webnovel

Part 2 : Di mana semuanya dimulai

Semua anggota geng Bentley 8 terlelap dan memimpikan masa lalu mereka, terutama yang mempunyai kejadian traumatis dan menyebabkan mereka terkena mental illness.

Dustin bermimpi tentang masa lalunya, saat dia masih tinggal di trailer kota Pleasantview bersama ibunya yang alkoholik, Brandi Broke, dan adik lelakinya, Beau. Dia memimpikan ketika dia dipukuli ibunya saat masih remaja.

DUSTIN :

Aku dipukuli oleh ibuku setelah ditangkap polisi karena ketahuan membolos dan mencuri di supermarket, dan toko cincin. Padahal, aku melakukannya untuk menghidupi keluargaku juga. Aku berusaha menahan serangan ibuku dengan lenganku, tapi dia beringas sekali karena mabuk sehingga aku tak bisa menahannya. Sedangkan Beau berada di sekolah dan tidak akan pulang sampai jam 3 sore. Aku yang biasanya melawan jika diajak berkelahi, tidak bisa berbuat apa-apa karena dia adalah ibuku. Karena kecanduannya pada alkohol lah yang menyebabkan dia keguguran saat mengandung anak ketiganya. Tapi dia malah menjadikanku sebagai pelampiasannya. Ini sudah terjadi berkali-kali. Saat itu umurku 17 tahun.

ZIGG!

BUGG!

"Ah...uh...ngh... Ibu, maafkan aku!" Teriakku.

PLAK!

Dia menamparku.

"Kemari kau, anak tak tahu diuntung!" Kata ibuku, Brandi, sambil menjambakku dan menarikku ke kamar mandi.

"Ampun, ibu! Ampun!"

Dia mendorongku duduk di wc. Kemudian dia menyiramku dengan sebotol tequila ke wajahku.

SPLASH!

Wajahku babak belur dan basah kuyup. Ibuku merasa puas dan dia meninggalkan kamar mandi, lalu ke kamarnya.

Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu.

"Huuu...hiks...huuu..." Tangisku merana. Air mataku berlinangan.

Sayangnya, tak ada yang mendengarku. Aku tak tahu mau cerita ini ke siapa, karena Angela sedang direhabilitasi karena bulimia. Sedangkan sahabatku, Dirk, terkena diabetes dan sedang dirawat di rumah sakit. Aku tidak mau mereka khawatir tentangku, makanya aku tidak mau menceritakannya.

"Seandainya ayah masih ada, pasti tidak akan seperti ini." Pikirku.

Setelah aku menangis selama setengah jam, aku masuk ke kamarnya. Aku melihat dia tidur terlentang.

Terlintas niat jahat di kepalaku : mungkin aku bisa menutup wajahnya dengan bantal dan membunuhnya, atau mencekiknya dengan tali sampai mati.

Aku mengambil bantal yang berada di sampingnya. Aku hendak menutup wajahnya dengan bantal itu dan berencana untuk menindihnya sampai dia mati. Tinggal sedikit lagi, bantal itu sudah berada di permukaan wajahnya.

Namun, aku gemetaran.

Sebagian dari diriku mengatakan "Bunuh dia, Dustin. Dia membuat hidupmu menderita. Jika dia mati, kau akan bebas dan tak akan kena pukul lagi."

Sedangkan sebagian lain dari diriku mengatakan "Dustin, kau tidak boleh melakukan ini. Meskipun kau seorang kriminal, kau bukan orang jahat. Lagipula, membunuhnya hanya akan membuatmu masuk penjara anak."

Aku menjatuhkan bantal itu, dan mengurungkan niatku.

Kemudian aku pergi ke kamarku, dan membuka laci meja belajarku.

Aku mengambil sebungkus ganja dan kokain yang kudapatkan dari Gordon King, sesama kriminal. Aku berpikir, mungkin ini bisa membuatku melupakan kejadian barusan.

Aku melinting ganja tersebut memakai kertas yang kusobek dari buku PR-ku, dan membakarnya menggunakan pemantik.

Aku mulai menghisapnya dan mengeluarkan asapnya.

Kemudian aku juga menghisap kokain memakai kertas lain yang kusobek dari buku PR. Aku menyedotnya menggunakan hidungku.

Dalam sekejap, aku melupakan apa yang aku alami barusan. Rasanya aku tidak bisa merasakan apa pun, kecuali rasa bahagia yang kudapatkan dari narkoba itu. Telernya membuatku lupa akan kenyataan.

Semakin hari, aku semakin kecanduan terhadap narkoba. Apalagi, aku masih bergaul dengan Gordon King yang juga pecandu. Aku suka mencopet di kereta bawah tanah bersamanya. Aku membantunya mencuri barang-barang berharga di rumah yang ditinggal sementara saat penghuninya sedang berlibur. Aku juga menjadi pengedar narkoba di sekolah.

Saat aku lulus SMA , aku diterima di Universitas Foxbury. Namun, ibu tidak memujiku. Dia sudah menjauhi alkohol dan tidak memukuliku lagi. Dia juga mendapat pekerjaan sebagai kasir di restoran fast food, tapi perlakuannya padaku masih dingin dan tak acuh. Aku juga sering menghabiskan waktu berempat dengan Angela, Lilith dan Dirk di Pleasantview Park. Keadaan jadi sedikit membaik saat itu.

Kemudian, saat kuliah, kecanduanku semakin tak terkendali. Aku sering menghadiri pesta. Aku mencoba berbagai macam narkoba selain ganja dan kokain : amfetamin, morfin, sabu, heroin, dan psikotropika lainnya. Aku pernah kejang di rumah ketika memakai morfin. Ibuku sedang bekerja, jadi yang memanggil ambulans adalah adikku satu-satunya, Beau. Untunglah dia pintar dan bertanggung jawab, tidak sepertiku. Akhirnya, ibu meminta maaf padaku saat aku di rumah sakit. Untuk pertama kalinya saat aku sakit, dia menyuapiku. Dia juga memasukkan aku ke panti rehabilitasi. Untuk sementara, aku pulih dari obat-obatan terlarang. Tapi kecanduanku kambuh lagi saat aku memasuki tahun ketiga kuliah.

