1 This Is Not The First Met

Kevin mengembuskan napas panjang. Dia tersenyum ketika instagramnya dibanjiri ucapan selamat atas kemenangan yang diterima pada pertandingan terbaru. Pertandingan yang membawanya ke anak tangga yang lebih tinggi di bidang olahraga bulutangkis.

Dia memiliki sebuah mimpi yang tinggi. Yaitu menjadi atlet yang bisa sekelas dengan Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon. Menempati peringkat tertinggi di dunia, memiliki mental yang tangguh, tidak mudah tertekan di lapangan, defense yang susah ditembus, dan bisa melakukan smash yang cepat serta tajam. Mereka adalah panutan seorang Kevin Setiawan.

Usai puas membaca komentar positif yang membangkitkan semangat latihannya, Kevin pergi menuju gelanggang olahraga. Membawa tas yang berisi cemilan, botol air mineral, ponsel, dan senjata patennya alias raket.

Ini hari pertama kembali latihan setelah diberi libur tiga hari sebagai bonusnya karena bisa memenangkan juara pertama di pertandingan taraf nasional yang diadakan minggu lalu. Kevin menjadi satu-satunya perwakilan PB Garasi—klub yang menaunginya—yang berhasil mencapai babak final dan menjadi pemenang.

"Vin, lama amat?" Aldi, pasangan di lapangan, sedang mengikat tali sepatunya di pinggir lapangan ketika bertanya.

"Ketiduran lagi, ditambah upload foto dulu ke instagram, biar kayak anak kekinian," jawab Kevin meletakkan tasnya di atas kursi kayu lantas melakukan pemanasan.

"Emang tiga hari tidur masih kurang?" Aldi menaikkan sebelah alisnya, keheranan pada bocah oriental itu bisa tahan tidur sampai tiga belas jam per hari ketika libur latihan.

Kevin cuma membalasnya dengan kekehan. Itu benar, Kevin bisa tidur dua belas sampai tiga belas jam ketika sedang lelah-lelahnya. Pernah ada kejadian di mana Kevin tidur dua hari lamanya hingga membuat seluruh penghuni asrama panik karena menyangka dirinya telah meninggal. Dia baru terbangun waktu tubuhnya diangkat, akan dimasukkan ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit.

"Vin!" tepukan di punggung membuat Kevin sadar dari lamunannya.

"Apa, Al?" tanya Kevin dengan polosnya.

"Latihan lah, mau ngapain lagi? Malah bengong."Aldi menjawabnya sambil jalan ke lapangan. “Buruan, sebelum Coach Aryo dateng.”

Kevin merapatkan tali sepatunya. “Iya ya, kena damprat lagi, gue, kalau ketahuan telat lagi.”

Buru-buru dia ambil posisi di lapangan untuk berlatih. Kali ini dia dan Aldi akan melawan Ardi dan Fian, rival terkuatnya di tempat ini.

*****

"Jadi, bakal ada mahasiswi magang di sini. Udah pada tau belum?" tanya Ardi yang baru kembali dari toilet.

Sebelum masuk, Ardi sempat mendengarkan Widi—salah satu pegawai bagian publikasi dan kehumasan—berbicara dengan para pelatih. Memperkenalkan seorang mahasiswi yang katanya akan magang di divisi publikasi dan kehumasan selama tiga bulan.

"Gue udah denger sih," jawab Fian membereskan shuttlecock yang berserakan setelah latihan drilling.

"Cantik kagak? Kalau cantik kan lumayan. Cewek-cewek di sini udah bosenin semua," sahut Jona mengelap keringatnya dengan handuk.

Belum sempat ada yang menjawab, orang yang dibicarakan sudah masuk terlebih dahulu. Hampir seluruh perhatian mereka yang ada di lapangan tertuju pada Widi dan gadis berparas cantik di belakangnya.

Seketika Fian merapat ke Ardi. "Kalau gini bisa lah jadi gebetan aing."

Ardi terdiam sejenak dengan tatapan bosan, tidak merespon langsung. Dia mendecih kecil. "Ngaca dulu coba, cewek sebening itu masa mau lo gebet.”

