1 Bab 1

Persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Jangan melucu, tidak ada yang seperti itu. Yang ada, hanya dua orang saling memendam namun takut kehilangan. Persahabatan itu hanya kedok yang suatu saat nanti akan terbongkar. Yang berakhir menyedihkan atau justru membahagiakan. Setidaknya begitu kata orang-orang. Tapi, benarkah seperti itu?

Rayhan jatuh terjerembab dari atas tempat tidurnya. Laki-laki setengah bule itu mengerang kesakitan. Dia mendengus kesal, sudah tahu siapa orang yang menendangnya dengan sadis.

"Gila ya!?" Rayhan membentak sambil mengelus bokongnya. "Sakit bego!"

Fatin, gadis yang mengenakan topi baseball itu hanya memutar mata jengah. "Buruan mandi, gue tunggu di bawah." Ucapnya santai lalu melenggang keluar dari kamar Rayhan.

Rayhan mendekus seperti kucing, namun tetap melakukan perintah Fatin. Memang selalu begitu, dia paling tidak bisa mengabaikan perintah Fatin seberapa pun kesal yang ditanggung olehnya.

Dua puluh menit kemudian Rayhan keluar dari kamarnya. Tas punggung ditenteng, kaos hitam pas badan dan celana jeans sobek-sobek. Rambutnya yang masih basah tampak berantakan. Rayhan mengendap di belakang Fatin yang sedang mengunyah roti isi, dengan sengaja menyurukan kepalanya di leher gadis itu hingga Fatin berteriak kesal.

Rayhan tertawa sambil menghindar, Fatin yang kesal berusaha meraih rambut pirang laki-laki itu. Berniat menjambaknya sekuat mungkin.

"Resek banget sih!"

"Hahaha."

Fatin paling tidak suka seseorang menyentuh lehernya, dia akan merinding dan kebelet pipis setelahnya. Tapi Rayhan yang mengetahui hal itu justru memanfaatkannya. Karena membuat Fatin kesal adalah agenda penting sebelum memulai harinya.

Fatin berhenti, wajahnya mengerut, dia lalu lari ke kamar mandi diiringi derai tawa Rayhan. Laki-laki itu duduk di kursi milik Fatin. Seorang wanita awal empat puluh tahunan datang dari dapur, di tangannya terdapat piring berisi telur dadar.

"Kamu kenapa sih Ray, iseng banget sama Fatin. Dia ngambek baru deh tahu rasa." Mona, wanita yang telah melahirkan Rayhan itu menegur.

Rayhan terkekeh. "Abis Fatin kalau lagi marah lucu Mam." Dia mulai menyendok nasi goreng dan meraih dua telur dadar dari atas meja.

Mendengar itu Mona hanya bisa menggeleng. Anak lelakinya yang satu ini, memang sangat susah diberi tahu. Jika sudah menyukai satu hal, Rayhan akan terus menyukainya. Salah satunya adalah membuat Fatin kesal.

Fatin kembali dengan wajah menekuk. Gadis dengan rok panjang semata kaki itu memukul kepala Rayhan pelan, tapi cukup mengejutkan, sampai Rayhan tersedak nasi goreng buatan ibunya.

"Gila lu yak. Bisa mati keselek gue." Sungut Rayhan setelah menghabiskan setengah gelas air.

Fatin hanya mengacuhkan dan menghabiskan sisa roti isi selai nanas miliknya. Mona yang melihat itu hanya terkekeh. Sudah biasa melihat pemandangan ini. Begitu roti isinya habis, Fatin segera meneguk susu dan beranjak dari tempatnya. Tidak lupa mencium tangan Mona berpamitan.

"Mam, Fatin berangkat dulu."

"Hati-hati ya, bawa motonya pelan-pelan aja. Nggak usah ngebut." Mona sudah menganggap Fatin seperti anaknya sendiri. Kalau boleh dia ingin menganggap Fatin sebagai menantu, sih.

"Iya, assalamualaikum."

"Wa'allaikum salam."

"Loh, eh, woi. Tungguin gue, gue belum selesai makan!" Rayhan berteriak.

Tapi Fatin tetap melenggang keluar dari rumah. Biar saja laki-laki itu berangkat sendiri. Fatin masih kesal karena ulahnya. Rayhan segera memasukkan beberapa sendok nasi goreng ke mulutnya, mencomot satu telur dadar dan segera menyusul Fatin yang sudah bertengger manis di atas motor maticnya.

Ternyata Fatin sudah menghidupkan mesin motornya, bersiap pergi. Secepat kilat Rayhan naik di boncengan, melingkarkan tangannya di perut Fatin.

"Hahat bhanghet seh mhau ninggahlin." Rayhan bicara dengan mulut penuh nasi goreng.

"Gue nggak ngerti bahasa manusia goa. Minggir sana!" Fatin berusaha menyingkirkan tangan Rayhan di perutnya.

"Nggak mau, mau ikut." Rayhan mengeratkan belitan tangannya di perut Fatin. Bahkan tak ada lagi jarak di antara mereka.

"Iya iya, ya udah. Tapi pake helm dulu, sama ini lepas. Gue nggak bisa napas." Fatin sesak napas. Ini beneran sesek napas ya, bukan karena baper. Rayhan memeluknya terlalu erat.

"Nih." Rayhan membulatkan matanya melihat helm yang Fatin berikan.

"Kok pink sih?"

