5 Tante Yang Matre

Selamat Membaca

Semilir angin yang menerpa membuat Reynand merasa kantuk. Saat ini dia tengah duduk di balkon kamarnya, melihat indahnya bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Tubuhnya ingin segera menyatu dengan empuknya tempat tidur. Namun tidak dengan pikiran Reynand. 

Reynand  terus memikirkan perihal Gina yang dirundung tempo hari. Memang, mereka sudah biasa mendapat rundungan dari siswa-siswi SMA Taruna Bangsa. Namun kemarin? Itu sudah sangat keterlaluan.

Reynand benci. Benci dengan kehidupannya sendiri. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya, kecuali saat bersama si cantik Gina.

"Gue harus ngelakuin apa supaya bisa lepas dari segala bulian ini?" monolog Reynand kesal.

Laki-laki itu merutuki dirinya sendiri. Mengapa kemarin ia rela-rela saja dirundung? Bukankah sebagai laki-laki ia harus berani melawan? Tidak, Reynand bukan tidak melawan dalam artian membiarkan dirinya dipukul berkali-kali dan menangis seperti anak lugu, tidak sama sekali. Dia hanya terus memberi celah bagi para perundung itu untuk terus memukulinya walaupun sedikit, memalaknya, dan lain-lain.

Saat melihat Gina dirundung begitu kejamnya kemarin, Reynand langsung berpikir, apakah dia harus terus hidup seperti ini? Menerima rundungan dan cercaan dari masyarakat. Dirinya seolah-olah merupakan orang yang paling hina di dunia ini. Padahal yang berbuat salah adalah Rendi. Ah, iya, hukum alam memang begitu, bukan? Satu orang berbuat salah, orang terdekat mereka pun akan terkena dampak buruknya.

Bukan tidak bisa Reynand melawan balik semua perundung tersebut. Namun balik lagi, apa keuntungannya bila dia melawan? Dirinya hanya akan mendapat masalah karena berkelahi di sekolah.

"Reynand."

Reynand sedikit terhenyak. Mungkin karena terlarut dalam pikirannya, ia tidak mendengar suara pintu terbuka.

"Iya, Ma."

Nagita duduk di sebelah Reynand lalu mengelus pelan lengan sang anak. 

"Kenapa kamu masih di luar? Masuk, gih, ke kamar. Besok kamu sekolah, harus belajar dengan keadaan fresh. Supaya bisa dapat nilai yang bagus."

"Emang nilai Rey selama ini gak bagus, Ma?"

"Masih kurang, Nak. Kamu harus dapat ranking 1, baru bisa banggain mama dan Papa," ujar Nagita.

Reynand mendecak kesal. 

"Gue kira bakalan datang buat ngobrol yang baik-baik, ternyata sama saja. Nilai, nilai, dan nilai!"

"Gini, deh. Mama sama Papa selalu nuntut Rey buat dapat ranking 1, supaya kalian ngerasa bangga. Padahal buat segelintir orang tua diluar sana, masuk 2 besar itu udah bagus banget. Apalagi Rey selama sekolah paling tinggi cuma dapet ranking 1, jadi nilai Rey termasuk gak anjlok, Ma. Kecuali, nih, ya, Rey pernah dapat ranking 1, terus tiba-tiba gak dapet lagi. Itu baru boleh Mama sama Papa marah! Karena Rey gak mempertahankan posisi Rey! Kalau ini? Rey bahkan tetap di 5 besar, Ma! Cuma gak di posisi pertama, itu aja!"

Intinya di sini adalah, kalian menuntut Rey buat jadi yang terbaik, kalian sendiri udah jadi orang tua yang terbaik belum? Orang tua yang baik itu gak akan memaksa anaknya buat mencapai hal yang diluar batas kemampuan anak itu sendiri, orang tua yang baik itu gak akan berkasus, sampai berdampak ke anaknya. Orang tua yang baik itu gak akan berantem di depan anaknya, yang bikin mental anak itu terganggu."

"Apa ada yang salah dari ucapan Rey?" final Reynand mengutarakan segala isi hatinya.

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reynand. Wajahnya tertoleh ke samping.

"MAMA GAK PERNAH NGAJARIN KAMU BUAT JADI ANAK KURANG AJAR, REYNAND!" teriak Nagita emosi.

"IYA! MAMA GAK PERNAH NGAJARIN REY BUAT JADI ANAK KURANG AJAR, TAPI MAMA JUGA GAK PERNAH NGAJARIN REY BUAT JADI ANAK YANG SOPAN SAMA ORANG TUANYA!"

Dada Reynand naik turun karena amarah. Ia menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. 

"Kalian berdua sibuk sama kerjaan masing-masing, sama kehidupan di luar. Sampai kalian lupa, kalian masih punya anak yang masih butuh kasih sayang."

Tangis Nagita pecah. Ia berlari meninggalkan kamar putra semata wayangnya itu.

Reynand meremas rambutnya sendiri. 

"Astaghfirullahaladzim."