Akibat narkoba, konsentrasiku saat kuliah jadi menurun. Aku sering teriak-teriak di kelas karena sakaw. Aku juga mengalami halusinasi saat belajar atau ujian. Aku melihat huruf-huruf yang ada di komputer, kertas atau papan tulis, terbang atau melayang. Kadang-kadang aku melihat bayangan hitam yang mengejarku sehingga aku sering berlarian di koridor kampus. Teman-teman juga menjauhiku karena menurut mereka aku aneh, merasa paling hebat dan tidak nyambung saat diajak bicara. Lantas aku memeriksakan diri ke psikiater atas saran dari Angela, kebetulan aku mendapatkan uang dari hasil mencopet. Dokter memvonisku mempunyai skizofrenia. Gejala-gejalanya adalah halusinasi dan delusi, waham kebesaran, dan inkoherensi dalam pembicaraan. Itu disebabkan oleh narkoba dan trauma yang aku dapatkan saat remaja. Aku mendapatkan obat Risperidone, Seroquel, dan Abilify. Namun, karena aku tidak punya uang atau asuransi kesehatan untuk terus berobat ke psikiater, aku berhenti berobat dan gejalaku semakin parah. Aku tidak bisa konsentrasi pada pelajaran. Selalu ada suara yang menyuruhku untuk mati saja ketika aku sendirian di kampus. Aku sering mengamuk, melawan dosen, bahkan mengajak berkelahi salah satu teman sekelasku padahal dia tidak salah apa-apa. Semua nilaiku juga anjlok dan bahkan tidak ada yang meraih nilai C saja satupun. Akhirnya, aku dikeluarkan dari Universitas Foxbury karena ketahuan memakai narkoba di perpustakaan. Sebenarnya kebetulan aku juga ingin mengundurkan diri dari sana, tapi aku keburu dikeluarkan. Ibu sangat kecewa padaku dan dia mengusirku dari rumah. Lalu, aku tinggal bersama Gordon King di downtown. Aku tetap bekerja sebagai seorang kriminal, terutama pada bidang pencurian.

Suatu hari, Angela mengajakku pergi ke acara pelelangan mobil Bentley di SimCity. Saat itu dia sudah lulus sarjana dari Sim State University dan mengambil kuliah magister psikologi klinis agar bisa menjadi terapis yang baik untukku, di samping menjadi seorang kekasih. Dia juga membantuku berobat menggunakan uang gajinya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan. Kami juga mengajak Lilith dan Dirk ke acara itu. Di acara pelelangan mobil Bentley tersebut, kami bertemu dengan empat orang lainnya yang berasal dari kota Strangetown dan Veronaville : Johnny Smith dan pacarnya, Ophelia Nigmos, Ripp Grunt, dan Puck Summerdream. Kami semua dikumpulkan dalam satu meja untuk diskusi, dan kami membahas mobil Bentley kesukaan kami, terutama Bentley eight classic. Puck mengoleksi mobil-mobil mini Bentley yang dia bawa di tasnya dan menunjukannya pada kami. Tentu saja, kami senang melihatnya.

Sejak saat itu, kami semua makin dekat. Kami sering bertemu di SimCity atau Downtown. Kami sering makan di Londoste atau Red's Famous '50s Diner. Kami juga suka ke Maple Springs Pool and Spa atau Sugar Cube Bowling. Puck mengajak kami bertujuh untuk tinggal bersamanya di rumahnya di SimCity. Tadinya dia tinggal sendirian, tapi rumah itu terlalu besar baginya. Ada lima kamar tidur juga disana. Saat mulai tinggal di rumah itulah, kami mengetahui kesamaan kami selain mobil Bentley eight classic, yakni penyakit kejiwaan. Hanya Dirk yang tidak sakit jiwa di antara kami. Semuanya menjadi lebih baik saat bersama mereka. Sebenarnya aku ingin melamar Angela, tapi aku tidak bisa menikah untuk sekarang karena skizofrenia dan adiksi.

LILITH :

Aku memimpikan masa kecilku yang tidak bahagia. Sejak kecil, aku selalu dianaktirikan oleh kedua orangtuaku, Daniel dan Mary-Sue Pleasant. Mereka selalu menganakemaskan Angela dan menganggapku sebagai kambing hitam di keluarga kami. Aku tidak diajari mereka cara berbicara, berjalan dan ke toilet. Namun, Angela cukup peduli untuk mengajarkanku ketika kami berusia 6 tahun walaupun dia sendiri belum terlalu paham. Bahkan ulang tahun yang dirayakan saat kami kecil adalah ulang tahun Angela, padahal kami kembar.

Aku ingat saat kelas lima SD, aku bertengkar dengan Angela. Kami memang hampir tak pernah akur. Tapi saat itu Angela yang duluan merebut mainanku. Aku merebutnya kembali dan dia menangis. Lantas, ayahku datang dan langsung membela Angela dan memarahiku.

"Apa-apaan kau, Lilith? Apa yang kau lakukan pada Angela?"

"Dia duluan yang merebut mainanku, ayah."

"Kau pasti berbohong. Kau membuatnya menangis." Kata ayahku. Kemudian dia mengambil mainanku dari genggamanku dan memberikannya pada Angela.

"Ini milikmu, sayang." Kata ayahku pada Angela.

"Tapi itu kan mainanku!?" Teriakku.

"Diam, Lilith. Kau harus jadi anak yang lebih baik lagi." Kata ayah.

Setelah itu aku hanya bisa menangis di kamarku, sambil memukul-mukul boneka beruangku.

Aku juga ingat saat aku, Angela dan ibuku pergi ke restoran. Angela memesan es krim stroberi besar dengan tiga scoop, sedangkan aku hanya diperbolehkan memesan satu scoop es krim.

"Ibu, boleh aku memesan hamburger, sama seperti Angela? Kumohon."

"Tidak. Ibu tidak mempunyai uang untuk membelikan dua hamburger. Harganya juga mahal, 30 simoleons. Sebaiknya kau pesan makaroni dan keju saja."

Akhirnya aku hanya makan makaroni dan keju seharga 5 simoleons. Padahal, ternyata uang ibu sebenarnya ada banyak. Aku melihat dia memiliki 500 simoleons ketika membuka dompetnya.

