3 BAB 3

Katanya rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, melepaskan beban dari dunia dengan tertawa bersama saudara, tidur di atas paha sang mama sembari bercerita dan mendapatkan satu atau dua nasihat dari papa. Tapi, Regal tidak bisa menemukan semua hal itu di rumahnya sendiri.

Dia tidak pernah ingat kalo rumahnya bisa seramai sekarang, ada suara televisi yang menyala dan suara orang tertawa. Regal bangkit dari kasurnya, keluar dan melihat di ruang bawah ada ayah dan ibunya. Kedua mata Regal membulat sempurna, pemandangan yang baru dia lihat, itu nyata kan?

Bergegas, Regal menuruni tangga dan memeluk ibunya dengan erat. "Ibu..Ibu..Regal kangen."

"Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Wanita paruh baya yang dipanggil Ibu itu memeluk tubuh Regal. Sementara Ayahnya tersenyum dan ikut menepuk-nepuk pundak Regal, berusaha menenangkan.

"Ibu jangan pergi lagi." Dia menangis, mengeratkan pelukkan dan berusaha terus mengendus aroma tubuh Ibunya yang selama ini dirindukan.

"Ibu ada di sini, Ibu gak pernah ke mana-mana."

Regal menatap wajah ibunya, lamat dan kemudian berpindah menatap wajah ayahnya. "Bunda ke mana, Yah? Kalo Bunda liat di rumah ada Ibu gimana?"

Ayah terlihat bingung. "Bunda siapa?"

"Istri Ayah." Ayah tertawa, mengusap pucak kepala Regal.

"Istri Ayah kan, cuma Ibu. Kamu kayaknya kecapekan, mau makan aja? Ibu udah masak."

Meski bingung dengan semua situasi ini, Regal menganggukkan kepalanya. Ibu dan ayah yang berada di sisi kanan dan kiri, sama-sama mengeratkan jemari mereka ke jemari milik Regal, menuntunnya ke meja makan. Di mana sudah terhidang masakan kesukaannya, gudeg.

"Makan yang banyak, biar anak Ibu cepet gede." Ibu menyendokkan nasi di piring Regal, kemudian berganti ke piring Ayah.

Regal hanya menatap semuanya dengan pandangan bahagia, hingga tidak terasa air matanya kembali jatuh. "Bu, Yah, ini bukan mimpi kan? Kalo pun ini mimpi, Regal harap selamanya Regal terjebak di sini."

"Kamu kebanyakan main game cah bagus. Ngomongnya jadi ngelantur." Ujar Ayah yang ditanggapi ibu dengan anggukkan kepalanya.

Mereka makan dengan diselangi obrolan-obrolan ringan, tak jarang Regal dibuat tertawa. Sungguh untuk segala alasan, Regal tidak pernah menyalahkan siapa pun termasuk ayah atau ibu yang memilih meninggalkannya. Tapi boleh kan kalo Regal bahagia? Sekali ini aja, meskipun dalam mimpi.

Acara makan bersama mereka, tiba-tiba harus terhenti karena semua lampu mendadak padam. Gelap sekali, Regal tidak bisa melihat apa pun. Dia berusaha memanggil ibunya tapi tidak ada jawaban, berganti memanggil ayahnya tapi yang Regal dengar justru suara pertengkaran.

"Siapa anak ini, Mas? Beraninya kamu bermain cinta di belakang aku?!" Suara Bunda, Regal mengenali suara barusan.

"Dan kamu perempuan jalang, berani-beraninya kamu menggoda suamiku. Cih, saya tidak sudi mengurus anak sialan ini!!" Regal menutup telinganya, dia benci harus mendengar kalimat barusan. Kejadian 10 tahun lalu, bagaimana mungkin semuanya kembali terulang.

"Uang ini, cukup kan untuk mengganti semuanya. Saya harap kamu gak pernah hadir di kehidupan kami." Bunda melemparkan sebuah cek ke arah Ibu. Regal bisa melihat, bagaimana Ibu mengambil cek itu dan pergi meninggalkannya.

