27 Cobalah Mengerti

"Sudah?" tanya Mario.

Lin mengangguk, terlihat begitu senang.

"Sudah. Hasil video nya juga bagus," jawab Lin.

Kini Lin menoleh pada Tom yang sedang memainkan ponselnya sembari tersenyum sendiri.

"Tom … terima kasih, ya … sudah membantuku," ujar Lin dengan malu, karena ia tidak mau mewawancarai Tom sekaligus.

Tom menoleh pada Lin, sinis.

Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Lin.

"Sebagai gantinya … bagaimana kalau kita kencan."

Deg!

Lin diam.

Bukan hanya Lin saja yang diam. Wat dan Mario juga sama!

Tangan Wat menarik bahu Lin, mundur. Menjauh dari hadapan Tom.

Wat membiarkan Lin berada dibalik punggungnya.

Tom memasang wajah tidak senangnya, terlihat seperti menantang Wat.

"Maksudmu apa?"

Braaaak …!!!

Wat dengan kesal memukul meja kantin yang berada tepat di hadapannya.

"Wat, sudah …," pinta Lin menahan dada suaminya, agar tidak terpancing emosi.

"Santai saja, Wat. Lin itu bukan pasanganmu, siapa saja bisa mendapatkannya, sama seperti kamu yang lajang dan bisa saja dimiliki oleh wanita manapun."

Mata Wat beralih pada sosok pria yang melihatnya dari kejauhan.

Tangannya semakin kuat dikepal ketika melihat raut kecewa Win yang terus memandanginya dari jauh.

Wat mengangguk, kini menoleh pada Tom.

"Ya … aku dan Lin memang tidak ada hubungan. Dia adalah sahabatku sejak kecil dan aku terlalu memonopolinya selama ini. Sekarang … silakan saja … siapa saja bisa mendekatinya," balas Wat.

Sungguh diluar dugaan, Wat akan melepas Lin begitu saja.

Hatinya benar-benar goyah ketika melihat Win yang seolah memberi kode kalau ia kecewa jika Wat terus-terusan dekat dengan Lin, membela dan juga melindunginya.

'Lin, maafkan aku,' batin Wat merasa begitu bersalah pada sang istri yang kini menatapnya dengan penuh heran, disertai rasa kecewa.

"Tidak perlu kamu berkata seperti itu," ujar Lin.

"Lin—"

"Lebih baik aku sendiri, Wat!" ujar Lin dengan nada tinggi dan berlalu dengan menabrakkan tubuhnya pada lengan Wat, menandakan kalau ia benar-benar marah dan kesal.

"Lin," panggil Wat. "Lin …!"

Sayangnya, Lin sama sekali tidak menoleh lagi padanya.

"Kamu memang benar hanya mempermainkannya, ya." tutur Tom.

"Diam kamu!"

"Wat … Wat … Tom hanya ingin melihat reaksi kamu saja jika Lin digoda," ujar Mario, kemudian mendekat pada Wat. "Tapi sepertinya, pria di ujung sana lebih menarik dari pada Lin. Sehingga membuatmu bisa dengan tega membuat Lin kecewa," lanjutnya berbisik tepat di telinga Wat.

Wat diam, membesarkan matanya.

Ternyata Mario memperhatikannya. Mario tahu kalau ia menyukai Win, pria yang akhir-akhir ini kerap terlihat bersamanya.

"Wat … kalau kamu memang menginginkannya, setidaknya jangan mempermainkan Lin. Sepertinya ia jadi salah paham. Jangan sampai Lin juga menjadi seperti June. June yang kecewa saat tahu kalau Lin adalah pasanganmu," timpal Tom.

"Dan juga … jika yang kamu suka pria di sana … tidak perlu berpura-pura mendekati Lin untuk menutupi statusmu," lanjut Mario. "Kejarlah, ia baru saja pergi."

***

"Win, tunggu!" panggil Wat.

Win menghentikan langkahnya, jelas segera menoleh saat mendengar yang memanggilnya adalah Wat.

"Ada apa?" tanya Win ketus.

"Kamu kenapa?" Wat balik bertanya, heran dengan raut dan nada suara Win yang begitu ketus terhadapnya.

"A—aku baik-baik saja," jawab Win gagap.

Wat tersenyum, memberikan elusan di kepala Win.

"Tadi siang aku melihatmu di kantin," ujar Wat.

"Lalu?"

