webnovel

Masa Kecil Gina

Selamat Membaca

"Reynandi, tolong bawakan ini untukku," kata gadis kecil pada sahabatnya sambil menyerahkan beberapa buah jambu di tangannya.Badan anak itu bau, penuh lumpur di sana sini. Tangan kanannya sibuk mengibas-ngibaskan bajunya yang basah. Sementara tangan kirinya menenteng sandal, yang tak kalah kotor dengan bajunya. Terlihat dari jauh, keadaan anak itu sangat mengenaskan. Apalagi setelah didekati, biyuh…, menahan napas untuk bisa bertahan di sampingnya.Mereka baru saja bermain petak umpet berdua. Sementara Rey bersembunyi, gadis itu yang bertugas mencarinya.

Dikelilinginya pematang sawah tempat mereka pertama kali memulai permainan. Sampai ke ujung-ujung tak kunjung ditemukan. Akhirnya anak itu menyerah, sebelum akhirnya terlihat olehnya kepala Rey menyembul di antara pohon padi yang bergerombol.Akhirnya mereka melakukan lomba lari, untuk mencapai pohon tempat yang kalah memulai hitungan. Belum sempat sampai di sana, tubuh gadis itu terpeleset sebelum akhirnya terpelanting masuk ke dalam parit yang penuh lumpur.

Segera Rayi kecil berlari menolongnya. Dengan susah payah, ditariknya tubuh sahabatnya itu. Hingga tubuh kecil itu bisa keluar dari kubangan yang sangat amat bau itu. Mereka lalu beristirahat sebentar, di bawah pohon jambu. Di mana terletak beberapa buah jambu yang mereka petik sebelum bermain petak umpet.

Gadis kecil itu adalah Gina, teman sekolahnya. Selain itu dia juga teman sepermainan. Rumahnya tidak jauh dari Rumah Rey. Gadis inilah yang selalu setia menemani Abi bermain. Gadis yang tidak lelah memberikan kebahagiaan untuk Bayi. Walaupun tak jarang, dia kena marah oleh orang tuanya.

Rey sedang berada di dalam ruang Guru. Menerima pembekalan untuk mengikuti olimpiade matematika. Dari sekolahnya mengirimkan dua perwakilan. Satu dirinya dan yang satunya bernama Rion. Namun, teman masa kecilnya itu tersisih saat di tingkat kota.

"Ada pertanyaan, Rey," tanya Pak Agung santai. Menunggu jawaban Rey yang mungkin ada yang masih belum dimengerti.Rey menggeleng pelan mendengar pertanyaan gurunya itu.

"InsyaAllah tidak ada Pak. Nanti saja kalau saya ada yang nggak ngerti, saya akan hubungi Bapak."Rey menjawab sambil mengemasi barang-barangnya. Barang yang tidak seberapa itu sudah berbaris rapi di dalam tasnya. Tas yang selalu setia menemaninya setiap hari. Sehingga warna nya sudah bertransformasi menjadi yang lebih terang. Dari yang warna biru gelap, sekarang menjadi biru tipis-tipis. Suatu kode buat pemiliknya untuk segera mencari penggantinya.

"Bapak bangga padamu," kata sang Guru sambil menepuk pelan pundaknya. Rey tercekat mendapatkan ketukan pelan itu. Selaksa ribuan peri berbaris rapi menyelimuti hatinya yang mendamba. Kasih sayang ayah yang selalu diimpikan, nyatanya tidak pernah dia rasakan. Walaupun pernah, dia tidak pernah bisa mengingatnya sama sekali.

"Ayah, kukirimkan do'a

Semoga engkau tenang di alam surga

Ayah, 'kan ku ingat selalu

Pengorbanan yang telah engkau berikan

Ayah, terlalu cepat kau pergi

Meninggalkan aku sendiri

Ayah, tak bisa aku ingkari

Tanpa engkau hidupku terasa sunyi"

Rey mendendangkan lagu ayah, sambil mengendarai sepeda motornya menuju rumah. Ada rasa yang tidak bisa dilukiskan dengan apa yang dia inginkan. Pada kenyataannya dia harus bersyukur, dengan apa yang digariskan pada hidupnya. Di kala dia pulang sekolah masih tangan ketika dia datang, dan usapan lembut itu mengiringinya. Ibu tercinta. "Alhamdulillah."