"Udah pake aja. Jangan bacot mulu, telat nih kita."

"Tapi kan nggak macho Tin."

"Lo merasa macho, pipis minta ditemenin itu emang macho?"

Rayhan diam seketika. Fatin memang yang paling tahu cara membuatnya diam. Tak mendengar gerutuan dari balik punggungnya lagi, Fatin tersenyum puas. Dihidupkannya lagi mesin motor yang sempat mati. Sedetik kemudian, kendaraan roda dua tersebut mulai bergulir ke landasan beraspal. Berkutat dengan kemacetan Ibu Kota yang tak pernah membaik dari tahun ke tahun.

Fatin dan Rayhan sampai di kampus satu jam kemudian. Lima belas menit lagi kelas di mulai, dengan setengah berlari mereka menuju gedung fakultas ekonomi dan bisnis.

Napas Rayhan dan Fatin hampir habis begitu mereka berhasil masuk ke kelas sebelum Pak Handoko masuk. Ternyata banyak juga yang bernasib seperti mereka, datang di detik terakhir sebelum Dosen tua itu memulai mata kuliahnya. Yaitu, Pasar persaingan sempurna.

Total ada tiga puluh enam orang yang duduk dan mendengarkan penjelasan Pak Handoko dengan serius. Hingga dua jam kemudian kelas selesai. Pak Handoko pamit dan meninggalkan mahasiswa didikannya.

"Dulu gue ikut lo masuk ekonomi karena gue pikir gampang. Tapi ternyata ..." Rayhan menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir dramatis. "Kepala gue mau meledak. Gue nggak suka matematika, Tin."

Fatin yang berjalan di sebelah tertawa. "Emang gue pernah bilang kalau ekonomi itu gampang. Elu aja yang bego, segala kuliah ikut-ikutan. Kalau nggak kuat, pindah jurusan aja sana."

"Nanggung, udah semester lima. Males gue harus ngulang lagi. Nanti nggak bisa lulus bareng lo, ogah."

"Yaudah kalau gitu, jangan kebanyakan ngeluh."

Langkah Rayhan terhenti, begitu pun Fatin yang lehernya dia gelayuti. Fatin akan protes hampir saja protes akan kelakuan Rayhan, andai saja dia tak melihat seseorang yang berjalan di depan mereka.

Fatin tersenyum usil. "Diliatin aja terus, samperin mah kagak." Dicoleknya pinggang Rayhan hingga si laki-laki menghindar geli.

"Apaan sih. Gimana mau nyamperin, dijagain buldok gitu tiap hari." Bibir tipis Rayhan maju dua senti. Menatap kesal pemandangan dua orang yang duduk berdampingan.

"Lo aja yang payah. Masa nggak bisa nyari kesempatan dikit aja, Fendy kan nggak dua puluh empat jam sama Jasmine." Fatin mencibir.

Gadis itu Jasmine, dia mahasiswi baru jurusan mereka. Dia gadis yang manis, dengan rambut panjang sehitam arang, senyum manis berhias lesung pipit, dan kulit kuning langsat khas wanita pribumi. Dia berhasil membuat Rayhan jatuh hati pada pandangan pertama. Sayangnya jalan Rayhan terhalang oleh kedatangan mahasiswa baru, dia datang sehari setelah Jasmine. Fendy namanya, laki-laki dengan wajah tampan yang manis, berkulit sawo matang dan tubuh tinggi tegap. Dia selalu menempel kemana pun Jasmine pergi, membuat Rayhan jengah melihatnya.

"Tin, bantuin gue dong." Rayhan mengikuti Fatin seperti anak ayam.

"Bantuin apa?" Fatin menoleh singkat, di tangannya terdapat semangkuk bakso kuah yang baru dipesan olehnya.

"Bantuin deketin Jasmine."

"Gile lu, mau pacaran aja minta bantuan. Katanya macho."

"Ayolah Tin, bantuin gue ya. Please?" Rayhan memelas. Duduk di sebelah Fatin yang menuang sambal di mangkuk baksonya.

"Emang mau dibantuin kayak gimana, tahu sendiri gue juga jomblo. Nggak ngerti kayak gituan." Fatin meniup kuah baksonya yang masih panas, menyeputnya sedikit. Tersenyum puas dengan pedas kuahnya.

"Lo bantuin gue jauhin Si Fendy, biar nggak nempel mulu sama Jasmine."

"Lo punya jiwa pebinor ternyata." Fatin mengunyah bulatan daging yang gurih itu dengan santai, Rayhan memelotot padanya. "Yaudah gue bantuin. Kasian gue sama lo, naksir cewek orang sampe segitunya."

"Jasmine jomblo, bukan punya siapa-siapa. Gue nggak naksir cewek orang." Sungut Rayhan tak terima.

"He'eh, sesuka hati lo. Makan." Fatin memasukan sebutir bakso ke mulut Rayhan. Yang diterima dengan senang hati oleh laki-laki itu.

Rayhan mengeluh ketika lidahnya mulai panas, sambal yang Fatin gunakan terlalu banyak. Tapi Fatin tidak peduli, dia suka makanan pedas. Walau mengeluh Rayhan tetap menerima setiap Fatin menyodorkan sendok berisi bakso. Mereka makan sambil berbicara santai, membangun rencana untuk Rayhan. Tidak mempedulikan pandangan orang-orang di sekeliling mereka.

Memang begitu, sudah biasa.

avataravatar
Next chapter