18 Benih-benih cinta

Makanan yang mereka pesan pun tak lama kemudian pun siap dan sudah tersaji di depan mereka. Saat Dinar ingin menambahkan sedikit sambah pada menu makanannya gerakan tangannya di hentikan seketika oleh Aditya.

"Perutmu sedang kosong. Jangan makan yang pedas-pedas." ujar Aditya yang melarang Dinar makan makanan yang pedas karena perutnya sedang kosong.

Dinar hanya bisa menurut. Karena apa yang di katakan oleh Aditya memang ada benarnya. Semakin mengenal Aditya Dinar menjadi kagum dengan pemuda itu. Meskipun usianya selisih satu tahun di bawahnya namun aditya begitu dewasa dan bisa mengerti kondisinya.

"Adit terimakasih."

"Untuk?"

"Untuk memilihkan dalaman untukku. Hehehe." Dinar salah tingkah sebenarnya ia ingin berterimakasih atas kebaikan dan perhatian Adit namun ia tak ingin jika sampai pemuda itu salah paham akan perasaannya. Perasaan yang sebenarnya ia sendiri tidak tau pasti apa yang tiba-tiba muncul itu.

Dinar perlahan melahap makanannya rasa mual yang masih terasa membuatnya tak terlalu nafsu untuk makan, ia hanya makan sedikit saja terlebih aroma ayam yang menusuk hidung membuatnya justru menjadi mual lagi.

"Huk..hukk.." Dinar menutup mulutnya karena merasa ingin muntah lagi.

"Kau tidak apa-apa?" Aditya terlihat khawatir melihat Dinar yang sepertinya ingin muntah lagi.

"Adit aku tidak bisa makan makanan ini." Dinar menjauhkan makanannya dari hadapannya. Mencium aroma ayam dalam sup itu membuatnya mual.

Aditya yang kebingungan jadi serba salah. Sepertinya ia salah pesan menu makanan. Ia pikir sup akan membuat perut Dinar menjadi lebih baik tapi sepertinya justru kini sebaliknya.

"Lalu bagaimana? apakah kau mau memesan makanan yang lain?"

Dinar menggeleng. "Tidak. Lebih baik kita pulang saja."

Aditya mencoba mengerti kondisi fisik Dinar memang sedang tidak baik. Dari pada melanjutkan acara makan yang justru hanya membuatnya mual lebih bain memang mereka pulang.

"Baiklah kita pulang saja."

Aditya juga harus merelakan makanan yang bahkan belum sempat ia sentuh. Ia pikir makanan rumah akan lebuh baik untuk mereka.

Aditya membantu Dinar yang sepertinya sedang lemas. Ia memegang bahu dan lengan Dinar takut jika kalau-kalau perempuan itu pingsan karena lemas. "Apa kau bisa berjalan?"

"Aku bisa kok." jawab dinar.

Kini mereka sudah sampai di parkiran dan masuk kedalam mobil. Aditya segera memacu mobilnya untuk pulang. Lebih baik ia segera membawa Dinar pulang dan membiarkannya beristirahat sejenak.

Saat melewati sebuah taman pandangan mata Dinar tertuju pada penjual rujak buah yang menjajakan dagangannya di tepi jalan dengan gerobak nya. Namun mobil Aditya yang melaju terlalu cepat membuatnya tak sempat untuk meminta aditya berhenti. Kepala Dinar sampai memutar kebelakang masih memandang pedagang rujak buah tersebut. Dan rupanya hal ini disadari oleh pemuda di sampingnya.

"Ada apa?" tanya Aditya yang penasaran dengan apa yang Dinar lihat.

"Hmm aku.. aku.." Dinar ragu meminta Aditya untuk memutar balik arah mobilnya Hnya untuk membeli rujak buah.

"Apa? Apa yang kau lihat?" tanya Aditya sekali lagi.

"Ah tidak apa-apa hanya sesuatu yang tidak penting."

"Mana mungkin tidak penting. Pasti kau menginginkan sesuatu." Aditya perlahan melambatkan laju mobilnya berusaha menoleh untuk memastikan apa yang di inginkan oleh Dinar.

"Emm.. Sebenarnya aku ingin beli rujak buah yang ada di tepi jalan tadi?"

"Yang mana? Memangnya ada?"

"Iya yang di depan taman tadi." jawab Dinar pada akhir mau jujur juga.

