2 Apa Harus Berpisah??????

"Apa kamu bahkan tidak berencana untuk memberitahuku soal rencana kamu yang akan ke Bandung pagi ini? apa sebenarnya kamu sudah menganggap aku tidak ada di dalam kehidupan kamu?" amarah Sheril sangat meledak pada akhirnya, Sheril terus saja berbicara, ketika Dipo bahkan tidak melihat ke arahnya, ia terus sibuk dengan usahanya memasang dasi di lehernya tanpa memperdulikan Sheril yang tengah marah besar padanya.

Dipo sudah terbiasa dengan amarah Sheril seperti itu, fakta bahwa pernikahan mereka hanya terasa manis di usia beberapa bulan pernikahan saja, selepas itu hingga sekarang, keduanya hanya bertahan demi alasan yang bahkan tidak mereka ketahui, lebih tepatnya Sheril dan Dipo tidak menyadari, apa sebenarnya yang membuat mereka tetap mempertahankan satu sama lain, mempertahankan rumahtangga yang terjalin tanpa rasa saling menghargai, dan juga rangkaian pertikaian seakan menjadi momok yang terus merundung hubungan keduanya.

Saling menyakiti sudah sering terjadi akibat pertikaian itu. Keduanya juga belum terikat oleh kehadiran anak di tengah-tengah mereka, keturunan yang sejak lama di tunggu oleh Sheril tidak juga kunjung muncul mengisi kehampaan dalam hubungannya dengan Dipo, Sheril selalu berpikir, bahwa Dipo tidak pernah memikirkan soal keturunan dalam hubungan mereka, Dipo selalu mengelak semua pembahasan perihal anak dalam hubungan pernikahan mereka.

"Apa kamu tidak mendengarkanku?" Sheril meraih lengan suaminya dan berusaha membalikkan tubuhnya agar menghadap padanya.

"Lepaskan tanganku, apa-apaan kamu ini?" Dipo menepis tangan Sheril yang sedang berusaha memintanya untuk menyimak semua amarah yang sedang ia luapkan pagi itu. "Aku sedang buru-buru sekarang, atau ayah akan memarahiku jika terlambat, kamu mau aku mengatakan padanya bahwa kamu yang sudah membuat aku terlambat?" Alih-alih menjawab semua pertanyaan Sheril, Dipo sebaliknya malah balik memarahi Sheril karena telah menganggunya disaat dirinya tengah terburu-buru.

"Lakukan apapun yang kamu mau? Bilang pada ayah, bahwa kita bahkan sudah tidak pernah berhubungan layaknya suami istri selama beberapa bulan terakhir ini, kamu bisa mengatakan itu? Katakan padanya bahwa kamu tidak ingin lagi denganku?". Dipo hampir saja mendaratkan telapak tangan besarnya di pipi Sheril, setelah mendengar betapa Sheril telah di luar kendali dan mengatakan hal-hal yang sangat tidak pantas di hadapannya.

"Kamu mau menamparku? Sekarang kamu bahkan bisa melakukan hal itu padaku? Lakukanlah!!!! Lakukan apapun yang bisa membuatmu puas untuk menyakitiku, aku memang tidak pernah kamu sakiti secara fisik, tapi perlu kamu tahu, jauh di dalam diriku, rasa sakit itu seperti sudah mendarah daging di dalam tubuhku, menyatu menjadi aliran darah yang terus menggigitku sedikit demi sedikit, hingga membuat luka yang begitu besar, namun kamu tetap tidak bisa melihat itu, entah harus seberapa besar lagi luka ini ada dalam diriku, hingga mampu terlihat oleh mata yang dulu begitu hangat memandangku ini" Sheril memandang wajah suaminya yang saat itu penuh dengan amarah seperti dirinya, dia menyentuh mata suaminya sambil terus berbicara padanya.

"Mata ini kini begitu dingin, aku bahkan sampai ingin menyentuhnya, ingin merasakan dengan jemariku, seberapa dinginnya mata ini memandangku, kemana kehangatan itu pergi? Kau bawa kemana dia?" Sheril jatuh tepat di bawah kaki suaminya, ia tertunduk menangis, ia tak bisa lagi menahan rasa sedih dan sakitnya saat itu, betapa ia menyadari semua perubahan pada pria yang dulu sangat ia cintai, kini ia bahkan tidak tahu, apa cinta itu masih ada atau yang tersisa hanyalah rasa memiliki yang dipenuhi dengan ego dan ambisi berlandaskan hubungan pernikahan yang Sheril genggam kuat.

"Bangunlah!! Apa yang sedang kamu lakukan sebenarnya, aku hanya akan berangkat kerja dan kamu membuat semua drama ini, kita bicarakan semuanya nanti, aku harus segera berangkat sekarang" Dipo berlutut di hadapan Sheril, menyentuh pipinya dan mengusap air matanya, ia berbicara denga lembut, berusaha membuat emosi Sheril menurun.

"Kamu selalu tidak memiliki waktu untuk kita berbicara satu sama lain, bagaimana bisa aku meminta waktumu di saat kamu sendiri hanya tidur dan makan lalu pergi ketika ada di rumah". Sheril kemudian kembali berdiri di bantu Dipo yang membangunkannya, sambil terus terisak Sheril masih berusaha mencari peluang untuk mengatakan semua isi hatinya.

"Baiklah, sepulang dari Bandung nanti, kita bicarakan semuanya". Dipo kemudian mencium kening Sheril dan berlalu mengambil tasnya yang berada di atas meja dan langsung ke garasi.

Sheril tidak berbicara apa-apa lagi, dia juga tidak ingin membuat suaminya tambah terlambat dan mengakibatkan Dipo dimarahi ayahnya yang sangat tegas dan disiplin.

Mobil Dipo semakin jauh dan akhirnya sudah tidak terlihat lagi, Sherilpun menutup gerbang dan kembali masuk ke dalam rumah.

"Apa yang harus aku lakukan padanya? Dia selalu saja melakukan apapun semaunya, semua pertanyaanku tidak terjawab satupun, namun dia tetap merasa dirinya benar" Sheril menggerutu sendiri di dalam rumah, kemudian dia duduk di sofa ruang TV dan memandangi langit-langit di rumahnya sambil membayangkan apa yang akan terjadi jika dirinya berpisah dengan Dipo.

Akhir-akhir ini, dipikiran Sheril selalu terbersit upaya perpisahan dengan Dipo, dia sudah merasa tidak memiliki alasan untuk terus bersama, rasa sakitnya mendorong dirinya untuk memikirkan semua hal itu.

"Apa dia akan langsung move on setelah berpisah denganku? Atau mungkin dia akan bersedih seperti yang akan aku rasakan jika harus berpisah dengannya" Sheril berpikir jika mereka berpisah pasti Dipo akan dengan mudah mencari pengganti dirinya, bukan hal sulit bagi Dipo mendapatkan seorang gadis, bahkan pihak keluarganya mungkin akan lebih bahagia jika Dipo menceraikan dirinya.

Sheril selalu merasa bahwa ayah dan ibu mertuanya yang sangat kaya raya itu tidak begitu menyukainya, disamping latar belakang Sheril yang berasal dari keluarga biasa saja dan juga karena persoalan dirinya yang tidak segera bisa memberikan generasi penerus dari putra pertama mereka.

avataravatar
Next chapter