Setiap kali ada masalah di rumah, selalu aku yang disalahkan. Padahal aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa bersabar dan menahan amarah. Sedangkan Angela selalu dimanja dan mendapatkan yang dia inginkan. Apa pun yang kulakukan, tak pernah cukup baik di mata orang tuaku. Hanya Angela yang selalu dipuji oleh mereka.

Saat aku dan Angela menginjak usia 15 dan memasuki tahun pertama SMA di kelas 10, aku dan Angela bergabung dalam lingkaran sosial yang sangat berlawanan. Angela dengan teman-temannya yang cantik dan berlagak sosialita, sedangkan aku dengan anak-anak emo/gotik, atau anak-anak nakal yang membentuk band rock. Tak jarang, aku sendirian di sekolah. Saat itu Angela sering bersikap kasar padaku. Dia juga merebut Dustin Broke dariku, padahal aku yang pertama kali mendekatinya. Entah kenapa, dia sepertinya mempunyai fetish terhadap bad boy. Tak apalah, lagipula aku berhasil mendapatkan Dirk yang jenius, kebetulan aku suka laki-laki pintar. Kami saling mencintai, dan hanya dialah tempatku mencurahkan semua perasaanku. Hanya dia yang bisa dan paling mengerti keadaanku. Aku kehilangan keperawananku padanya dan kami sering bercinta di rumahnya.

Aku mulai menunjukkan gelagat aneh, namun tak menyadarinya. Tadinya, Aku merasa sangat bahagia. Aku sering tertawa sendiri, merasa sangat bersemangat dan sehari rasanya tak cukup 24 jam, tidak butuh tidur sampai tiga hari, hiperseksual dan mengajak Dirk bercinta tiga kali dalam sehari, menghamburkan uang dan belanjakan barang yang tidak penting. Aku juga suka menari-nari kesana kemari sambil menyalakan musik di lantai bawah pada jam 3 pagi, saat semua orang sudah tidur. Angela juga pernah memergokiku menari ketika dia sedang kebawah untuk mengambil air minum, dan dia menyebutku sebagai orang aneh. Sedangkan di sisi lain, aku merasa sangat sedih. Aku menangis, merasa tidak berguna dan hidup ini seakan sia-sia saja. Aku mulai menggunakan cutter untuk menyayat lenganku, meskipun tidak ada keinginan untuk bunuh diri walaupun terkadang terlintas di kepalaku. Kemudian, Dirk membawaku ke psikiater setelah melihat lukaku. Aku menggunakan asuransi kesehatan keluarga kami untuk berobat. Psikiater memvonisku memiliki gangguan bipolar tipe 1 dan gangguan kepribadian ambang. Aku mendapatkan obat Lithium, Lorazepam dan Olanzapine. Namun, Dirk tidak meninggalkanku. Dia malah menjadi semakin lengket padaku dan berusaha menjagaku, apa pun yang terjadi. Cita-citanya untuk menjadi dokter umum berubah menjadi seorang psikiater karena dia ingin menyembuhkanku. Aku sangat mencintainya walaupun hubungan kami putus-nyambung. Meskipun sebenarnya Dirk sendiri juga sakit diabetes dan aku yang selalu merawatnya. Selain itu, aku menyembunyikan bekas luka dengan tato yang banyak. Aku jarang bicara dengan keluargaku, jadi aku tidak pernah memberitahu Angela atau orangtuaku kalau aku ke psikiater.

Kemudian, Ayah dan ibuku panik ketika melihat Angela pingsan saat melakukan cheerleading di pertandingan basket. Dia mengaku terkena anemia, padahal aku melihat dia selalu memuntahkan makanan setiap selesai sarapan atau makan malam. Aku memberitahu tentang itu pada ibu dan ayah, walaupun aku mempunyai hubungan yang buruk dengan mereka. Tadinya mereka tidak percaya, tapi karena Angela semakin kurus, mereka pun membawa Angela ke panti rehabilitasi untuk diterapi dari bulimia. Angela langsung bercita-cita menjadi psikolog setelah diterapi berkali-kali oleh psikolognya. Dasar jalang bodoh, mudah sekali dia terkesan dengan sesuatu yang jarang ada. Dia langsung belajar mati-matian, lompat kelas dan lulus di umur 16 tahun, lalu diterima di Sim State University jurusan psikologi.

Saat aku menginjak kelas 12 dan berumur 17 tahun (sedangkan Angela sudah kuliah duluan walaupun kami sebenarnya seangkatan), ayah dan ibuku bercerai karena ayahku ketahuan selingkuh dengan pembantu kami, Kaylynn. Ayah tidak tinggal bersama kami lagi. Angela syok. Sedangkan aku biasa saja, karena aku tidak akrab dengan mereka. Namun, hubunganku dengan Angela membaik. Angela meminta maaf padaku dan kami berpelukan saat malam natal tiga tahun yang lalu. Setahun kemudian, aku diterima di Sim State University jurusan seni rupa. Namun, ayah dan ibuku tidak berkomentar apa-apa soal itu setelah aku memberitahu mereka. Ya, bagi mereka hanya Angela lah yang bisa dibanggakan. Lalu, saat aku berumur 19 tahun dan memasuki tahun kedua kuliah, Angela lulus dari Sim State University. Aku dan kedua orangtuaku menghadiri wisudanya.

Walaupun begitu, aku tetap menganggap dia sebagai musuhku. Aku menganggap dia memonopoli semuanya sejak kami kecil. Kasih sayang orang tua, ketenaran sebagai kapten cheerleadeer dan queen bee, Dustin Broke, serta ambisi menjadi psikolog. Walaupun dia berusaha ramah dan memberikan perhatian padaku karena dia merasa bersalah atas perbuatan kasarnya dulu padaku, aku tetap bersikap dingin padanya. Yah, walaupun aku sedang belajar memaafkan untuk saat ini.

