3 Apa yang Terjadi Dengan Lin?

"Wat?" panggil Lin, dengan nada yang begitu lembut.

"Hm? Ada apa, Lin?"

"Boleh aku meminta satu permintaan padamu?" tanya Lin.

"Boleh saja," balasnya tanpa menoleh pada Lin.

"Bukan aku yang memintanya, tapi … saat kamu mengusap kepalaku, tadi itu … a—ku merasa ada feedback dari dalam perutku," ujar Lin.

"Serius?"

Lin mengangguk, cemas kalau suaminya tidak akan setuju.

Wat tersenyum dan melakukan hal itu lagi, megusap lembut kepala Lin.

"Kalau anak kita senang aku melakukan hal ini, aku akan melakukannya setiap saat, Lin."

Lin memberikan senyum terindahnya kepada Wat. Ia benar-benar senang mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Meski ia tahu, kalau Wat melakukan semua itu semata-mata hanya untuk anaknya, tapi setidaknya Wat benar-benar menaruh perhatian padanya.

"Terima kasih, Wat. Mereka pasti akan senang."

***

Lin berdiri menghadap ke cermin yang ada di lemari pakaiannya. Melihat tubuhnya dari samping, yang sama sekali sudah tidak terlihat seksi lagi. Ia mendengus, mengeluh atas perutnya yang membuncit dan juga bagian paha yang membesar.

"Sedang apa?" tanya Wat, datang sembari membawakan segelas susu untuk sang istri.

"Tubuhku semakin besar ya," tuturnya, sembari menunjukkan perut buncitnya.

Wat tersenyum dan memberikan susu tersebut kepada Lin. Kemudian ia membungkuk, menghadap ke perut istrinya, sembari memberi usapan lembut di sana.

"Anak-anak papa … jangan menyusahkan mama ya … kalian di dalam jangan bertengkar, kasihan mama harus menahan sakit," ujar Wat, kemudian meninggalkan kecupan untuk anak-anaknya yang masih di dalam rahim Lin.

"Anak-anak kita sangat nurut padamu. A—aku berharap … saat dewasa nanti, ia bisa mengambil langkah bijak," imbuh Lin, tersenyum sendu.

"Dan aku harap, mereka seperti mamanya saja. Jangan mengikuti langkahku, jangan pernah."

Lin lagi-lagi hanya mengumbar senyum, menandakan kalau ia baik-baik saja.

Hamil anak kembar bukanlah mudah. Rasa sakit, tidak enak badan, nyeri di sekujur tubuh, menjadi dua kali lipat. Ditambah lagi beban pada perut dan juga dengan ukuran perut yang dua kali lipat lebih besar dari perut ibu hamil normal.

Lin menarik napasnya, kemudian ia hembuskan. Lin melakukannya berulang kali setiap kali merasa kalau perutnya seperti keram atau anak-anaknya sedang aktif dan terus menendang.

"Sakit?" tanya Wat panik, memegangi perut Lin.

Lin menyeringai, ia menggelengkan kepalanya.

"Mereka menendang saja kok," tuturnya kini meringis, jelas menahan sakitnya.

"Tapi sakit, bukan?"

"Tapi aku senang. Itu tandanya mereka aktif di dalam, Wat. Anak-anak kamu, aktif sekali," ujar Lin sembari menyembunyikan kepalan tangannya di balik punggung.

"Anak kita. Anak kita Lin, bukan hanya anakku saja," imbuh Wat.

Lin lagi-lagi hanya tersenyum menanggapinya.

***

Lin berjalan dengan langkah perlahan, menghampiri kamar sang anak yang sudah dipersiapkan.

Cklek

Lin membuka kamar itu.

Tangannya meraba di dinding dekat dari pintu, mencari stop contact lampu di kamar tersebut.

Ctek

Sesaat kamar itu menjadi terang.

Kamar dengan nuansa alam dengan wallpaper berwarna biru muda di bagian atas, menggambarkan warna langit dan juga biru tua di bagian bawahnya menggambarkan lautan. Serta tempat tidur bayi yang ukurannya besar, karena anaknya kembar. Bukan hanya itu, masih banyak lagi perlatan serta perlengkapan untuk si kembar pengantin.

Menurut hasil USG nya di bulan lalu, Lin mengandung anak kembar pengantin, dimana anak-anaknya berjenis kelamin laki-laki dan juga perempuan.

