42 Selalu Di Dekat Reynand

Selamat Membaca

Bangku itu kosong sejak sebulan yang lalu. Lelaki tampan berambut hitam  pemililk bangku disebelahku menghilang. Beberapa orang telah diundang oleh kepolisian untuk diberi pertanyaan seputar kegiatan perempuan itu. Aku? Tidak, kami bukan teman dekat. Aku tak punya teman, sebenarnya.

Reynand, namanya. Laki-laki dengan kulit putih mulus dan berhidung mancung alis tebal itu. Kaki jenjangnya tampak indah dipadu celana panjang abu-abu. Sering kali, ia duduk di bangku itu sembari mengulas senyum. Saat jendela di samping bangku terbuka, semilir angin menerbangkan rambut hitam lurusnya yang indah.Pemandangan itu selalu membuatku mendamba untuk mengelus rambut lembut Reynand. Senyumya menggelitik rasa di dada untuk menyesap bibir merahnya yang merekah.

Di sini di bangku sudut sebelah kiri aku selalu mengamati laki-laki yang bagiku paling tampan seperti peri di negeri dongeng. Sesekali dia memulas bibir dengan pelembab, menambah godaan untuk menggigit. Aku juga sering mendapatinya memainkan gawai saat pelajaran berlangsung. Kadang juga dia menggigiti ujung pulpen, mungkin sebagai ganti lolipop cokelat yang sering dia emut. Ah, aku begitu merindukan peri-ku, Reynand.

Seorang gadis dengan tubuh gemulai, duduk di bangku Reynand. Dia mengelus meja itu. Wajahnya terlihat murung, ada cekungan gelap di bawah mata. Hampir setiap hari dia datang duduk di bangku itu. Gina, si gadis biasa yang cantik merupakan kekasih Reynand.Reynand dan Gina adalah pasangan sangat serasi. Mereka baru memadu kasih selama dua tahun sebelum Reynand menghilang tanpa jejak. Aku tak yakin, tetapi Gina tentu belum sempat menikmati keindahan tubuh kekasihnya yang tampak sempurna itu.

***

Suara adu parang dengan benda tumpul memenuhi ruangan. Mulai dari leher, paha, kaki, lalu beralih pada dada yang montok. Parang di genggamanku terus menari di atas kulit pucat itu. Seringai kecil kumunculkan. Entah sejak kapan, kegiatan memotong ini menjadi sangat menyenangkan. Setiap potongan kumasukkan dalam plastik hitam. Tanganku yang tidak ditutupi sarung tangan memerah karena darah.

"Gina, liat suntikan ayah?" Ayah muncul tiba-tiba dengan mengenakan  celemek dan sarung tangan karet. Wajah dan hidungnya ditutupi oleh masker.Aku hanya menggeleng dengan wajah yang selalu ayah anggap menyebalkan tanpa ekspresi. Kudengar dia mengeluh karena sudah dua minggu selalu kehilangan barang; jarum suntik, formalin, alkohol, dan gliserol.

"Tidak usah didengar. Ayahmu itu memang pelupa," ucap Ibu yang sedang membungkus ulang potongan ayam. "Antar ke rumah Bu Diana!" Dia menyodorkan plastik hitam padaku.

***

"Terimakasih," tuturku pada Bu Diana yang sudah mengambil ayam pesanannya.Aku duduk lama di motor, memandang rumah dua lantai di depan rumah Bu Diana. Di teras atas, Reynand biasa duduk dengan headphone terpasang. Rambutnya digelung hingga menampakkan leher jenjang yang indah. Kadang kudapati dia bergerak memutar, seakan sedang berdansa. Dengan senyum, aku mulai berfantasi seakan berada di sana, menari dengannya.Mendadak rindu menguasai hati. Sudah lama aku tak melihat Reynand. Semua orang seperti mulai menyerah mencari, kecuali keluarganya.

Kini, motorku melaju menuju gang buntu di ujung perumahan. Di sana ada rumah kosong yang konon angker. Menurut kabar yang beredar, dua pemilik rumah mati mengenaskan di sana. Pemilik pertama mati dibunuh perampok dan pemilik yang kedua mati tersetrum listrik.Kakiku mulai memijak ubin cokelat yang dulu berwarna putih itu. Tidak ada rasa takut meski cerita horor yang tersebar mengenai rumah ini. Aku justru merasa aliran bahagia yang menderas dalam setiap sarafku.

Tatapanku tertuju pada sofa lusuh. Seorang laki-laki berbaju putih duduk menanti kedatanganku. Dia menatap ke depan dengan mata besar indahnya.