ANGELA :

Aku memimpikan masa laluku ketika masih SMA. Saat itu umurku 15 tahun. Aku mendapatkan segalanya saat itu. Kasih sayang orangtua, nilai yang bagus, populer di sekolah, mempunyai girl squad, menjadi kapten cheerleader, dan pacar yang tampan. Namun, aku tak akur dengan saudari kembarku, Lilith, yang menjadi gadis gotik sekaligus orang aneh di sekolah. Kami berada di lingkungan sosial yang sangat berbeda. Aku bergaul dengan para cheerleader populer yang cantik dan berambisi jadi sosialita. Sedangkan Lilith bergaul dengan anak band, juga para anak nakal. Aku harus mengakui, bahwa dulu aku memang kasar pada Lilith. Dia selalu menjadi bahan gosip di antara teman-temanku, dan aku bukannya membelanya malah ikut membicarakan kejelekannya. Walaupun banyak laki-laki yang mengejarku, yang bisa mengambil hatiku hanyalah Dustin. Aku sangat mencintainya. Entah kenapa, aku sangat menyukai bad boy. Padahal, Dustin sangat berlawanan denganku. Dia menyukai hal-hal berbau kriminal, sedangkan aku benci itu. Selain itu, Aku juga kehilangan keperawananku padanya. Kami bercinta di rumahku saat ayah dan ibuku bekerja, dan Lilith sedang latihan band.

Saat menjadi kapten cheerleader, aku terobsesi untuk menjadi kurus dengan segala cara. Aku diminta oleh pelatih cheerleader untuk menurunkan berat badan dari 53 kg jadi 46 kg, agar mereka bisa semakin mudah mengangkatku keatas. Aku juga mendapat tekanan dari teman-teman cewekku yang cantik untuk menjadi sekurus mereka. Aku pun mencoba segala cara untuk menurunkan berat badan. Aku hanya makan apel tiga kali sehari, dan hampir tak pernah makan siang di sekolah. Namun, ibuku akan curiga jika aku tak sarapan dan makan malam bersama mereka di rumah. Jadi, sehabis sarapan atau makan malam, aku selalu memuntahkan makanan yang baru kumakan. Aku menggunakan jari telunjuk dan tengah untuk memicu muntah, kadang juga memakai sikat gigi. Aku juga menggunakan obat pencahar. Lantas berat badanku turun lebih dari yang ditargetkan. Padahal pelatihku memintaku turun berat badan sampai 46 kg, tapi aku menurunkan berat badanku sampai 40 kg.

Aku terus-terusan menahan lapar dan memuntahkan makanan. Akhirnya, aku pingsan saat melakukan cheerleading di pertandingan basket SMA Pleasantview. Dustin dan kedua orang tuaku bilang mereka panik saat melihatnya. Tapi aku tidak bilang pada mereka tentang apa yang sebenarnya kulakukan. Aku hanya bilang bahwa aku sedang kena anemia. Sampai akhirnya Lilith curiga kenapa aku selalu ke kamar mandi setiap selesai makan. Dia menguping di luar kamar mandi setiap aku memuntahkan makanan. Kemudian, dia memberitahukannya pada ibu, walaupun hubungan mereka buruk. Tadinya aku marah sekali pada Lilith dan mencelanya. Tapi aku terpaksa mengakuinya pada orangtuaku karena mereka melihat tubuhku semakin kurus dan tidak bisa dianggap sehat. Lantas orangtuaku membawaku ke panti rehabilitasi untuk diterapi dari bulimia. Aku benar-benar merasa nyaman saat diterapi oleh psikolog, dan menurutku itu adalah pekerjaan yang sangat keren. Aku ingin membantu orang lain dengan pekerjaan sebagai psikolog. Oleh karena itu, aku berusaha keras untuk masuk jurusan psikologi di kampus impianku, Sim State University. Aku melompat langsung dari kelas 10 ke kelas 12. Aku lulus dari SMA Pleasantview di umur 16 tahun dan diterima di jurusan psikologi Sim State University. Aku belajar menjadi lebih tulus dan bijak ketika kuliah di jurusan psikologi, dan kurasa itu adalah jalan hidup yang ditakdirkan Tuhan untukku.

Masa kuliah berlalu dengan cepat dan aku lulus dalam waktu tiga tahun di usia 19. Aku langsung mengambil jurusan magister psikologi klinis untuk menjadi psikolog. Di saat itu juga, aku menyadari ada yang tidak beres dengan Dustin. Dustin sering mendapat bisikan yang menyuruhnya untuk mati. Dia kadang merendahkanku dan merasa dirinya paling hebat. Dia tidak nyambung saat diajak bicara, dan merasa dikejar oleh monster bermata tujuh.

Begitupun juga dengan Lilith yang gejalanya tak jauh beda dengan Dustin. Namun bedanya, mood Lilith naik turun secara ekstrim. Dia kadang kelihatan sangat bahagia dan cara bicaranya menggebu-gebu. Dia suka menari-nari sendirian di rumah lantai 1 pada jam 3 pagi ketika semua orang sudah tidur, dan aku baru ingat pernah melihatnya seperti itu ketika kami masih remaja. Tapi di lain waktu, dia sangat lesu dan sedih.

Sayangnya saat SMA aku belum menyadarinya, sehingga aku hanya menganggapnya aneh saja. Sebenarnya aku kasihan padanya karena dia tidak mendapatkan perhatian orangtua sejak kecil. Aku juga sudah berkali-kali bilang ke orangtuaku untuk tidak menganaktirikan Lilith, tapi mereka tak mau dengar. Ketika kuliah di jurusan psikologi jugalah, aku mulai merasakan empati yang besar pada Lilith. Aku memahami kenapa dia menjadi nakal dan bersikap aneh. Dia ingin mendapatkan perhatian dari kedua orangtua kami. Itu sebabnya, aku mulai bersikap baik padanya. Aku yang tadinya sering merendahkannya ketika SMA, menjadi lebih ramah dan hangat padanya agar dia tak merasa dikambinghitamkan di rumah kami. Tapi dia masih meresponnya dengan judes. Walaupun begitu, aku tahu sebenarnya dia senang aku memberinya perhatian. Aku bisa melihatnya dari tatapan matanya dan gerakan tubuhnya.

