1 Mantan

Setelah menghabiskan satu kotak tisu dan 5 bungkus kuaci beraneka rasa,  Aku menyudahi cerita cintaku pada sahabatku. Dia beberapakali mengangguk setuju, dan tak banyak respon. Mungkin karena bingung, mantan kekasihku adalah teman sekelasnya saat sekolah menengah pertama, kemudian dia bertanya  "Rin, kalau nanti ya, misalnya 5 atau 10 taun ke depan, lo gak sengaja ketemu Raka yang sekarang udah ninglin Lo demi cewek lain. Apa yang akan Lo lakuin?" Dengan tegas Aku jawab

"Gue akan pastikan dia nyesel. Atas keputusannya hari ini,gue juga akan pamer cincin berlian yang udah disematkan oleh pria yang jauhhh lebih baik dari dia," Jawabku dengan satu tarikan nafas yang menggebu-gebu. Tak terasa, obrolan itu sudah berlalu 10 tahun yang lalu, aku juga seharusnya  sudah lupa. Ya memang sudah lupa, jika saja, hari ini tidak hujan dan aku terjebak menunggu hujan reda di halte, bersamanya.

Raka yang dulu pernah jadi alasanku untuk teleponan sambil cas handphone dan alasan kenapa esoknya aku harus keluar dengan kacamata hitam. Karena malu, dengan mataku yang bengkak, setelah menangisinya semalaman suntuk. Atas pengkhianatan yang bahkan aku tidak pernah berpikir akan dikhianati olehnya.

Lelaki itu, tumbuh lebih tinggi dan lebih tampan dari sebelumnya, mungkin dia sudah kenal dengan skincare. Aku gak tau. Emang apa yang harus diharapkan, dia terlihat lebih kacau setelah ninggalin aku? Kan gak mungkin. Orang udah kerja, banyak duit, bisa urus diri sendiri. Dan dia pasti sudah bahagia bersama kekasihnya. Padahal sudah 10 tahun, aku juga tidak pernah ikut reoni, kata orang cinta itu buta, tapi kenapa aku masih bisa mengenalinya?

Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir yang sudah memucat karena kedinginan, hujan hari ini, terasa sangat dingin dari hujan yang pernah aku lewati selama 27 tahun hidup. Kebersamaan ini, hanya diramaikan oleh suara hujan yang turun mengenai kanopi halte. Aku hanya bisa menggosok kedua tanganku, berharap rasa gugup dan dingin hilang secara bersamaan. Sesekali ujung mataku mengintip ke arahnya yang terlihat lebih santai. Kupingku seketika memanas. Harusnya aku juga bisa seperti dia,  kami sudah bukan siapa-siapa, anggap saja tidak pernah kenal.

Sementara itu, air mataku sepertinya berdemo akan keluar, Aku segera berdiri, bersiap untuk menerobos hujan, atau mungkin membaur dalam hujan. Agar tidak ada seorangpun yang bisa melihat aku sedang menangis. Jika saja tanganku tidak ditahan oleh tangan yang rasanya masih sama, seperti tangan yang menggenggamku ketika kami sedang cemas menunggu hasil kelulusan. Tangan yang sering diulurkan untuk membantuku berdiri, tangan yang rela pegal membalas chatingan-chatingan kita tentang rencana masa depan. Tangan ini juga yang menyalami kedua orangtuaku, ketika meminta ijin untuk mengajak anak gadis mereka pergi, dan berjanji menjaganya. Sekalipun, tidak terlaksana dengan baik.

"Jangan pergi!" Suara ini, suara yang kurindukan disetiap hala nafas panjangku.

Aku berusaha untuk menatap ke arahnya, tapi sepertinya tidak sekuat itu. Tak kusangka justru dia yang berdiri dan berjalan ke hadapanku. Aku segera membuang muka. Logikanya, dimana ada orang yang sulit move-on bisa tatapan mata sama orang berusaha untuk dia lupakan? Enggak ada kan. Aku lebih memilih untuk kembali duduk. Dan berusaha untuk melepaskan cekalan tangan ini. Tapi, dia masih enggan untuk melepaskan.

"Kalau Kamu mau minta maaf, udah Aku maafin," ucapku berusaha seketus mungkin. Dia menjatuhkan dirinya di hadapanku, sontak saja aku melihat ke arahnya. Pandangan mata kami terkunci, ternyata rasa rinduku mengalahkan ketakutanku.