***

"Kamu harus bersyukur, Reynand. Kamu masih punya orang tua yang lengkap, yang masih bersedia biayai hidup kamu dan memberikan segala fasilitas yang kamu pakai sekarang. Sementara aku? Ayah dan Bunda buang aku, ninggalin aku sama Tante Paula, dan liat gimana kehidupan aku sekarang? Aku tinggal sama Tante aku sendiri, tapi serasa tinggal sama majikan, tau gak! Kerjaan rumah semua aku yang ngelakuin, tapi makanan aku dibatasi cuma sekali dalam sehari. Masih bagus aku gak disuruh kerja," jelas Gina tanpa sadar ia telah mengeluarkan air mata.

Reynand menyesal sekarang. Menyesal kenapa ia mengeluh pada Gina tadi, padahal gadis itu jauh lebih menderita. Laki-laki itu mendekap erat tubuh sahabatnya. Mengelus pelan rambut hitam Gina. 

"Maaf, Gina. Maaf, karena aku kurang bersyukur sama kehidupan aku sekarang. Maaf, karena aku kurang ambil tahu tentang kehidupan kamu yang jauh lebih menyakitkan."

"Aku gak papa, kok."

Reynand tersenyum kecut. Mereka dua orang yang sama. Dua orang yang sama-sama menginginkan kebahagiaan. 

Nyatanya harta tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Reynand anak tunggal, dialah penerus satu-satunya Ren Group. Namun, apa arti itu semua bila ia tidak bahagia?

Entah apa alasannya orang tua Reynand selalu menuntut dirinya untuk sempurna. Sama sekali tidak sepadan dengan perlakuan mereka.

"Gina."

"Iya."

"Kemarin aku, kan, mau ngajak kamu ke mall, tapi gak jadi karena kejadian itu. Gimana kalau kita ke mall-nya sekarang?"

"Boleh, tapi harus izin sama Tante aku dulu, ya."

"Iya, aku tahu, kok. Yuk! Berangkat."

Reynand membelah jalanan menuju rumah Gina. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan kecil melingkar di pinggangnya. Tidak hanya itu, kepala Gina juga bersandar di punggung laki-laki itu.

"Rasanya nyaman, Gina," batin Reynand berucap.

Reynand tersenyum sepanjang perjalanan. Entah kenapa jantung Reynand berdegup kencang. Rasanya sangat gugup sekaligus bahagia diperlakukan seperti ini oleh Gina. Apakah ini yang dinamakan cinta? Dan ... kebahagian?

Sesampainya di toko bunga milik Tante Paula, Reynand dan Alaska turun dari motor lalu berjalan beriringan untuk masuk ke dalam toko bunga.

"Selamat siang, Tante Paula."

Tante Paula yang sedang bermain ponsel seketika terhenyak saat Reynand memanggilnya.

"Iya. Kamu siapa, ya? Kenal sama Gina?"

"Saya temannya Gina, Tante. Saya kesini mau minta izin buat ngajak Alaska jalan. Boleh, Tante?"

Tante Paula mendecak kesal. 

"Gak boleh! Malah hari ini Gina mau saya suruh kerja antar bunga ke rumah pelanggan, karena karyawan saya lagi izin sakit. Jadi saya harap kamu mengerti."

Reynand meraih dompetnya di saku celana lalu mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah. Ia menyodorkan uang sebesar Rp 500.000,00 itu kepada Tante Paula.

 "Semoga ini cukup untuk nyewa orang buat anterin bunganya, ya, Tante."

Tante Paula menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dengan ragu-ragu ia menerima uang tersebut. 

"Ma—makasih, ya, Nak?"

"Reynand, Tante."

"Oh, iya. Makasih, ya, Reynand. Kamu boleh bawa Gina jalan-jalan." 

"Terima kasih, Tante. Kami permisi dulu," ucap Reynand sembari menyalami Tante Paula, begitu pun Gina.

Sesampainya di depan motor, Alaska menepuk lengan Reynand kuat. 

"Kenapa kamu kasih uang ke Tante Paula? Kamu keluarin uang buat hal yang gak penting, tau gak! Seharusnya tadi aku aja yang anterin bunganya, kita ke mall-nya lain kali."

"Gak papa, Gina. Itu bukan masalah besar, kok." jawab Reynand.

Gina menghela nafas panjang. 

"Karena inilah aku suka nyadarin kamu buat selalu bersyukur, Nand. Kamu punya uang segitu banyak di dompet kamu, yang bisa berguna kapan aja. Kamu jauh lebih beruntung, Reynand."

"Mungkin dari segi materi aku beruntung, tapi untuk kasih sayang dan hal lainnya, aku sama kayak kamu. Kita kurang dalam hal itu, Gina," jelas Reynand, 

"Udah, kamu gak usah khawatir kalau Tante Paula gak kasih kamu uang jajan. Selama ini, kan, kita selalu jajan sama-sama. Kamu aman sama aku, Gina."

Alaska tersenyum simpul. "Makasih, Nand."

"Sama-sama, Cantik"

Bersambung

avataravatar
Next chapter