Aku menemani Dustin ke psikiater dan Lilith mengakui bahwa dia juga ke psikiater setelah aku memergokinya menyayat lengannya sendiri di kamarnya. Seperti yang kuduga, Dustin terkena skizofrenia dan Lilith mempunyai gangguan bipolar. Aku pun semakin semangat menjadi calon psikolog agar bisa memberikan terapi pada mereka berdua. Aku minta maaf dan berbaikan dengan Lilith pada malam natal tiga tahun yang lalu, dan aku berjanji akan selalu menjadi kakak yang baik baginya.

Namun, ketika usiaku 17 tahun dan sedang menjalani kuliah sarjana psikologi semester dua, aku merasa tidak baik-baik saja. Perut bagian bawahku sangat sakit saat aku sedang haid. Saat bercinta dengan Dustin pun juga sakit. Pernah saat aku di kelas, aku pingsan lagi karena rasa sakit di perutku yang luar biasa dan tak tertahankan. Aku akhirnya memeriksakan diri ke dokter kandungan, dan setelah tiga tahun berobat, dia memvonisku mempunyai endometriosis (kelainan jaringan rahim). Aku sangat kaget mengetahuinya. Pantas saja aku tidak penah hamil walaupun sudah berkali-kali tidur dengan Dustin tanpa pengaman. Aku termasuk beruntung karena mengetahui diagnosisnya dalam waktu tiga tahun, karena rata-rata diagnosis endometriosis didapatkan dalam waktu tujuh tahun. Padahal cita-citaku selain menjadi psikolog adalah menjadi seorang ibu. Namun, aku berharap aku tetap bisa punya anak.

DIRK :

Aku memimpikan masa remajaku ketika baru berpacaran dengan Lilith. Saat itu aku berumur 16 tahun dan duduk di kelas 10. Dia begitu cantik di mataku. Mungkin kami tidak terlalu banyak kecocokan, tapi itulah yang membuat kami bersatu : perbedaan. Aku sangat mencintainya. Bagiku, dia bukan gadis gotik yang nyentrik dan aneh. Dia adalah gadis yang mendapat perlakuan tidak adil dari kedua orangtuanya, dan dia patut merasa iri pada Angela. Aku bahagia menjalin hubungan dengannya dan kami saling memberikan virginitas masing-masing.

Namun, suatu hari ketika aku pulang sekolah, aku merasa sangat kehausan. Aku berkali-kali minum air putih, tapi rasanya seperti tak terserap di tubuhku sama sekali. Aku juga bolak balik ke kamar mandi setiap 3 menit. Napasku terengah-engah. Aku merasa sangat pusing, lemah, dan lesu. Aku berusaha istirahat di kamar, tapi aku tidak bisa tidur malam itu. Rasanya sangat menyiksa dan aku merasa seperti mengalami mimpi buruk.

Kemudian, aku pergi ke kamar ayahku, Darren, di lantai atas pada jam 12 malam. Aku jatuh berlutut di hadapannya. Dia sangat panik dan segera membawaku ke rumah sakit menggunakan mobil kami.

Saat di mobil, aku terombang-ambing di antara keadaan sadar dan pingsan. Ayahku melompat dari mobil dan menggendongku ketika sampai di depan UGD. Dia membuka pintu UGD dan langsung minta tolong. Gula darahku dicek dan mencapai angka 600, padahal batas normalnya adalah 150. Setelah itu aku dimasukkan ke ruang ICU. Malam itu di ICU, aku merasa diriku sekarat dan segera menyusul ibuku. Aku berpikir, pupuslah cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Ketika aku menutup mata, aku yakin aku tidak akan terbangun lagi.

Namun, ternyata keesokan paginya aku terbangun dan merasa lebih baik. Lilith dan ayahku berada di sampingku. Lilith sudah datang sejak tadi malam ketika aku tertidur, dan ayahku selalu mengawasiku. Lilith langsung menciumku ketika aku terbangun. Begitupun ayahku yang memelukku dan bersyukur aku selamat.

Setelah itu, Dokter memvonisku mempunyai diabetes tipe 1. Aku harus disuntik insulin dan minum obat setiap hari, mengecek gula darah dan menjaga makan. Aku keluar dari rumah sakit dan menjalani pola hidup teratur. Aku tetap bercita-cita menjadi dokter, walaupun aku punya penyakit diabetes.

Sedangkan aku menyadari gelagat aneh Lilith. Dia bisa menjadi sangat bahagia, tapi di lain waktu menjadi sangat sedih. Aku langsung membawanya ke psikiater setelah melihat luka di lengannya. Ternyata Lilith mempunyai gangguan bipolar dan borderline personality disorder. Namun, aku tidak meninggalkannya dan tetap mencintainya. Cita-citaku yang tadinya menjadi dokter umum saja berubah menjadi seorang psikiater, karena aku ingin menyembuhkannya. Lantas, aku belajar keras dan melompat langsung ke kelas 12, sama seperti Angela. Aku diterima di jurusan sains dan kedokteran Universitas Sims. Aku lulus di umur 19 tahun, koas selama 2 tahun dan langsung mengambil spesialisasi psikiatri.

Ditambah lagi, ternyata Dustin mempunyai skizofrenia dan bulimia Angela makin parah. Aku ingin menyembuhkan mereka semua, walaupun aku sendiri juga sakit.

PUCK :

Aku memimpikan masa laluku saat masih tinggal di kota Veronaville, kota yang penuh konflik antara keluarga Capp dan Monty. Keluargaku, keluarga Summerdream, selalu menjadi penengah di antara mereka walaupun beberapa dari anggota keluarga Capp dan Monty sering berkelahi di rumah kami ketika kami mengadakan pesta. Dulu aku juga berpacaran dengan Hermia Capp. Dia punya dua kakak : Tybalt dan Juliette. Aku berteman akrab dengan Tybalt. Juliette menjalin hubungan dengan Romeo Monty di tengah konflik panas antara keluarga mereka berdua.

