12 Brenda or Choco dan Alter

Selamat Membaca

"CHOCOOO!!!"

Begitu teriakan Cherry melengking dan gadis anggun itu bangkit dari kursi, sukses memancing atensi seluruh manusia yang menempati halaman belakang rumah mewah tersebut. Mata Cherry mendelik, memantau calon tunangannya, Alter, terbaring ditindih Choco dengan kondisi berlumur krim bolu.

"Astaga! Ada apa ini?" seru Kenzo, Papa Alter itu tiba-tiba datang karena penasaran.

"Ya Ampun! Anakku kenapa mukanya cemong?!" 

Amora menjerit di samping sang suami. Menatap kaget pada Alter. Baik Harsa maupun Violet, kedua orangtua Cherry itu cukup diam membatu menyaksikan. Mereka tampaknya benar-benar terkejut, acara makan dan minum sesama keluarga pun terhenti akibat adanya suara jeritan dari tepi danau.

Rupanya Cherry. Sudah kehabisan kata-kata saat Choco merusak momen berharganya bersama Alter. Di atas rerumputan, tubuh Choco menindih Alter beberapa detik yang dikerumuni oleh keluarganya.

"Hey, kamu!" tunjuk Nyonya Violet terhadap Choco. Sontak yang merasa dipanggil langsung berdiri sambil menunduk.

"I-iya, Nyonya?" Choco merapikan seragamnya sebentar, lalu menatap Nyonya Violet.

 "Maaf atas kegaduhan yang telah saya perbuat. Saya benar-benar minta maaf!"

"Maaf? Gampang banget kamu minta maaf! Lihat, calon menantu saya jadi kotor gara-gara kamu!" amuk Nyonya Violet, tangannya mengepal murka. 

Harsa segera menenangkannya dengan usapan lembut pada bahu.

 "Sudahlah, Vio. Lagi pula, Choco tidak sengaja, 'kan? Tadi dia sudah minta maaf. Apa untungnya kamu memarahi dia?"

"Tapi, Mas"

"Saya baik-baik saja," sela Alter memotong perkataan Nyonya Violet. Laki-laki yang wajahnya cemong terkotori bolu itu berdiri tegak di sisi Choco. 

"Jangan mempermasalahkan ini. Saya pamit dulu."

"Tunggu, kamu pulang sekarang?" tanya Amora. Dibalas anggukan mantap dari anaknya.

"Ya Sudah, mungkin Alter ingin ganti baju dan membersihkan diri. Cepat sana ganti, nanti ke sini lagi." Kenzo menjelaskan maksud Alter sesuai isyarat mata anak itu. 

"Emm, kalau begitu ... aku antar, ya!" pungkas Cherry berlari kecil mendekati Alter, sembari tersenyum semringah. "Gapapa lama juga, asal"

"Gak perlu." Alter lebih dulu menolak tegas dengan suara berat serak-serak basah nya. Memicing sinis pada wajah Cherry yang tampak melunturkan senyum.

"K-kenapa?"

"Gue mau dianter sama dia," tandas Alter seraya menggenggam erat jemari tangan kanan milik Choco. Ia seret gadis itu untuk pergi dari lokasi kejadian. 

"Ayo."

"E-eh .... "

Choco termangu, matanya berkedip-kedip tak percaya melihat seseorang menariknya entah akan ke mana. Ia menoleh ke belakang, terdapat sosok Cherry sedang diam digandrungi amarah. Begitu pula keempat orang dewasa di sana yang melongo nyaris pingsan.

Sungguh, Choco sangat sangat kebingungan. Pasalnya, tidak ada adegan ia dibawa Alter setelah tragedi ketumpahan bolu. Seharusnya saat ini Choco menonton damai keromantisan antara tokoh utama Cherry dengan tokoh pria pendamping Alter.

Kenapa malah dirinya yang notabene adalah 'Pemeran Figuran' tidak ada faedahnya sama sekali, anak pembantu, buruk rupa, miskin, diseret keluar bersama Pangeran hanya untuk menemani ganti baju?

"Apa-apaan, sih?!"

"Lo mau bawa gue ke mana?!" Choco terus-menerus meminta kejelasan, menatap laki-laki di sampingnya yang kini duduk di jok kemudi mobil.Ternyata ia dibawa Alter kedalam mobil mahal bermerek milik Kenzo. Terpaksa duduk sesuai perintah tanpa perlawanan. Berdampingan dengan tokoh Male Lead itu, yang siap-siap menginjak gas usai memakai seat belt.