Sesaat setelah selesai makan siang, membantu ibunya di dapur adalah rutinitasnya. Ibu yang selama ini bersusah payah mencari uang untuk kehidupan yang layak untuk anak semata wayangnya. Ibu yang telah menghabiskan hari-harinya berjibaku dengan asap dapur, supaya tetap mengepul. "Ah ibu, Sungguh mulianya dirimu."

"Lima kardus besar untuk dua alamat, sudah ada di setiap kreseknya," kata ibu mengingatkan sebelum Gina berangkat mengantarkan kue. Kue-kue buatan ibunya, nyatanya mampu memanjakan lidah pelanggan. Terbukti setiap hari ada saja yang selalu memesan kue itu pada ibunya.

"Yang kecil punya siapa?" tanya inai pada ibunya. Sambil tangannya sibuk menghitung kotak-kotak kue itu. Dan memasukkan kan ke dalam tas barang di belakang motornya.

"Lima puluh, punya Bu Halimah. Jangan telat, ini untuk pengajian habis magrib. Ibu sudah janji, sekitar jam empat."Ibunya menjelaskan, sambil wira-wiri mengeluarkan kotak-kotak kue dari dalam rumah. Setelah semua komplit, Ginai segera berangkat mengantarkan kue-kue itu kepada pemesannya. Setelah sebelumnya, salim serta pamit pada ibunda tercinta.

Pertandingan persahabatan antara Pe*s*m* Malang, dan Ba*ang*a*a FC Surabaya akan segera digelar. Abi beserta kawan-kawan telah bersiap di tengah lapang. Jersey berwarna biru telah tersemat rapi pada tubuh masing-masing squad. Mereka tampak melakukan pemanasan, dengan berlari-lari kecil di tempatnya berdiri.

"Aku ke belakang dulu ya, kebelet nih," izin Gina pada temannya Ria yang berada tepat di sebelahnya. Ria ini satu-satunya teman Gina yang juga menjadi teman sekolahnya. Dan bahkan Rion juga termasuk siswa yang berotak encer. Terbukti nilainya dan nilai Ginai selalu saling susul menyusul, tidak jauh perbedaannya.

"Yoi," Ria mengacungkan jempolnya, sambil melanjutkan pesannya. Pesan khas emak-emak, "Jangan lama-lama." Ria sedikit berteriak, demi pesan itu tersampaikan dengan baik kepada pemilik telinga yang kian menjauh. Gina segera berlari meninggalkan teman-temanya, tujuannya hanya satu. Menuntaskan hajat. Dia terus berlari sambil menahan sesuatu yang mendesak pada bagian bawah tubuhnya. Segera dia hentikan gerakan larinya, yang kini berubah menjadi jalan cepat. Karena semakin dia berlari, semakin mendesak ingin segera keluar sesuatu itu. Biyuh.

Ketika sedang menikmati lilitan manja usus-usus dalam perutnya, Gina dikejutkan dengan kemunculan seseorang di depannya. Gadis bermata bulat yang sama terkejutnya dengan dirinya. Hampir saja terjadi tabrakan yang tidak diinginkan antara dirinya dan gadis itu. Ah, tikungan bermasalah.Sangking terkejutnya, gadis itu sampai menjatuhkan barang bawaannya. Sedang tangannya sibuk memegangi dadanya yang tertutup jilbab warna biru muda. Manis.

"Maaf," kata Gina segera setelah bisa menguasai keadaan. Buru-buru tubuhnya membungkuk membantu memunguti barang-barang gadis bermata bulat yang berserakan di depannya. Satu tas punggung, satu botol air minum dan beberapa snack yang terbungkus dalam kresek kecil. Hampir saja kepala mereka bertabrakan, saat hampir bersamaan menundukkan kepala. Buru-buru gadis itu berdiri menegakkan badan.

"Maaf," kata gadis itu sambil membenarkan jilbabnya yang sedikit berantakan akibat lomba nunduk bersamaan. Setelahnya gadis itu hanya diam menunggu barang-barangnya selesai di punguti oleh Gina.