Namun, suatu hari, aku pingsan di sekolah ketika jam pelajaran olahraga. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku dan selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi. Begitu sadar, aku sudah di rumah sakit. Sebenarnya aku sudah merasakan gejalanya sejak kecil, tapi baru parah ketika aku SMA. Dokter memvonisku mempunyai kardiomiopati atau kelainan jantung. Aku membutuhkan obat setiap hari untuk bisa bertahan hidup, dan tidak boleh berolahraga berat. Tadinya aku merasa terpukul. Padahal, aku sebenarnya ingin jadi pelari. Aku hanya bisa melampiaskan kesedihanku dengan cara memainkan alat musik : piano, biola, gitar, dan saxophone. Ayahku, Oberon, dan ibuku, Titania, serta adikku, Bottom, selalu mendukungku dan membantuku melawan penyakit ini. Aku beruntung mempunyai mereka. Aku juga senang mempunyai pacar sebaik Hermia, yang selalu ada di sampingku ketika aku sakit. Ketika kami lulus SMA, kami kuliah di kampus yang berbeda. Aku kuliah di Universitas Sims jurusan seni musik, sedangkan Hermia kuliah di Academie Le Tour.

Kemudian, tibalah hari kehancuranku. Hari di mana Hermia meninggal. Itu terjadi tiga tahun yang lalu, saat aku berumur 19 tahun. Itu adalah hari terburuk dalam hidupku.

Saat itu, aku sedang berada di Academie Le Tour untuk mengunjungi Hermia. Kemudian penyakit jantungku kambuh. Dadaku sangat sakit, dan sesak. Aku segera minum obatku yang hanya tinggal satu butir. Aku belum sempat kontrol lagi sehingga aku kehabisan obat. Aku meminta Hermia untuk membelikan obat lagi memakai resepku, tapi aku tidak bisa menemaninya ke apotik karena tubuhku sedang lemah. Dia pun berangkat sendirian ke apotik, sedangkan aku istirahat di kamarnya. Aku ingat saat terakhir aku bicara dengannya.

"Puck, aku sudah membelikan obat Isosorbide Dinitrate dan Amiodarone untukmu. Benar kan ini obatnya?"

"Ya, Hermia."

"Apa kau mau makan buah juga, Puck? Aku akan membelikanmu di supermarket."

"Baiklah, aku mau."

"Tunggu aku, ya. Aku akan segera kembali kesana."

"Tentu saja, sayangku. Aku mencintaimu." Kataku pada Hermia.

"Aku lebih mencintaimu lagi, Puck. Sampai nanti."

Lalu, Hermia memberikan kecupan jauh lewat telepon. Kami mengakhiri pembicaraannya. Aku tak menyangka, itu adalah pembicaraan terakhirku dengan Hermia untuk selamanya.

Sekitar 30 menit kemudian, Aku membaca flash news di ponsel bahwa terjadi kasus penembakan di Waffle Way Shoppes lingkungan Academie Le Tour. Aku terkejut karena toko itulah yang ingin Hermia datangi untuk beli buah. Aku segera menghubungi ponselnya berkali-kali, tapi tak ada jawaban.

Kemudian aku mendapat panggilan telepon dari teman Hermia, Leah. Jika waktu bisa diputar kembali, aku berharap aku tidak punya ponsel saat itu.

"Huuu...hiks..." Leah terisak.

"Ada apa, Leah? Kau tahu berita barusan?"

"Puck, Hermia terkena tembakan di Waffle Way Shoppes. Si pelaku menembakkan senapan mesin ke semua orang di Waffle Way Shoppes. Hermia tertembak di kepala dan dadanya, dan dia tewas seketika."

Rasanya duniaku langsung runtuh. Hatiku hancur berkeping-keping setelah mendengarnya.

Aku menjerit dan menangis histeris.

Kemudian aku pingsan saat teman satu kos Hermia masuk ke kamarnya, tempat dimana aku menjerit.

Yang aku tahu selanjutnya, aku terbangun di rumah sakit Academie Le Tour. Kakak Hermia, Tybalt, datang ke kamarku dengan penuh amarah dan dia menyalahkanku atas kematian Hermia, karena dia akhirnya mengetahui bahwa Hermia sedang membelikanku obat jantung ketika ditembak. Dia sempat menarik kerah bajuku dan hampir menonjokku, tapi aku dilindungi oleh dokter yang mendengar kemarahannya. Tybalt pun diusir dari rumah sakit oleh sekuriti.

Aku hanya bisa menangis meraung-raung dan meratapi kematiannya di kasurku. Sedangkan pelakunya bunuh diri setelah menembak semua orang di Waffle Way Shoppes. Saat aku datang ke pemakamannya, Tybalt ingin menghajarku lagi, tapi ditahan oleh Juliette. Akhirnya dia memendam amarahnya. Hatiku lebih dari sekadar hancur ketika melihat Hermia dikebumikan. Satu-satunya kekasih yang aku cintai kini telah pergi untuk selamanya. Kematiannya menjadi patah hati paling menyedihkan yang pernah kualami. Aku merasa pantas untuk disalahkan atas kematian Hermia, dan itu membuatku selalu menangis setiap hari.

Setahun kemudian ketika aku dirawat di rumah sakit karena penyakit jantungku yang tak kunjung sembuh, dokterku merujuk seorang psikiater untukku dan dia memvonisku mempunyai depresi mayor. Dia memberiku obat Fluoxetine dan Sertraline, di samping obat jantung yang diberikan dokter jantungku. Aku tak peduli lagi, saat itu aku hanya ingin cepat mati agar bisa menyusul Hermia. Namun, aku ditenangkan oleh Juliette yang menjengukku. Katanya ini bukan salahku, dan aku harus melanjutkan hidup demi Hermia jika aku memang mencintainya. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tetap hidup. Aku yakin, di atas sana Hermia juga ingin aku bahagia. Semua menjadi lebih baik setelah aku lulus kuliah dan bertemu dengan semua anggota Bentley 8 di pelelangan mobil Bentley karena kesukaan kami terhadap mobil Bentley eight classic. Aku mengajak mereka untuk tinggal di rumahku di SimCity karena aku merasa kesepian jika tinggal sendirian, ditambah aku punya depresi sehingga harus didampingi.