"Woi! Kalo orang nanya itu dijawab!" sentak Choco muak.

Alter melirik dingin

 "Diam."

"Diam matamu! Gimana mau diam kalau dari tadi gue diperlakukan kayak gini! Muka cemong aja belagu!"

Mendengar dirinya dihina, sintak Alter mendengkur halus. Kedua tangan tetap sibuk mengontrol setir mobil, pandangan lurus mengamati jalanan kota yang tampak lenggang.

"Lagian kenapa harus gue yang lo bawa, sih?" tanya Choco linglung, bersandar sambil bersedekap.

 "Kan tadi si Cherry udah nawarin diri noh buat nganterin lo."

"Kenapa gue harus bawa orang yang jelas gak bersalah?" Alter bertanya balik membuat Choco bungkam.

 "Lo mau lari dari tanggung jawab, huh?"

Kontan arah mata Choco terlempar ke jendela sampingnya. 

"S-siapa juga yang mau lari? Dasar muka cemong."

Bibir merah alami yang penuh milik Alter, menyeringai kecil. Balik lagi melihat jalan raya di depan mulai konsentrasi mengemudi. Membiarkan sosok gadis berseragam maid di sebelah membelakanginya.

Dalam pikiran Alter, hanya satu kata terlintas untuk mengekspresikan Choco sekarang. 

'Cute.'

***

Mobil hitam mengkilap itu pun mulai terparkir di sebuah halaman luas setelah melesat memasuki gerbang rumah megah dan terang-benderang dari lampu berlian di mana-mana. Choco menganga, bahkan ini lebih besar dari rumah Cherry.

Sepertinya memang rumah Alther, terbukti laki-laki itu keluar dari mobil lalu disambut baik oleh para satpam penjaga rumah. Dia menarik Choco lagi dan dibawa masuk ke bangunan mewah tersebut.

"Gile, gede banget."

Sesampainya di dalam, Choco terus saja dibuat jantungan saking kagumnya. Guci antik berwarna gradasi berjejeran, lukisan klasik Eropa, furniture, serta lemari kaca. Mencerminkan rumah konglomerat.

"Eh eh! Ng-ngapain bawa gue ke kamar? Lepasin!"

Choco meronta-ronta, Alter membawanya masuk ke dalam kamarnya bernuansa hitam putih itu. Laki-laki tersebut mendorong tubuh Choco ke dinding sampai gadis itu melenguh pelan.

"Sakit, setan!" gerutu Choco, punggungnya ngilu terhantam tembok.

Alter tersenyum miring, dia melepas jas hitamnya lalu membuka kancing kemeja satu-persatu. Tatapan menyorot Choco tajam, melangkah maju perlahan-lahan.

"W-woi! Lo mau ngapain?! Jangan macam-macam sama gue!" bentak Choco was-was, tangannya sudah siaga.

"Lo pikir gue mau ngapain?" tanya Alter, sebelah alisnya menukik tajam.

"B-berhenti! Jangan deketin gue!" 

Seakan tuli, Alter maju dihiasi seringai penuh makna itu. Seluruh kancing kemeja terbuka, otomatis Choco menutup mata. 

"A-father! Gue bilang berhenti!" 

"Kenapa harus berhenti?" bisik Alter ketika berhasil mengurung badan Choco di permukaan tembok. Satu tangannya di samping kepala gadis itu. 

Choco tetap menutup mata. Jaraknya dengan wajah Alter benar-benar dekat, sekitar 3 senti. Bahkan deru napas berbau mint laki-laki itu menerpa pori-pori kulit Choco.

"G-gue bilangin sama Emak Bapak lo, ya! Kalo sampe macam-macam gue!" ancam Choco walau gemetar.

Bibir Alter mendekat pada telinga Choco. "Silakan."

Deg!

'Sh*t! Gue harus gimana?!'

Kedua telapak tangan Choco telah menempel kuat pada dinding, sepasang mata tetap setia terpejam dan punggungnya merekat di tembok kamar penuh hawa hitam tersebut. Andai ia pelihara Doraemon, mungkin sekarang akan kabur pakai pintu ke mana saja. Daripada terkurung seperti ini oleh sosok laki-laki kekar berwajah sangar itu yang semakin lama semakin merapat.

Jaraknya dengan tubuh Alter sangat terkikis, bahkan deru nafas mereka terasa bertabrakan. Ditambah tadi Alter sudah melepas kemeja dan jas, pasti dirinya bertelanjang dada.