'Wat kemana ya?' batin Lin bertanya-tanya, suaminya sedang tidak ada di rumah.

Biasanya Wat sama sekali tidak pernah berpergian sendiri. Ia selalu mengajak Lin, kemanapun langkah kakinya keluar dari rumah. Tapi kali ini, Wat pergi sudah cukup lama. Sejak jam makan siang, hingga kini jam 08.00 pm waktu New York.

"Aurgh!" Lin mengerang, merasakan perutnya seperti kontraksi.

Ia diam, memegangi perutnya yang sudah terlihat turun, memang sudah waktunya untuk melahirkan.

Lin melangkahkan kakinya perlahan, keluar dari kamar anak. Dengan tertatih ia menuju ke kamarnya, untuk mengambil ponsel, menghubungi sang suami.

Tes!

Belum juga langkahnya sampai pada pintu kamar, ia merasakan sesuatu keluar dan mengalir di antara kedua kakinya.

Lin meringis, tak sanggup lagi melangkah.

"Huft … huft ...," Lin mengatur napasnya, agar tidak panik.

Rasa nyeri di pinggang dan juga perutnya semakin menjadi. Membuatnya seperti tak sanggup lagi untuk melanjutkan langkahnya.

"W—waaaatt!!!"

***

Wat memarkirkan mobilnya, namun tidak langsung keluar. Ia melepas seat belt dan juga mengambil ponselnya, membalas chat masuk lebih dulu.

Huft …

Wat menghela napas dan keluar dari mobilnya.

Braaak!

Ponselnya tiba-tiba terjatuh.

"Lin?" gumamnya tiba-tiba teringat pada Lin.

Wat menutup pintu mobil dan mengambil ponselnya yang jatuh, kemudian dengan segera mengambil langkah seribu, menuju ke lift, menuju rumah yang terletak di lantai 20, di apartemen yang berada di tengah kota Albany.

Entah kenapa, hatinya sesak, seperti ada rasa tidak enak yang terus menghantui di setiap langkahnya.

Hingga sampailah ia di rumah.

Gelap.

"Lin?" panggil Wat, namun tidak ada balasan.

Wat menyalakan lampu rumahnya dan melihat Lin yang tergeletak di lantai, di depan pintu kamar anak.

"Lin!!!"

***

Tangan Wat bersimpuh dengan rasa resah dan gelisah. Lin yang sudah tidak sadarkan diri dengan segera ia larikan ke rumah sakit untuk ditangani langsung oleh dokter.

Tanpa menunggu dan berpikir lagi, Wat langsung mengiyakan ketika dokter meminta persetujuan untuk melakukan operasi pada Lin. Bukan hanya Lin yang sudah tidak bisa melahirkan secara normal, tetapi sejak awal, ia memang berencana untuk melahirkan dengan cara operasi.

Doa serta harapan selalu diucapkan dalam gumam, oleh Wat. Memohon keselamatan sang istri dan juga kedua anaknya.

"Sudah cukup banyak Lin menderita, Tuhan. Tolong selamatkan mereka dalam keadaan hidup. Ampuni aku atas kesalahan yang telah aku buat, meninggalkan Lin seorang diri di rumah, tidak bertanggung jawab untuk menjadi suami yang siaga bagi Lin. Selamatkan mereka, Tuhan … selamatkan mereka …."

Sebuah doa yang terus diucapkan oleh Wat, di depan ruangan operasi. Sembari menunggu persalinan yang sama sekali tidak bisa membuatnya tenang.

Lampu di atas pintu ruang operasi tersebut berhenti menyala.

Sedikit ada rasa lega pada Wat.

Ia berdiri dan menunggu pintu ruang operasi terbuka.

Pintu itu terbuka dan keluar dua orang perawat, keduanya masing-masing membawa bayi yang sedang menangis, begitu kencang.

Wat melipat kedua bibirnya, menekannya begitu kuat.

Tangis haru benar-benar pecah saat itu juga.

"Thank's God!" gumamnya seperti ingin memekik, betapa bersyukur nya ia saat itu.

Wat masih diam disana, menunggu Lin yang masih belum juga keluar dari ruang operasi.

Wat diam, terus memandang pintu yang kini sudah tertutup kembali.

"Apa yang terjadi dengan Lin? Kenapa sekarang ia belum juga terlihat?"

avataravatar
Next chapter