"Aku datang, Sayang," lirih Reynand di samping telinganya. Kedua tanganku menangkup pipi putihnya. Kutempelkan bibir di kening gadis kecilku, Gina.

***

"Selamat pagi!" Memasang wajah ceria, aku mendatangi pasien remaja setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di ruang periksa.

"Reynand!" Tidak seperti biasa, wajah pucat itu terlihat murung tanpa senyuman saat melihat kehadiranku.

"Ada apa?" Kecerianku hilang seketika mengikuti kesedihan pasien remaja.Cukup lama dia diam saat aku mengajukan pertanyaan karena penasaran, sepertinya ragu untuk menjawab.

"Bagaimana ..." ucapan pasien remaja terhenti, ada guratan sedih dari raut wajah yang aku tatap sekarang. "Apa aku akan meninggal, sayang?"

"Hussst!" Sedikit mendekatkan wajah, aku berusaha menghibur layaknya seorang kakak kepada sang adik.

"Kesembuhan hanya milik Allah, jangan berhenti untuk berdo'a."

"Seandainya aku tiada, siapa yang akan menjaga kamu, sayang?"Ya Allah.Pemikiran yang dewasa.Bukan khawatir tentang hidupnya, justru dia memikirkan kehidupanku. Laki-laki yang menyandang status pacarku. Itu yang pernah dia ceritakan kepadaku. Memang patut dia cemas. Aku akan hidup sebatang kara, kalau dia sampai dia meninggalkan dunia ini.

"Karena itu kamu harus sembuh, agar bisa membahagiakan aku,Reynand" Aku hanya bisa menenangkan dengan kata-kata sebagai motivasi.

"Sayang kamu selalu bohong, penyakit aku nggak bisa sembuh 'kan." Hanya bisa berbaring dengan berbagai alat medis, pasien remaja meneteskan airmata saat mengucapkan kalimat yang menggetarkan hati.

Mengambilkan tisu di atas nakas, aku menghapus airmata pasien remaja yang mulai mengalir deras. Meski ingin menangis, tetapi kutahan agar tak menambah kesedihan.Aku juga terdiam, karena mulutku memang tidak memiliki jawaban. Penyakit kanker otak yang dia derita cukup lama, sudah memasuki stadium akhir yang sulit untuk diobati.Bukan menyerah!Namun, Fakta!

Betapa ganas penyakit ini menggorogoti tubuh pasien remaja, meski segala pengobatan telah dilakukan, dan sekarang hanya keajaiban Sang Khalik yang menjadi harapan terakhir. Benar! Saat semua usaha telah dinilai gagal, cukup jadikan do'a sebagai kekuatan! Pasrah dengan segala keputusan dari Allah.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban kamu?" Sangat kuat aku menggenggam tangan pasien remaja yang masih saja menangis tanpa mengeluarkan suara.Ini bukan tangisan pertama.Berulang kali aku pernah memergoki pipi pasien remaja dipenuhi bulir jernih dari pelupuk mata. Mungkin dia merasa tidak adil menjalani hidup seperti ini.

Lalu apa kabar aku yang selalu mengeluh?

Saat nyawa yang menjadi taruhan, ujian hidup aku bagaikan buih bila dibandingkan dengan ujian hidup kekasih ku, Reynand. Memang seperti itulah kodrat manusia, selalu merasa kurang puas dengan segala yang telah mereka miliki.Ya Rabb.

***

Dengan hati yang masih pedih saat meninggalkan kamar pasien remaja, langkah kaki ini berjalan menuju ruang periksa untuk mengambil tas dan gawai.Aku ada kegiatan di luar rumah sakit bersama Renna. Kami harus menghadiri pertemuan rutin sesama dokter di sebuah laboratorium, untuk melakukan riset bersama dan juga berbagi ilmu kedokteran dari berbagai pengalaman kami selama mengobati pasien.Memasuki ruangan yang memiliki luas sekitar 4x4 meter, aku tersontak sekaligus terhenti saat mendapati sosok lelaki yang ingin kuhindari untuk sementara waktu.

"Mas Davin!"Duduk di kursi yang biasa diduduki seorang pasien yang periksa, dia tersenyum begitu melihatku.

"Sibuk?" tanya mas Davin tanpa beranjak dari kursi tersebut.

"Iya," jawabku singkat sembari melanjutkan langkah menuju meja periksa depan Mas Davin.

Merasa kesal melihat wajahnya, aku terus menunduk dengan tangan sibuk memasukkan barang pribadi ke dalam tas.

"Bisa bicara sebentar?"

"Aku nggak ada waktu, Mas."