Aku menatap mata yang sayu, mungkin sekarang aku bisa berpikir, bahwa dia pun terluka. Mungkinkah dia sudah menerima karmanya?

"Jika Aku memintamu kembali padaku, apa tidak terdengar gila?" tanyanya dengan wajah yang tanpa dosa. Aku semakin menajamkan mataku. Berharap bisa melihat isi otaknya yang benar-benar kacau. Dia bisa berbasa-basi dengan menanyai kabarku atau minta maaf, bukan datang-datang ngajak balikan.

"Kenapa? Aku keliatan cantik ya sekarang. Gak gendut kayak dulu, gak jerawatan kayak dulu, aku juga udah suntik kolagen biar putih, kamu nyesel kan udah ninggalin aku?"

Raka menggeleng.

"Saat itu, aku masih terlalu muda untuk berpikir bahwa menyakiti seseorang tidak akan membuatku merasakan penyesalan yang berkepanjangan."

"Bukan terlalu muda. Tapi kamu emang gak pake otak. Ninggalin aku gitu aja. Datang ke acara kelulusan kita dengan gandeng cewek lain. Harusnya kamu mikir. Gimana teman-teman kita yang udah tau, hubungan kita yang sudah berjalan 3 tahun itu, nyerang aku. Di hari yang seharusnya aku merasakan bahagia. Bukan sebaliknya. Di hari itu, aku justru berharap kamu datang dan kita foto bareng, gak apa-apa sebagai foto terakhir kita. Tapi semua hancur. Setelah perempuan yang kamu bawa adalah most wanted sekolah kita. Wakil kamu di organisasi yang selalu membuat kita ribut, karena kamu lebih memilih untuk rapat, dan biarin aku nunggu sampe sore di sekolahan."

"Kamu boleh marah sama Aku, aku terima. Tapi setelah sekian lama aku mencari kamu. Perbolehkan aku untuk memperjuangkan kamu kembali. Aku mohon." Suaranya benar-benar seperti orang yang sangat frustasi. Aku memang sempat dengar, dari sahabatku, bahwa dia beberapa didatangi Raka dan pria ini memohon padanya agar tau, di mana alamat kantor atau tempat tinggalku yang baru.

Ya, aku memang benar-benar menghilang, aku tidak punya media sosial apapun. Handphoneku berfungsi  hanya untuk pesan singkat atau telepon saja. Dan selebihnya kepentingan pekerjaan. Aku tidak meninggalkan jejak. Dan 10 tahun sudah aku bersembunyi, Allah mempertemukan Kita lagi. Karena terlalu aneh untuk disebut kebetulan. Dia bersama beberapa pengendara motor berhenti di halte karena hujan. Sementara yang lain bersiap memakai mantel kemudian pergi, dia yang ditanyai temannya, ternyata tidak membawa mantel. Akhirnya memilih untuk menunggu hujan reda. Hujan hari ini, bahkan  tidak terprediksi oleh prakiraan cuaca.

"Aku memang masih dalam proses untuk lupain kamu. Tapi bukan berarti aku mau kembali sama kamu, tugasku bukan lagi mencintaimu, tapi melupakan.."

"Kasih Aku satu lagi kesempatan." Dia semakin erat menggenggam tanganku.

"Enggak. Aku harus melupakan kamu bertahun-tahun lamanya, kalau kita kembali lagi, dan tiba-tiba kamu khilaf, Aku harus melupakan kamu berapa puluh tahun?"

"Aku gak akan pernah nyakitin kamu lagi, Aku sudah banyak belajar dari kesalahanku di masa lalu, Aku akan meminta maafmu, dengan berusaha membahagiakanmu."

"Gak ada jaminan! Kalau dulu Kamu yang ninggalin Aku pergi, sekarang kita impas." Aku berdiri, melepaskan tanganku dari cekalannya sekuat tenaga. Kemudian Segera berlari dari hadapannya, meski belum sempat pamer cincin berlian ditangaku, aku tidak peduli, Aku berlari tanpa menoleh ke belakang lagi, ternyata hujan mulai reda. Tangisku yang justru deras.

Sebulan setelah itu, aku mendapat sebuah paket  yang dikirimkan sahabatku. Isinya ternyata, undangan pernikahannya dan Raka adalah calon mempelai Prianya. 

Aku akan datang di pernikahan mereka, aku janji.

avataravatar
Next chapter