"Ini barangku, apa barangnya?" batin Gina sedikit dongkol sambil mengernyitkan keningnya ketika menyerahkan harta benda pada si gadis. Si gadis bermata bulat menggeragap malu menerima barang-barangnya. Sambil sedikit mengangguk ketika mengucapkan terima kasih.Aih manisnya.Tak sadar Gina tersenyum, melihat tingkah gadis bermata bulat yang ada di depannya. Laki-laki imut kecil nan tampan berpipi chubby, sedikit berlesung pipit di bagian kiri ketika dia tersenyum. Sedikit menyedot perhatian Gina di saat mata mereka tak sengaja beradu pandang. Duh gemas.

"Permisi," kata si laki-laki kecil, segera berlalu dari hadapan Ginai. Terlihat dari gestur tubuhnya, gadis itu canggung dengan keadaan mereka berdua.Segera setelah gadis itu tidak terlihat, Gina bergegas menuju kamar kecil. Sesuai tujuan awalnya sehingga dia terdampar di tempat itu. Menuju pintu yang terbuka, Gina langsung memasukinya. Sesaat dia matanya terpejam mengingat satu wajah lucu yang baru saja ditemuinya. Senyum terkembang di bibirnya.

Setelah sekian lama terduduk di dalam kamar mandi, sesuatu itu tak kunjung keluar. Jangankan keluar menampakkan diri, rasanya pun kini telah raib entah ke mana. Rasa yang tadi menggelitik untuk segera dikeluarkan isinya, kini hilang entah ke mana. Gina menggeram menahan kesal.

"Siapa dia? Sehingga tai pun malu menampakkan diri…!" jerit Gina tertahan menahan kesal.Namun yang tampak dari bibirnya adalah seulas senyuman. Satu senyuman tersungging di wajahnya, menambah kadar kegantengan yang ada dalam dirinya.

"Aku tidak bisa," kata laki-laki kecil itu mengeluh pada Ginai. Tangannya kanannya terayun-ayun memainkan pensil. Sementara, bibir bawahnya tertarik ke depan membentuk sebuah kerucut. Menggambarkan kejengkelan dalam hatinya.

"Yang mana?" tanya Gina memperjelas yang dimaksud laki-laki kecil itu yang tiada lain adalah Rey. Diamatinya buku gadis itu, untuk mengetahui hal yang tidak dipahami oleh Rey yang duduk di sebelahnya.

"Yang ini." Rey  menunjuk sebaris soal matematika. Pelajaran yang sangat dibencinya. Pelajaran yang membuatnya selalu pusing. Karena pelajaran itu, dia sering kena marah orang tuanya. Dan hanya kepada Gina lah dia selalu minta tolong

Dengan sabar, diajarinya laki-laki kecil itu satu per satu. Kadang sampai harus mengulang-ulang, sehingga laki-laki kecil itu paham. Hingga senyum terkembang dari bibir mungil si gadis kecil. Dia melompat-lompat kegirangan. Setelah itu mereka bermain bersama.Namun kebahagiaan mereka berdua biasanya tidak akan bertahan lama. Akan selalu ada bundanya, yang akan selalu siap sedia memarahi laki-laki kecil itu, ketika mereka bermain bersama.

Pagi yang cerah mengantarkan pemandangan indah bagi mata yang memandang. Udara sejuk yang berhembus melewati jendela kaca bus antar kota, mengalir dengan baik ke dalam rongga dada. Sepagi ini Gina dan Pak Agung, guru matematika telah dalam perjalanan hendak menuju ke tempat dimana olimpiade diselenggarakan.

"Bab lima di baca lagi, Gina. Apa ada yang belum paham?" Pak Agung yang setia duduk di sebelahnya bertanya sambil membetulkan kacamata. Pria klimis itu sangat berwibawa di usianya yang menurut perkiraan Ginai sekitar empat puluh tahunan. Usia yang sangat matang untuk seorang Pria.

"Di baca sih sudah, Pak. Yang paling menakutkan, kalau soalnya nanti diberikan secara lisan. Harus jawab cepet-cepetan. Matilah hamba," Jawab Ginai sambil tertawa. Yang mengundang garis lengkung di pipi Pak Agung yang ada di sebelahnya.