Spontan Aditya langsung memacu mobilnya kembali ia mencari jalan memutar untuk bisa kembali melewati taman yang baru saja mereka lewati. Dinar tersenyum senang karena keinginannya di turuti oleh Aditya.

Dengan semangat kini Dinar turun dari mobil dan memesan dua porsi rujak buah, ia seakan lupa jika dirinya sedang tak enak badan. Memandang rujak buah di depannya membuatnya bersemangat kembali.

Aditya sendiri juga heran dengan apa yang terjadi. Apakah memang setiap perempuan hamil seperti ini? Atau memang Dinar yang manja jadi bersikap seperti ini? Tapi Aditya hanya bisa diam membiarkan Dinar melakukan dan memakan apa yang ia inginkan setidaknya apa yang ia inginkan bisa masuk kedalam perutnya dan tak membuatnya mual lagi.

"Adit kau mau?" Dinar yang sudah kembali memberikan seporsi rujak untuk Adit. Pemuda itu menerimanya dan ikut memakannya.

Keduanya sama-sama makan rujak tersebut di dalam mobil. Tampak Dinar memakan rujak buah itu dengan sangat lahap dan begitu menikmatinya. Dalam waktu singkat Dinar sukses menghabiskan satu porsi rujaknya dengan ekspresi sedikit kepedasan.

"Mau lagi?" Aditya menawarkan rujaknya yang baru ia makan beberapa potong buah saja.

"Apa kau tidak suka?"

"Kalau kau mau makanlah." Aditya memberikan rujaknya kepada Dinar. Adit suka melihat Dinar makan dengan lahap jadi ia memilih untuk memberikan miliknya pada Dinar.

Dengan suka hati tentu saja Dinar menerimanya karena ia memang menyukainya. Mungkin karena sedang hamil jadi ia begitu suka dengan rujak yang terasa begitu segar.

"Apakah perempuan hamil memang seperti ini?"

"Ha?? Maksudnya?" Dinar mendongak kearah Pria dj sampingnya merasa tak mengerti dengan maksud perkataan Aditya.

"Ya aku merasa aneh saja. Tadi kau tak mau makan dan mual muntah tapi setelah melihat rujak kau justru tampak sangat bersemangat seolah kau menemukan obatnya."

"Entahlah. Aku sendiri juga tidak tau." Dinar mengangkat kedua bahunya keatas dengan santainya sambil kembali memakan rujak di tangannya.

Sementara Aditya justru memandang lucu kearah Dinar. Ia tersenyum melihat Dinar yang makan rujak dengan perasaan bahagia seolah itu merupakan makanan paling nikmat sedunia.

Aditya mengambil tissu di sampingnya dan dengan spontan mengelap sisa sambal rujak yang berwarna kecoklatan dan lengket di ujung bibir Dinar.

Dinar melebarkan kedua matanya tmsambik melirik kesamping. Ia sama sekali tak menyangka Aditya akan melakukan hal seperti ini kepadanya, jantung nya terasa berdebar, perasaan itu muncul lagi tiap kali Aditya memberikan perhatian lebih kepadanya. Sepertinya memang benih-benih cinta sudah muncul di hati Dinar.

Dinar menatap Aditya dengan tatapan heran. Namun justru Aditya bersikap biasa seolah ini bukanlah suatu hal besar. "Makannya pelan-pelan. Nanti kalau kurang bisa beli lagi." tukas Aditya dengan santai nya namun membuat Dinar bahkan tak bisa berkedip mendapatkan perlakuan seperti ini.

Entah Aditya adalah jenis pria apa yang begitu baik. Ia menuruti keinginan ngidamnya meskipun dia bukanlah ayah dari anak yang di kandung Dinar. Bahkan mereka saja belum resmi menikah.

"Emm Adit, nanti kau tak perlu mengantar ku ke Bandung."

"Memangnya kenapa?"

"Aku mau ke apartemen kak Dirga. Katanya kak Dirga dan kak Marsha juga mau ke Bandung jadi biar sekalian saja."

"Tapi apakah tidak apa-apa?"

"Memangnya kenapa?"

"Ya karena aku yang menjemputmu di Bandung, jadi seharusnya aku yang mengantarkan mu pulang." Aditya tentu merasa tak enak karena ia yang seharusnya bertanggung jawab mengantar kembali Dinar ke Bandung.

"Tak masalah. Aku yakin Ayah pasti mengerti."

Bersambung...!

avataravatar
Next chapter