Mendengar suara bisik-bisik Fian dan Ardi membuat Kevin bangkit dari posisi baringnya, melihat ke orang yang jadi topik obrolan mereka. Mata Kevin seketika membulat. Siapa yang sangka kalau perempuan yang dibawa oleh Widi adalah salah satu orang yang pernah Kevin kenal sebelum masuk ke klub pelatihan ini. Kevin sudah sangat lama mengenalinya dan ternyata perempuan itu berubah menjadi sosok gadis cantik dan menarik.

"Temen-temen, minta perhatiannya dong!" Widi menepuk tangannya.

"Huuu caper caper," ledek Kevin yang langsung dihadiahi oleh tatapan tajam dan desisan sebal.

Widi mendengus. "Tolong Mas Kevin, jaga image dulu ya depan anak baru," katanya dengan nada yang dibuat-buat.

Kevin dan Widi sudah sangat akrab. Perbedaan usia mereka lumayan jauh karena Kevin 23 tahun sedangkan Widi 30 tahun. Tapi entah bagaimana ceritanya mereka berdua sangat akrab dan sering meledek satu sama lain.

Jangan ada yang mikir mereka bakal cinta lokasi. Kevin sih memang motae solo alias jomblo sejak lahir, tapi Widi sudah punya suami dan anak.

"Temen-temen atlet, ini ada mahasiswi magang, dia bakal bantuin aku beresin kalian semua," kata Widi dengan gayanya yang santai.

Perempuan itu memasang senyum menyapa semuanya, termasuk Kevin, bahkan matanya sempat berhenti untuk menatap mata Kevin sekitar dua detik. Dari ekspresi yang ditunjukkan sekilas, dia juga terkejut melihat Kevin ada di sana.

"Nama saya Serenina Sanawijaya, panggil aja Nina. Saya 20 tahun, jadi yang sekiranya lebih dewasa dari saya, jangan manggil Mbak."

Senyumannya masih manis dan hangat seperti biasa. Yang berbeda sudah tidak ada logat medok khas orang dari tanah Jawa. Kevin tidak menyangka mereka akan bertemu lagi dengan cara yang seperti ini.

Kira-kira tujuh tahun lalu mereka berpisah karena Kevin benar-benar fokus dengan karirnya sebagai atlet bulutangkis. Sejak itu juga mereka tidak pernah bertemu ataupun bertukar kabar.

"Dari Universitas mana? Jakarta, Bandung, atau Bogor?" Tanya Jona mengangkat tangan.

"Jakarta," jawab Nina singkat.

"Nomor hp-nya boleh disebutin nggak? Mau Fian catet nih," sahut cowok hitam manis dengan kumis dan jenggot tipis menghiasi wajahnya.

"Eh no modus-modus sama anak didik gue!" peringat Widi pada mereka. "Dia masuk grup chat kita kok. Modus dipersilakan kalau udah pada kelar kerja dan latihan."

Setelah sekadar basa-basi bersama Nina selesai, cewek itu keluar bersama Widi. Dengan cepat Kevin mengikutinya untuk sekadar menanyakan kabar karena mereka sama sekali tidak pernah bertemu. Kalau dirasakan, ternyata Kevin rindu juga. Itu wajar karena dulu mereka sangat dekat bagai kakak-beradik padahal cuma tetangga.

"Nina!" panggil Kevin membuat cewek itu berhenti dan menoleh.

Tetapi sayangnya hanya sebentar karena cewek itu kembali berjalan meninggalkannya. Sempat terheran, mungkin Nina lupa padanya, pikirnya. Eh tapi tadi Nina kelihatan terkejut waktu melihat Kevin, mana mungkin ekspresi itu ditunjukkan jika dia sudah melupakan. Kevin mencoba lagi mengikuti Nina dan memblokir jalan perempuan itu.

Kedua sudut bibir Kevin terangkat naik membentuk senyuman sempurna. Sementara Nina hanya memasang ekspresi datar dengan sorot mata yang begitu dingin.

Apa sesuatu terjadi?

Meski bingung, Kevin tetap memasang senyum paling cerah se-Nusantara. Tetapi tetap saja tidak ada perubahan ekspresi dari Nina. Jangan-jangan dia memang lupa pada Kevin. Salah lagi! Kalau lupa ekspresinya tidak mungkin begini, pasti dia bingung.