"Ibu...Ibu..jangan tinggalin Regal." Sekeras apa pun dia berteriak, Ibu tidak pernah mau mendengarnya. Wanita itu, pergi meninggalkan Regal tanpa mengucapkan kata selamat tinggal.

Regal menangis histeris, bayangan anak kecil berusia 5 tahun yang menangis membuatnya merasakan sakit yang teramat di hatinya. Dengan langkah tertatih Regal mendekati dan memeluk tubuh kecil miliknya dahulu, dirinya saat 5 tahun lalu dan dirinya yang sekarang sama-sama saling mendekap seolah memberikan kekuatan.

Keduanya masih menangis dalam diam, sebelum sebuah tangan tiba-tiba terulur ke arahnya dan membuat mereka menoleh. Samar, Regal melihat seorang gadis yang tengah tersenyum padanya. Gadis itu membisikan sebuah kalimat, suaranya teramat pelan sekali seumpama sapuan lembut angin dia mengatakan 'jangan menangis'.

Regal tersentak, napasnya terengah-engah. Saat pertama kali membuka matanya, Regal dikejutkan dengan wajah Zeolya yang tengah menatap lamat wajahnya. Gadis itu bahkan mengulurkan tangannya, sejenak Regal dibuat terdiam. Rasanya seperti dejavu, Regal menghela napas panjang sebelum dia menyambut uluran tangan Zeolya.

"Mimpi buruk?" Regal memilih menghindar dari pertanyaan barusan dengan ikut mengajukan pertanyaan lain.

"Udah berapa lama aku ketiduran?" Tanya Regal dengan suara serak, khas orang bangun tidur.

"Coba kamu liat jam." Regal melirik arloji di tangannya, sebelum kemudian dia berseru kaget.

"Astaga!! Kita bolos sampe jam pulang?" Zeolya menganggukkan kepalanya.

"Kenapa gak bangunin aja?"

"Soalnya, kamu keliatan butuh istirahat."

Regal mendengkus, sebelum dia kembali bicara. "Kapan kita mulai sesi belajar bersama?"

"Kalo hari ini aku gak bisa, ada acara. Besok aja gapapa kan?"

Regal menyetujui usulan Zeolya, rasanya dia juga butuh istirahat sejenak, guna memulihkan pikiran dan hatinya dari mimpi buruk yang dialaminya tadi. Sebelum keduanya benar-benar berpisah, Zeolya memberikan selembar kertas hasil coretan tangannya pada Regal.

"Jangan mimpi buruk lagi, Regal." Zeolya tersenyum begitu lebar, hingga membuat kedua matanya membentuk lengkungan seumpama bulan sabit, membuat Regal hampir lupa bagaimana caranya bernapas.

******

Waktu itu, Regal baru berusia 10 tahun. Regal mengalami demam tinggi dan tidak bisa bernapas dengan baik karena hidungnya tersumbat, tidak ada orang rumah yang mengetahui keadaannya selain kakak tirinya; Galang yang tanpa sengaja masuk ke kamarnya.

Galang terlihat begitu panik, dengan cekatan dia memanggil Ayah dan Bunda tapi keduanya justru tampak tidak peduli. Mereka malah menyuruh Galang kembali ke kamar dan berkata jika Regal pantas menderita seperti itu. Regal hanya bisa menangis mendengarnya, membuat keadaanya jadi lebih parah karena dia semakin kesulitan untuk bernapas. Rintihan yang keluar dari mulutnya, sama sekali tidak didengarkan.

Sepanjang malam, Regal menahan rasa sakitnya sendiri. Sesekali dari mulutnya, Regal memanggil Ibunya berharap wanita itu datang dan memeluknya kembali. Namun sekeras apa pun Regal mencoba, tetap saja pada akhirnya dia hanya bisa menemukan dirinya sendiri.