"Gina!" Tangan kekar Mas Davin menghentikan kesibukanku dengan menggenggam erat tangan ini.Aku langsung memandang sinis ke arah Mas Davin yang sudah dalam posisi berdiri. Kami berhadapan sekaligus saling menatap, yang hanya ada meja di tengah-tengah kami.

"Kenapa kamu pergi waktu aku datang di cafe kemarin?" Tatapan tajam itu seolah menyelidik.

"Karena memang aku harus pulang."

"Tanpa Renna?"Sial! Aku harus mencari alasan apa lagi?

"Kamu cemburu?" lanjut pertanyaan Mas Davin saat aku terdiam.

"Nggak!" Tentu saja aku mengelak dengan mengalihkan pandangan.

"Kamu masih mencintaiku?" Apa terlihat jelas dari kelakuan dan wajahku?Bingung harus menjawab, aku berucap lembut untuk memohon kepada Mas Davin.

"Tolong pergi dari sini, Mas! Aku ada kegiatan di luar rumah sakit."

"Sekarang?"

"Iya."

"Bagus!"

Maksud Mas Davin bilang bagus? Tidak sesuai dengan perkiraan agar Mas Davin meninggalkan ruangan, justru dia menenteng tasku dan menarik tangan mungil ini untuk ke luar bersama dari ruang periksa.

"Aku akan mengantar kamu."

"Apa? Tapi Renna sudah menungguku." Berusaha menolak dengan melepaskan genggaman Mas Davin, percuma saja. Dia malah semakin mengeratkan kedua tangan kami. Melewati bangsal rumah sakit masih saja bergandeng tangan, aku merasa canggung melihat beberapa insan yang memperhatikan.

"Mas Davin!"

"Apa Gina?"

"Tolong lepasin tangan aku! Banyak yang melihat."

"Nggak!"Sangat mengenal sifatnya yang begitu keras kepala, aku tahu hanya sia-sia meminta dia menuruti keinginanku.Melihat Renna dari jarak semakin mendekat, aku berharap dia bisa menolongku dari cengkeraman tangan Mas Davin.

"Aku akan mengantar Jingga, kamu bisa berangkat sendiri, Ren?" tanya Mas Davin sembari berjalan melewati Renna.

"I--iya," jawab Renna.Aku menengok ke arah Renna dan menunjukkan wajah meminta tolong, tapi dia hanya mengangkat kedua bahu.Kali ini aku tidak bisa mengandalkan Renna seperti biasa.

Sudah sampai di lobi rumah sakit, setelah kami ke luar dari lift, Mas Davin masih belum juga melepaskan tangan ini.

"Mas Davin!" panggilku manja, agar dia luluh dan bersedia membebaskan aku dari rasa canggung di depan banyak orang.

"Apa lagi Gina?"

"Tangan aku sakit, Mas. Please!" Aku beralasan. Meski kuat genggaman tangan kami, tapi Mas Davin tidak menyakitiku.Menghentikan langkah setelah aku berucap, tetapi tangan ini tidak juga dilepaskan.

"Dia lelaki yang kemarin?"Mengikuti arah netra Mas Davin, aku melihat Dokter Revan di depan kami dengan jarak yang cukup jauh.

Aduh!Aku harus bagaimana? Masih memandang Dokter Revan, dia sedang berbincang dengan Direktur rumah sakit ini, entah apa yang mereka bahas? Karena tidak terdengar olehku. Kemudian aku melihat Mas Davin yang terlihat emosi dengan tatapan penuh amarah saat menatap Dokter Revan.Dia pasti cemburu.Terlihat sangat jelas.

"Show time!" ucap Mas Davin.Beraksi?Aku mengerutkan dahi karena tidak paham dengan maksud kata tersebut. Memberikan tas kepadaku, Mas Davin mengubah genggaman kami menjadi rangkulan di pundak. Ketika melanjutkan perjalanan menuju pintu utama rumah sakit.Refleks aku kembali melihat Dokter Revan yang ternyata sudah menyadari keberadaan aku dan Mas Davin. Dia hanya memandangi kami tanpa menggerakkan tubuh sedikit pun. Aku tidak bisa mengartikan pandangan tersebut, karena jarak kami memang tidak begitu dekat.

Mas Davin keterlaluan!Dia sengaja melakukan semua ini.Kenapa aku diam saja dan hanya pasrah?Mungkin aku kembali menjadi Gina bodoh yang merasa bahagia berada di dekapan Mas Davin? Kemana Jingga yang ingin melupakan mantan kekasih?Berusaha sekuat tenaga?Lupakan!Aku tidak berdaya sekarang.

Bersambung

avataravatar
Next chapter