagi mengetuk pintu kamar mandi sembari memanggil sang istri.

"Bagaima, Lin?" tanya Wat yang sejak tadi menunggu sang istri di depan pintu kamar mandi.

Cklek

Pintu kamar mandi perlahan terbuka, Lin keluar dengan wajah tanpa ekspresi, melangkah menghampiri Wat dan memberikan alat tes kehamilan yang baru saja selesai ia uji coba.

"B—bagaimana?" tanya Wat sembari menerima tespack tersebut.

Wat melihatnya, ia memutar dan membaliknya. Seolah tidak paham bagaimana maksudnya.

"Ini bagaimana, Lin? A—aku tidak paham dengan dua garis merah ini," tuturnya bingung.

"Itu tandanya aku hamil, Wat …."

"Hamil? Yang benar?"

Lin tersenyum dengan kepala mengangguk.

Terlihat juga senyum bahagia yang ditunjukkan dengan jelas oleh Wat. Betapa senang dan terharunya ia, tidak akan lama lagi Water Ionataurus akan menjadi seorang ayah.

"Terima kasih, Lin … sudah memberiku anak," ujar Wat memegang kedua bahu istrinya.

Lin tersenyum, begitu manis.

Tengkuknya ditarik pelan dan pria itu segera mendekap tubuh sang istri, begitu erat sehingga membuatnya menjadi hangat.

"Sama-sama, Wat."

***

Lin diam, memegangi hasil USG kandungannya. Ia tidak menyangka kalau janin di dalam rahimnya ada dua. Dari keluarga inti kedua belah pihak, tidak ada keturunan kembar, hanya saja Lin memiliki sepupu yang kembar, namun ia juga sudah tidak mengetahui di mana keberadaannya.

"Ada apa, Lin?" tanya Wat.

"Ah … a—aku hanya tidak menyangka. Kalau … anak kita—"

"Kembar?"

Lin membesarkan matanya, mengangguk. Ia menatap sang suami yang sedang fokus menyetir dan sama sekali tidak menoleh kepadanya.

"Salah satu dari keluarga besar ayahku ada yang kembar, kamu tidak perlu khawatir," tutur Wat.

"Oh! S—sama kalau begitu. Sepupuku juga ada yang kembar kok."

Wat tersenyum, tangan kanannya mengusap pelan kepala Lin.

"Kamu … lalu apa yang membuatmu bingung?"

"Kita berada di luar negeri dan hanya berdua saja. B—bagaimana, ka—lau ada sesuatu, yang—"

"Aku yang akan menjagamu," timpal Wat kali ini menoleh pada Lin, walau hanya sejenak. "Aku akan menjadi suami siaga untuk kamu, Lin."

Blush on di pipi Lin semakin terlihat merona karena sentuhan sayang dari Wat. Bukan jarang lagi, tetapi hampir tidak pernah dilakukan oleh Wat. Pria dingin yang lebih mementingkan dirinya sendiri itu hampir tidak pernah bertegur sapa dengan Lin. Ia terlalu asyik dengan dunia nya dan urusan perkuliahan yang akan dimulai tahun depan, setelah Lin melahirkan.

Sementara Lin, lebih sering berpergian untuk menghilangkan suntuk karena ia harus merasakan hidupnya yang seperti sebatang kara. Meski Wat memang selalu ada untuknya, tapi Wat tidak pernah menganggap istrinya ada.

"Wat?" panggil Lin, dengan nada yang begitu lembut.

"Hm? Ada apa, Lin?"

"Boleh aku meminta satu permintaan padamu?" tanya Lin.

"Boleh saja," balasnya tanpa menoleh pada Lin.

"Bukan aku yang memintanya, tapi … saat kamu mengusap kepalaku, tadi itu … a—ku merasa ada feedback dari dalam perutku," ujar Lin.

"Serius?"

Lin mengangguk, cemas kalau suaminya tidak akan setuju.

Wat tersenyum dan melakukan hal itu lagi, megusap lembut kepala Lin.

"Kalau anak kita senang aku melakukan hal ini, aku akan melakukannya setiap saat, Lin."

avataravatar
Next chapter