"Aku tidak melihat lagi saat kamu pergi," lanjut Wat, kin tangannya sudah dilipat dia atas perut.

"Kamu terlalu asyik dengan Lin," balas Win dengan mengalihkan matanya.

"Kamu kenapa, Win?" tanya Wat lagi, terus saja menggoda Win.

"Aku baik-baik saja."

"Kamu ini … cemburu karena aku mendekati Lin atau karena Lin mendekati aku?" tanya Wat, menyondongkan tubuhnya ke depan, menunggu jawaban dari Win.

"Kedua pertanyaan itu, sama artinya," balas Win, belum menjawabnya.

"Kamu cemburu padaku … atau pada Lin?" Wat memperjelas pertanyaannya.

Win menggelengkan kepalanya dan memilih untuk berlalu.

"Cobalah mengerti, Win … pahami situasinya," ujar Wat dan lagi-lagi membuat Win menghentikan langkahnya.

Wat melangkah maju dan kini berdiri tepat di belakang Win.

"Cobalah mengerti, Win … please …," bisik Wat memohon pada Win.

"…"

Win hanya diam dan Wat tetap menunggu jawaban dari pria itu,

"Win?"

"Hm?"

"Hm, apa?"

"Iya, Wat …."

"Iya, apa?"

"Iya, aku akan mengerti dan akan terus mencoba mengerti untuk kamu," tutur Win kemudian menggelengkan kepalanya dan kembali meneruskan langkahnya.

Sementara Wat masih diam di tempat, dengan senyuman dan gelengan kepala, yang menandakan kalau ia cukup senang dengan jawaban Win.

"Win! Aku akan mengantarmu pulang!" seru Wat kemudian mengejar langkah Win yang belum begitu jauh.

***

Sepi.

Makan malam kali ini benar-benar hampa.

Usai memasak untuk makan malam, Lin kembali ke kamar Pin dan Nas, meninggalkan Wat seorang diri dan juga membiarkan suaminya itu makan malam sendirian.

Wat tidak bisa seperti itu.

Ia memilih untuk menutup kembali piringnya dan beranjak menuju ke kamar twins.

Glek!

Pintu kamar anak-anaknya dikunci oleh Lin. Itu tandanya Lin masih marah dan kecewa karena kejadian di kampus, tadi siang.

"Lin … buka pintunya. Aku ingin masuk dan melihat anak-anak kita," ujar Wat yang terus-terusan mengetuk pintu kamar tersebut.

Tidak perlu menunggu lama, pintu kamar itu segera dibuka oleh Lin.

Wat jelas merasa lega, apalagi melihat istrinya yang dengan tenang sedang menidurkan kedua anak mereka. Wat tersenyum dan duduk di belakang Lin, meraih pinggang Lin, memeluknya dari belakang.

"Aku sedang menidurkan Nas, tolong jangan seperti ini," pinta Lin dengan begitu dingin.

Deg!

Wat merasa kalau istrinya masih marah padanya.

Wat melepaskan tangannya dari pinggang Lin dan kini ia memilih menyandarkan kepalanya di bahu Lin.

"Lin, apa kamu masih marah kepadaku?" tanya Wat.

"Bicaranya nanti saja, ya," balas Lin tanpa menjawab pertanyaan dari Wat.

"Lin … maafkan aku. Cobalah mengerti untuk situasi kita sekarang ini," lanjut Wat, tidak peduli dengan permintaan Lin.

"Wat—"

"Kita ini masih mahasiswa muda yang belum memiliki taring di kampus. Kita juga tidak bisa menunjukkan hubungan suami istri kita dihadapan teman-teman, apalagi para dosen," lanjut Wat.

"Dengan membuat aku malu seperti tadi?" tanya Lin, benar, jelas kecewa dengan ucapan Wat saat di kampus, tepatnya di kantin, usai melakukan wawancara.

"Aku tidak berniat membuatmu malu. Hanya saja, jika status kamu bukanlah pasanganku, kamu bisa dengan bebas mendekati pria lagi, Lin …."

"Tapi aku tidak butuh itu. Jika tidak bersamamu, aku bisa menjalani hariku seorang diri," balas Lin. "Atau ada seseorang yang sedang kamu incar, sehingga membuatmu berkata demikian?"

"T—tidak Lin, tidak … tolong percaya padaku … cobalah mengerti, Lin … aku benar-benar minta maaf …."

avataravatar
Next chapter