"Kenapa tutup mata?" bisik Alter, suaranya serak. 

"Y-ya karena lo hampir menodai kesucian mata gue! Minggir sana!" pekik Choco memalingkan wajah.

Kekehan halus meluncur dari mulut Alter. Dia mundur beberapa langkah. "Jangan berpikiran negatif. Buka mata lo," suruhnya.

"Gak mau! Nanti gue liat anu lo, dong!?" bantah Choco.

"Anu apanya? Cepat buka."

Dengan sedikit terpaksa, Choco mengintip dari celah-celah jarinya yang menutupi muka. Kemudian melotot, hampir saja bola mata keluar dari tempatnya saking shock. Ternyata Alter masih mengenakan kaos putih polos.

Ia kira cowok itu ... ah, sudahlah.

Choco mendelik sinis. "Harusnya dari tadi lo ngomong pake baju, kek! Jangan bikin jantung orang senam!"

"Siapa suruh mikir jorok."

"Heh, mana ada gue mikir jorok!" tepis Choco merona malu. "Baru ketemu dah bikin kesel lo!"

Alter tak berniat membalas. Tangan mengambil satu kotak tisu yang ditaruh di atas nakas dekat ranjang. Lantas dia sodorkan terhadap Choco. Tanpa senyuman sedikit pun.

"Ambil. Bersihkan wajah gue."

"Dih, siapa lo? Tuan Harsa aja bukan sok-sokan nyuruh. Gue bukan babu lo!" tolak Choco berani.

Netra legam sehitam tinta milik Alter itu menampilkan tatapan bengis. "Siapa yang pertama kali bikin muka gue putih semua karena ketumpahan bolu?"

Kali ini, Choco tidak bisa mengelak lagi. Ia berdehem pelan. "G-gue."

"Bagus. Berarti sekarang lo harus tanggung jawab," tandas Alter menarik napas sekejap. "Apa perlu gue pake cara kasar, hmm?"

Glek.

"S-siapa suruh nangkap gue pas badan gue mau jatoh, hah? Salah lo sendiri, lah," balas Choco memutar balik fakta dengan alasan di luar nalar. "Minggir! Lebih baik gue pergi sekarang."

Daripada meladeni Alter yang saat ini raut wajahnya tampak terheran-heran dengan dahi mengerut, kaki Choco lekas menarik langkah pergi hendak meninggalkan kamar setan itu. Aura Alter benar-benar mengerikan.

Choco hanya bisa menegak ludah. Begitu sampai di ambang pintu ancang-ancang kabur, sebelah tangan besar berurat menahan lengan Choco dari belakang. Membuatnya terkesan.

"Mau ke mana, huh?" tanya Alter menggeram. 

"Jangan harap lo bisa pergi dengan selamat, sebelum muka gue dibersihkan."

"B-bersihin sendiri, lah! Situ punya dua tangan pake! Lepasin gue!"

"Gak sebelum— arghh!"

Di akhir kalimat, Alter tiba-tiba meringis ngilu. Cengkeramannya terlepas, otomatis Choco berlari terbirit-birit setelah menendang area sensitif di balik celana Alter. Laki-laki itu membungkuk kesakitan.

Sebelum benar-benar keluar, Choco memeletkan lidahnya. Alter yang melihat langsung berdecak. Emosinya berada di ujung tanduk. Berani-beraninya anak seorang pembantu berkacamata itu menyakiti juniornya sadis.

Alter meninju keras tembok kamar.

"Sial!"

"Huhu ... apes mulu hidup gue di sini." Choco bermonolog meratapi nasibnya. Tersedu-sedu. "Kalo tau gini jadinya, mending gue jadi Glenda yang dulu lagi, dah. Anak holkay, syantik cetar membahana. Ratu sekolah fenomenal. Mana ada yang berani sama gue!"

"Kenapa gue harus jadi Choco?! Kenapa harus jadi figuran?!!"

Choco membanting sepatu hitam pantofel nya ke aspal jalanan sepi itu. 

"Kalo sampe sifat Glenda asli gue keluar, mampus lo, Cherry! Pengen gue bejek-bejek tuh muka, belagu amat. Mentang-mentang tokoh utama di novel ini, seenaknya nyepelein gue. Apalagi calon tunangan lo yang sok itu, si Alter!"

"Gue sumpahin lo berdua kena sial tujuh turunan!!!"

Sekiranya sudah puas berteriak-teriak membeberkan unek-unek bak orang kelainan mental, barulah Choco dapat diam sambil mengontrol nafas yang terengah-engah. 