"Masih inget sama gue?" tanya Kevin menunjuk wajahnya sendiri.

"Inget," jawab Nina singkat, padat, dan jelas.

"Nggak say hi atau tanya kabar?" tanya Kevin berbasa-basi. "Apa kabar, Nin?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Nina hendak menjabat tangan Kevin, tapi batal, gadis itu malah mengepalkan tangan dan menyembunyikan tangannya ke punggung. "Maaf, tapi gue udah ditunggu sama Mbak Widi, mendingan lo balik lagi aja ke gelanggang."

Kevin menganga menerima sikap Nina yang berubah 180 derajat, berbeda dari waktu terakhir mereka bertemu. Tidak disangka sama sekali kalau Nina bisa berubah jadi begini. Kesalahan lingkungan ketika dia tumbuh atau ada hal lain.

Ada apa dengan Nina?

Kenapa kelihatannya dia membenci Kevin?

Harusnya tidak, Nina tidak punya alasan benci Kevin karena mereka tidak pernah bertukar kabar sama sekali. Kevin ingat pertemuan terakhir mereka, di Jakarta, waktu itu keluarga Nina baru pindah dari Surabaya sehingga Kevin datang ke rumah mereka untuk berkunjung dan memberikan buah tangan. Hari itu mereka masih baik-baik saja. Jadi, ini aneh.

*****

Kalau ada orang yang ingin dilenyapkan dengan tangan Serenina Sanawijaya sendiri, itu adalah Kevin Setiawan.

Kenapa cowok itu harus muncul lagi dalam hidupnya. Aturan Kevin tidak usah mengenalinya saja. Tadinya Nina mau magang di PB Garasi karena berpikir Kevin tidak akan mengingatnya sehingga tidak perlu ada nostalgia masa lalu. Nina tidak menyukai itu.

Meskipun dulu Kevin sahabatnya, sekarang tidak lagi. Nina merasa sudah dibuang.

Sekarang mereka berada di lingkungan yang sama dan Kevin mengingatnya. Itu berarti Nina harus berusaha untuk tidak bertemu dengan Kevin agar tidak ada pembicaraan apapun dengan cowok itu.

Nina masuk ke dalam kantor tempatnya bekerja selama magang. Cewek itu memeriksa tulisan yang ada di papan kecil di mejanya. Widi menyediakan itu agar Nina tahu apa yang harus dikerjakan. Selain daftar pekerjaan yang ada di kantor, ada juga jadwal bertemu dengan tamu, dan jadwal turnamen yang harus diliput.

"Nina, kamu ikut team building ke Bogor ya hari Jumat ini, nggak ada kuliah kan?" tanya Widi dengan mata yang tetap fokus pada layar komputer.

"Kenapa aku ikut juga? Di sini nggak ada jadwalnya," kata Nina memeriksa lagi jadwal yang sudah disediakan untuknya.

Widy memutar bangkunya menghadap Nina. "Semua staff dan atlet ikut kok, itu emang acara dari kantor biar kita semua tali persaudaraannya jadi makin-makin."

"Bayar berapa, Mbak?"

"Gratis tis tis, tenang aja. Pak Boss yang bayarin semua. Makanya kamu ikut aja."

Nina mengangguk. "Oke deh, Mbak."

Sepertinya ide yang bagus. Team building biasanya diisi dengan kegiatan menyenangkan serta banyak permainan atau sekadar mengadakan kegiatan keakraban. Lumayan buat menyegarkan otak.

"Kita berangkat hari Jumat, kamu nggak ada kuliah, kan?" tanya Widi sekali lagi.

"Bisa, Mbak. Kebetulan kuliahnya libur kalau hari Jumat," jawab Nina.

Nina masih menjalani kuliah meskipun magang. Itu semua karena penetapan masa magang dari kampusnya bukan ketika liburan semester seperti universitas lain. Jadilah Nina merasakan yang namanya kerja sambil kuliah mulai hari ini, plus harus mengerjakan skripsi.

*****

avataravatar
Next chapter