"Makanya belajar" kata Pak Agung sambil menyentil kening Gina, pelan. Alih-alih marah, Gina justru tertawa lebar mendapat perlakuan seperti itu.Entah kenapa, setiap dekat dengan Pak Agung, Gina selalu merasa seperti menemukan Sosok yang telah hilang. Ayah. Pak Agung selalu bisa menempatkan diri. Di dalam kelas beliau menjadi Guru, di luar kelas beliau menjadi teman. Dan saat ini, beliau menjelma menjadi seorang Ayah. Yang siap melindungi anaknya, ketika sang anak menemui kesulitan.

Senter yang terdengar di tengahnya Gina, beliau adalah seorang duda. Anak dan istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan. "Apa mungkin itu yang menyebabkan beliau terlalu baik padaku?" gumam Gina dalam hati.

Bagi Gina, Pak Agung lebih dari seorang guru. Beliau seperti seorang kakak dan juga seorang teman. Kedekatannya dengan Pak Agung telah mencuat sejak dirinya  di kelas satu. Hingga saat ini, hubungan mereka baik-baik saja. 

Mereka terus melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah pada tempat yang menjadi tujuan mereka. Gedung X. Gedung yang menjulang tinggi, lebih mirip seperti perkantoran kalau terlihat dari jauh. Ternyata ini adalah sebuah kampus. Kampus ternama di Surabaya. Mereka sampai setelah naik turun kendaraan umum.

Bel berbunyi, tanda semua peserta harus memasuki ruang tempat diadakan lomba. Semua peserta menduduki tempatnya masing-masing. Sesuai nomor yang tertera pada nomor dada. Gina masuk ruangan, sambil celingak-celinguk mencari meja yang bernomor sama dengan yang tertempel di dadanya. Akhirnya meja itu ditemukannya, setelah beberapa saat keliling mengitari bangku-bangku yang telah berjajar rapi. Tak sengaja matanya bersirobok dengan pemilik bangku di depannya. Laki-laki kecil yang tampan. Yang pernah ditemui di tribun, tiga hari yang lalu. Laki-laki yang sesaat telah mencuri perhatiannya.

Saat sedang memperhatikan laki-laki kecil di depannya, tak sengaja gadis itu pun menoleh kepadanya. Malu pun tak bisa dibendung. Gina memalingkan muka, guna menghindari tabrakan kontak mata. Yang selaksa tabrakan galaxy yang akan menghancurkan bumi. Gemuruh dalam dadanya tak bisa dibendung.Selaksa partikel yang menghantarkan listrik dengan baik dan bermuara pada sebuah kolam air. Percikan apinya tercipta tanpa bisa dicegah, hingga menyebar ke seluruh tubuh. Menciptakan gelenyar di setiap urat nadinya.

"Huff"

Seakan melepas beban berat, Gina membuang semua yang menyumbat dalam pernapasannya.

"Sudah siap semua?" tanya petugas sambil membagikan kertas Soal.Satu per satu meja dihampirinya, sambil meletakkan lembar demi lembar soal yang menjadi tugas setiap peserta. Setelah memastikan semua mendapatkan lembar soal, petugas itu menerangkan tata cara mengerjakan soal tersebut. Baik Gina maupun semua mendengarkan dengan baik. Tak terkecuali gadis yang ada di depannya. Bahkan laki-laki kecil itu terlihat lebih khusu' mendengarkan, dibandingkan dengan dirinya yang pikirannya terpecah dengan adanya laki-laki bermata bulat tersebut.

Setelah selesai mengerjakan tugas tersebut, berarti berakhirnya sesi pertama. Sesi kedua dilanjutkan setelah jam istirahat. Gina berjalan keluar ruangan tanpa berani menoleh pada gadis tersebut. Dengan langkah pasti, diayunkan langkahnya menuju ke Mushola. Baru saja Pak Agung berkirim pesan, bahwa beliau berada di dalam Mushola. Sambil menunggu Adzan Dzuhur berkumandang.