RIPP :

Aku memimpikan masa remajaku ketika berada di rumah keluarga Grunt. Ayahku, Buzz Grunt, adalah seorang jenderal di angkatan darat, dan kakakku, Tank, juga terobsesi dengan dunia ketentaraan. Aku benci mereka berdua yang selalu memperlakukanku dengan kasar. Ayahku selalu menonjokku ketika aku tidak disiplin, dan Tank selalu mendorongku sampai jatuh bahkan ketika aku tidak salah apa-apa. Hanya Buck, adik lelakiku, yang bisa menjadi temanku di rumah. Seandainya ibuku masih ada, tentunya tidak akan seperti ini.

Akhirnya, aku terkena penyakit attention deficit hyperactivity disorder dan gastritis karena stres berkepanjangan akibat perlakuan ayah dan kakakku. Aku mengetahuinya setelah ke psikiater atas saran dari Jenny, ibu Johnny yang seorang perawat. Aku tidak bisa fokus pada satu tugas saja, termasuk menonton tv. Saat aku berada di depan komputer, aku mudah teralihkan oleh hal-hal terkecil sekalipun. Aku merasa terganggu dengan cahaya matahari dan suara dari kamar mandi. Ketika aku berusaha fokus, aku pasti memikirkan hal lain. Aku tidak bisa duduk diam dan selalu bermain-main dengan bangku belajarku yang beroda. Aku juga tidak bisa menjaga sikap dan tindakan. Di kelas pun ketika ujian, aku selalu menggerak-gerakkan badan karena merasa bosan dan tidak mau diam.

Namun, hanya Ophelia dan Johnny lah yang mengerti aku dan keadaanku. Mereka dua orang teman terbaikku, dan kami bertiga menjadi trio yang tidak terpisahkan. Kami selalu bertiga kemana-mana. Di sekolah, di rumah Johnny, di mall, dan di kota Strangetown, tentunya. Meskipun sebenarnya ayahku membenci alien dan dia tak suka aku berteman dengan Johnny. Tank juga memusuhi Johnny dan selalu mengajaknya berkelahi, tapi Johnny tidak pernah mau meladeninya.

Kemudian aku diterima di Universitas Britechester jurusan drama. Aku sangat senang, tapi ayahku tidak peduli. Dia malah memuji Tank yang masuk La Fiesta Tech, padahal semua lulusan SMA Strangetown juga bisa masuk kesana. Aku juga sering mengunjungi Ophelia dan Johnny yang kuliah di La Fiesta Tech. Sekarang, adik bungsuku, Buck, berkencan dengan Jill, adik perempuan Johnny.

OPHELIA :

Aku bermimpi tentang masa remajaku ketika masih tinggal di Strangetown, lebih tepatnya di rumah tante Olive. Rumah yang penuh dengan kuburan di halamannya, dan tante Olive dicurigai sebagai pembunuh yang membunuh orang-orang yang dikubur di rumah tersebut. Namun, tak sekalipun aku melihat dia membunuh. Aku terpaksa tinggal bersamanya karena ayah dan ibuku meninggal dalam kecelakaan kapal.

Hubunganku kurang baik dengan tante Olive karena dia sering memarahiku hanya karena kesalahan kecil, misalnya ketika aku lupa menaruh boneka beruangku kembali ke rak.

Namun, bukan hanya itu yang menyebabkan aku terkena gangguan kecemasan dan paranoid. Aku sering melihat penampakan di rumah kami. Ketika aku melihat cermin, ada seorang wanita di sampingku, padahal tidak ada siapa-siapa. Aku sering mendengar suara tangisan. Aku sering melihat barang-barang berpindah tempat sendiri, meskipun tak ada angin dan tante Olive sedang berada di kamarnya.

Kejadian yang tak bisa aku lupakan adalah ketika aku mengambil air minum di dapur. Saat itu pukul 12 tengah malam. Tante Olive sudah tidur. Aku mengambil air di gelas. Tiba-tiba, aku mendengar pintu kulkas di belakangku dibuka dengan kencang dan menabrak laci dapur dengan keras. Tadinya aku mengira tante Olive sedang marah dan membuka kulkasnya dengan penuh emosi. Namun, ketika aku melihat ke belakang...tidak ada siapa-siapa di sana. Aku terkejut, tapi aku menenangkan diri. Siapa tahu tante Olive lupa menutupnya dan segera ke kamarnya. Aku menutup kulkasnya dan membuka kamar tante Olive.

Ternyata, tante Olive masih tidur. Tak ada tanda-tanda dia bangkit dari kasurnya.

Aku pun ketakutan. Aku mulai cemas dan berlari ke kamarku.

Kemudian, terjadi peristiwa yang tak akan aku lupakan seumur hidupku.

Tiba-tiba seorang pria tua berambut putih melompat kedepan wajahku sambil tersenyum lebar. Bibirnya robek dari kedua ujung pipi. Kedua matanya putih tanpa iris. Lidahnya panjang dan menjulur keluar. Wajahnya juga penuh dengan luka. Aku terkejut setengah mati dan menjerit. Tapi detik berikutnya dia menghilang di depan mataku. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Yang kuingat setelahnya, aku sudah berada di kasurku. Saat itu sudah pagi, dan tante Olive berada di sisi kasurku. Dia mengatakan bahwa aku bermimpi buruk dan berteriak ketika aku tidur. Dia mengelus rambutku dan memperbolehkanku tidak masuk sekolah hari itu. Namun, aku yakin sekali bahwa itu bukan mimpi. Aku menceritakannya pada Johnny dan Ripp, dan mereka percaya padaku, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun begitu, aku senang memiliki mereka. Mereka tidak melihatku sebagai cewek aneh yang tinggal di kuburan. Mereka menyayangiku apa adanya. Merekalah keluargaku selain tante Olive.

Akibat sering melihat kejadian aneh, terutama penampakan itu, aku terkena gangguan kecemasan dan gangguan kepribadian paranoid. Aku mengetahuinya ketika ke psikiater bersama Ripp. Itu karena aku sering cemas, selalu gelisah, bahkan kadang-kadang aku juga mengalami serangan panik. Ditambah lagi, Johnny terkena hate crime. Sembilan orang memukul dan menusuknya sampai dia koma selama lima hari sehingga aku terkena serangan panik ketika mendapatkan kabar itu. Untunglah Johnny selamat, dan aku mempunyai sedikit tabungan hasil bekerja sambilan untuk ke psikiater. Aku diterima di Universitas La Fiesta Tech jurusan sastra saat lulus SMA dan kuliah disana bersama Johnny.