Gadis itu berjalan luntang-lantung di jalan sunyi tanpa kendaraan lewat, seperti gelandangan. Hanya diterangi oleh paparan sinar lampu tepi jalan yang berjajar. Seragam maid-nya terkotori krim bolu, wajah masam tercetak jelas.

Sehabis terbebas dari kejaran Alter, Choco bingung tanpa tujuan. Benar-benar mirip orang tersesat.

"Choco?"

Ia mendongak, siluet seseorang yang tak asing lagi muncul di hadapannya. Menyebut namanya sembari maju memastikan.

"Farez?" Choco tercengang, lalu meneliti seksama raga laki-laki kikuk yang berkacamata di depannya. "Lo beneran Farez? Si culun penguntit gue?"

Refleks Farez menunduk sambil tersenyum canggung, tangannya mengusap tengkuk. "K-kamu ngapain sendirian di jalan? Baju kamu .... "

"Ah, gak usah dipikirin. Harusnya gue yang nanya, lo ngapain di sini? Habis dari mana?" Choco balik bertanya.

"Aku baru beli beberapa snack di supermarket buat adikku. Dia memang suka ngemil malam-malam. Kebetulan juga rumahku di sekitar sini," jelas Farez mengangkat kresek belanjaannya. 

"Oh, gitu." Choco mengangguk paham. "Yaudah, gue pulang dulu, ya. Hati-hati di jalan, salam buat Adik lo."

"T-tunggu!" 

Farez dengan cekatan meraih tangan Choco sebelum gadis itu bergegas pergi. Dia menahannya entah apa alasannya, mengundang kernyitan di dahi Choco usai menoleh kembali.

"Mau aku antar?" tawar Farez.

"Gak usah. Gue bisa sendiri, kok."

"Tapi bahaya."

Choco tersenyum. 

"Hmm, tapi sebagai gantinya, boleh gak kita jalan-jalan sebentar? Gue mau ngomong sesuatu."

Anggukan kecil sebagai jawaban setuju dari Farez, membuat Choco ikut mengangguk. Keduanya mulai berjalan berdampingan di tepi jalan menikmati angin sepoi-sepoi berseliweran. Sesekali Choco melirik Farez yang gugup setengah mati.

Sontak ia terkikik geli, bagaimana bisa tokoh figuran sejenis Farez sangat menarik perhatiannya?

"K-kamu tadi mau ngomong apa?" tanya Farez memecah suasana hening.

"Oh, itu." Choco mendongak menatap langit gulita di atas sana. "Lo pernah ngebayangin gak gimana rasanya jadi tokoh figuran di dunia novel? Perannya gak penting-penting amat gitu, cuma jadi pembantu."

Mencerna dahulu perkataan Choco, Farez langsung buka suara.

"Figuran, ya." Pandangan Farez ikut tertarik ke atas menerawang langit malam. "Aku tahu rasanya jadi tokoh figuran, pemeran yang sekadar melengkapi kisah tokoh utama. Pas muncul juga cuma hal sepele yang gak dianggap sebagian pembaca, 'kan?"

"Yeah," sela Choco.

"Tapi menurutku, meskipun tokoh figuran gak ada pengaruhnya sama sekali pada alur cerita, seenggaknya mereka bisa hidup bebas tanpa diatur imajinasi sang penulis. Tokoh utama memang sempurna, tapi mereka ibarat boneka yang hanya bergerak sesuai perintah."

Choco terpaku, memandang lamat-lamat wajah Farez yang setia mengamati langit dihiasi ribuan bintang dan bulan sabit. Ia baru sadar bahwa Farez tersenyum, pipi laki-laki itu terdapat lesung pipit yang dalam.

"Jadi, lo suka jadi figuran gitu?" tanya Choco, terkekeh.

"T-tentu bukan itu maksudnya!" ujar Farez menggeleng kaku. 

"Aku juga mau jadi tokoh utama, di dalam kisahku sendiri."

"Oh, gitu. Btw, ceritain kisah cinta lo, dong. Kan lo pernah bilang kalo lo suka sama Cherry. Ciee ciee," goda Choco menyenggol lengan Farez. 

Semburat merah padam menghiasi pipi laki-laki itu. Jari-jarinya bertautan sebab salting.

"K-kayaknya gak penting juga aku ceritakan."

"Kenapa?"

"Karena aku cuma tokoh figuran di dalam cerita Cherry."

Bersambung

avataravatar
Next chapter