Sejak kejadian itu, Regal selalu berusaha untuk tidak sakit dengan mengatur pola hidupnya dengan baik. Meski begitu, tetap saja ada saat di mana Regal jatuh sakit seperti kali ini misalnya. Badannya demam dan Regal merasakan pusing di kepala, dia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak di kamarnya dalam keadaan sakit begini jadi Regal memutuskan untuk pergi ke apotek.

Saat ini Regal tengah duduk di trotoar, motor pespanya dia biarkan terpakir di depan apotek. Udara malam yang dingin membuat Regal makin menggigil. Jaket tebal yang dia kenakan tidak berpengaruh banyak. Tapi Regal memilih untuk tetap bertahan di posisinya, malam ini Regal tidak ingin pulang.

Dia baru saja mendongakkan kepalanya dan matanya lantas menangkap sebuah objek yang familiar. Zeolya, dia melihat gadis itu tengah berjalan ke arah pedagang angkringan. Sebuah lengkungan kecil tercipta tanpa sadar dari bibir Regal bertepatan dengan Zeolya yang menoleh ke arahnya.

"Regal?"

"Hai, Zeolya." Regal berjalan medekat, kemudian ikut memesan satu porsi nasi kucing dan segelas bandrek.

"Kamu ngapain tadi duduk di trotoar? Kamu baik-baik aja, kan?" Tanya Zeolya, entah kenapa dia merasa cemas apalagi ketika melihat wajah pucat Regal.

"Kamu sendiri abis ngapain? Belepotan banget."

Zeolya baru sadar kalau dia belum membersihkan wajahnya, setelah menyelesaikan lukisannya tadi dia lantas pergi untuk mencari makan. "Ah, ini pasti gak sengaja kena cat air."

Regal meraih tisu yang ada di meja, lantas membasahkannya dengan sedikit air dari teko dan mengusapkannya ke wajah Zeolya. "Lain kali sebelum pergi, kamu ngaca dulu." Zeolya dengan kikuk mengambil alih tisu dari tangan Regal, kemudian dibuat tersentak ketika mendapati suhu badan Regal tidak dalam keadaan normal.

"Kamu sakit? Badanmu demam." Regal tertawa melihat reaksi Zeolya.

"Ada yang lucu, Regal?"

"Kamu keliatan cemas, buat apa? Orangtuaku saja, kalo tau aku sakit reaksinya biasa saja."

Zeolya hendak bicara, tapi tidak jadi karena pesanan mereka datang. Regal mulai memakan nasi kucing miliknya sebelum dia mengernyitkan dahinya.

"Kenapa, mulutmu terasa pahit?"

"Sedikit." Regal menyingkirkan makanannya dan beralih pada segelas bandrek miliknya.

"Kita ke apotek sebelah, beli obat ya."

Regal menunjukkan plastik yang ada di dalam kantung jaketnya, kemudian menyengir lebar. "Udah beli kok."

"Sudah diminum obatnya?"

"Belum."

Spontan saja Zeolya menjitak dahi Regal, gemas. "Sudah tau sakit bukannya diminum."

"Aww..makin sakit nih jadinya."

Zeolya tidak mengindahkan ucapan Regal, gadis itu sudah sibuk membuka plastik obat dan menyuguhkannya. "Cepetan minum, abis itu makan. Biar pun rasanya pahit, kamu harus makan meski sedikit juga."

Regal dibuat tertegun, omelan Zeolya barusan membuatnya teringat dengan sosok Ibu. Rasanya sudah lama sekali tidak ada orang yang mengomelinya ketika dia sakit dan tidak napsu makan. Tanpa sadar Regal menangis, beberapa orang yang sedang makan melihat ke arahnya tapi Regal terlihat belum sadar dengan apa yang terjadi. Zeolya yang mengerti, lantas membawa tubuh Regal ke dalam dekapannya.

Dia menepuk-nepuk pelan bagian punggung Regal, sembari membisikan sebuah mantra yang telah lama Regal ingin dengar. "Semua akan baik-baik saja, Regal."

[BERSAMBUNG]

avataravatar