"Enak saja, beliau leha-leha di sini. Aku yang hampir gila mengerjakan di dalam," monolog Ginai lirih. Sambil tersenyum melihat tubuh Pak Agung yang melantai di pojok Mushola.

"Sambil ngadem," kata Pak Agung tanpa dosa. Seakan tahu apa yang dipikirkan Ginai tentangnya. Gina yang mendengarnya langsung tertawa. Membawa sebagian beban soal yang yang tertinggal, menguap begitu saja.Gina pun ikut lesehan di dekat Pak Agung. Sambil sesekali mengusap wajah kasar, berharap jejak-jejak soal keparat tadi cepat menghilang.

Pak Agung tersenyum melihat murid yang menjadi tumpuan sekolahnya itu sedikit frustasi. Penampilannya pun acak-acakan, menggambarkan betapa sulitnya soal-soal di dalam tadi.

"Bisa?" tanya Beliau singkat. Sambil menyerahkan botol air mineral, yang langsung diterima Ginai. Dan menenggaknya hingga tandas tak bersisa.Setelah beberapa saat, barulah Gina menjawab pertanyaan Pak Agung. Yang mungkin seharusnya jawaban itu tidak perlu. Karena sudah terwakilkan dengan kondisi Gina yang berantakan.

"Sulit Pak, untung kepala ini tadi tidak pecah," jawab Gina sekenanya. Membuat yang mendengar sedikit gemas, tak terkecuali Pak Agung. Diacaknya rambut pemuda tanggung itu pelan. Hingga menghadirkan rasa hangat yang sangat nyaman. Gina selalu suka mendapatkan perlakuan itu dari Pak agung. Serasa dirinya berada di sisi seseorang yang amat menyayanginya, melindunginya. Bagai seorang ayah.

Setelah selesai menjalankan ibadah empat rakaat secara berjamaah. Gina keluar dari Mushola, sekedar melihat-lihat suasana di sekitar sekolah. Dia terus berjalan, sambil matanya tak henti memindai pemandangan di sekitarnya. Begitu asri dan nyaman. 

Hingga mata Ini menangkap sosok laki-laki kecil itu, yang sedang duduk sendiri di pojok. Antara sekolah dan Mushola. Laki-laki bermata bulat, yang mendapatkan tempat duduk persis di depannya.  Di tangannya tergenggam sebuah buku yang terbuka. Dia sedang membacanya.Gina terus melangkah, hingga tanpa disadarinya dia telah sampai di hadapan laki-laki kecil itu. Merasa diperhatikan, gadis itu mengangkat muka. Menatap makhluk yang berada di depannya. Laki-laki kecil itu terlihat kaget sebentar, kemudian sedikit tenang.

Gina menata hati untuk menguatkan iman sekedar untuk berkenalan. Belum sempat tangannya terulur, gadis itu sudah berdiri. Dengan bergegas, diayunkan langkahnya meninggalkan Abi yang tergagap oleh keadaan.

"Malu maak…," kata Gina lirih meremas rambut belakangnya. Games. Di kepalkan tangan kirinya selaksa menggenggam udara. Ingin rasanya mengacak bayangan tak kasat mata di hadapannya, tapi apalah daya, bayangan itu pun mulai menjauhinya.

"Awas kau," batin Gina sambil mengusap kasar mukanya.Aksi malu-malu gemasnya Gina Berakhir , saat matanya menangkap sesuatu. Ada benda kecil terjatuh, saat gadis itu dengan tergesa menutup buku, dan berlalu dari tempat itu. Selembar kertas kecil tergeletak tepat di depan Gina. Kertas kecil yang hanya bertuliskan dua huruf, A~Z. yang dibingkai indah dengan coretan-coretan yang menghiasi pinggirnya.

Mata Gina melebar membaca tulisan itu, sepertinya dia tidak Asing dengan dua huruf itu. Akhirnya dipungutnya kertas itu, dan di genggaman y erat.

"Benarkah?" Senyum Gina tersungging sambil melangkah pelan meninggalkan sudut bangunan. "insya Allah,You'll find your way," batinnya sambil terus melangkah, mengejar bayangan yang sudah tidak tampak pada pandangannya.

Bersambung

Next chapter