Kemudian tante Olive sekarat saat aku berada di tahun pertama kuliah dan sedang liburan di rumah kami. Dia baru memberitahuku tentang anaknya yang juga sepupuku, Nervous Subject, yang tinggal di rumah pasangan ilmuwan Beaker. Aku kaget mengetahui bahwa selama ini aku punya sepupu. Nervous dikurung oleh Loki dan Circe Beaker, lalu dijadikan percobaan. Sayangnya, Tante Olive tidak bisa lapor polisi karena dia sendiri dicurigai oleh polisi atas pembunuhan. Dia meninggal di sisiku. Setelah itu, aku melaporkan ke polisi atas kesaksianku mendengar Nervous teriak saat aku hendak mengunjungi rumah pasangan Beaker. Polisi mendatangi rumah tersebut. Tadinya mereka menyembunyikan Nervous. Tapi Nervous berhasil mendobrak ruangan tempat dia disekap, diikat dengan tali dan mulutnya dipasang lakban. Akhirnya mereka berdua dipenjara dan Nervous bebas. Hanya saja, Nervous akhirnya mengalami gangguan jiwa berat dan tidak akan bisa keluar dari rumah sakit jiwa seumur hidupnya.

Aku terbangun dari mimpiku karena Johnny yang tidur di sampingku mengigau.

"Ngghhh...mmhhh... Tidak."

"Johnny?"

"TIDAK!"

JOHNNY :

Aku memimpikan kisah hidupku dan kejadian traumatis yang kualami saat aku berumur 18 tahun. Kejadian yang membuatku terkena gangguan stres pasca-trauma dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD).

Dulu, aku adalah anak setengah alien yang bahagia. Ayahku, PT9 Smith, adalah alien yang jatuh cinta pada ibuku, seorang wanita bernama Jenny Curious. Aku lahir di keluarga yang bahagia. Aku memiliki kulit ayahku, serta mata hijau dan rambut pirang ibuku. Aku juga memiliki adik perempuan bernama Jill yang berkulit putih dan terlihat seperti manusia normal. Kami tinggal di rumah yang harmonis dan jauh dari konflik. Aku juga memiliki pacar yang cantik, Ophelia Nigmos dan sahabat yang setia, Ripp Grunt. Ya, aku dulu begitu bahagia.

Sampai saat aku berjalan sendirian di pinggir kota Strangetown. Saat itu, aku baru saja dari bioskop tengah malam. Kemudian, ada sembilan orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Kurasa mereka adalah orang yang berasal dari kota lain dan tidak pernah melihat orang berkulit hijau sebelumnya. Tapi aku cuek saja, berjalan menjauhi toko buku.

Ternyata, mereka berjalan mengikutiku. Tapi aku tak menyadarinya. Aku masih berjalan sambil bersiul.

Aku merasa ada yang mengawasiku dari belakang. Aku pun menoleh ke belakangku. Aku kaget orang-orang itu mengikutiku.

"Mau apa kalian?" Kataku.

"Kenapa kulitmu hijau?" Kata salah satu dari mereka.

"Bukan urusanmu." Jawabku sambil mempercepat langkah.

Mereka juga mempercepat langkah.

Kemudian aku berlari. Aku masuk gang kecil di sebelah pertokoan. Aku berlari sampai kehabisan napas.

"Hhh...hhh...." Aku membungkuk sambil memegangi lututku. Aku sudah berlari sejauh mungkin untuk menghindari orang yang mengejarku.

"TUNGGU! AWAS KAMU, KULIT HIJAU BANGSAT!!!" Ternyata orang-orang tadi masih ada di belakangku. Aku berlari lagi.

Aku tidak tahu lagi harus berlari kemana dan memilih arah kanan.

Kemudian aku terjebak di jalan buntu.

Aku pun pasrah. Saat itu aku sudah merasa menuju kematian.

Mereka memukulku berkali-kali, mengeroyokiku.

Mereka menendang wajah, perut, dan seluruh tubuhku. Aku tak bisa melawan karena aku sendirian, sedangkan mereka ada sembilan orang.

Mereka menusuk perutku.

Aku menjerit kesakitan.

Yang terakhir, mereka membuangku ke tempat sampah besar di gang itu. Tempat sampah yang baunya menyengat, becek, dan kotor.

"AAAAAAAHHHHH!!!" Aku terbangun dari tidurku sambil berteriak.

"Johnny!?" Kata Ophelia sambil memegang pundakku.

°°°

Semua anggota Bentley 8 terbangun dari kamar apartemen mereka setelah mendengar teriakan Johnny. Mereka segera ke kamar Johnny dan Ophelia.

Johnny basah kuyup karena keringat. Dia ngos-ngosan dan melihat ke arah depan dengan tatapan kosong.

"Hei, apa-apaan sih?" Kata Dustin sambil memasuki kamar Johnny. Angela menyusulnya.

"Tenang, Johnny. Apakah kau bermimpi buruk?" Tanya Dirk sambil menghampiri Johnny. Lilith berada di belakangnya.

"Johnny? Kau baik-baik saja?" Tanya Dirk lagi sambil duduk di depan Johnny.

Johnny tidak menjawab. Dia hanya melihat sekeliling.

"Akan kuambilkan air minum untukmu." Kata Ophelia sambil bangkit dari kasur.

Puck dan Ripp juga mendatangi kamar Johnny. Ophelia kembali dengan segelas air di tangannya. Kini semuanya berada di kamar Johnny.

"Astaga, Johnny. Aku kaget sekali barusan." Kata Ripp.

"Minumlah, Johnny." Kata Ophelia sambil menyodorkan air putih pada Johnny. Johnny meminumnya.

Johnny akhirnya menyadari bahwa teman-temannya sekarang sudah di sekelilingnya, kebingungan kenapa dia berteriak.

"Maafkan aku, teman-teman. Aku mengalami mimpi buruk. Mimpi saat aku dipukul dan ditusuk, lalu dibuang ke tempat sampah. Maaf telah membangunkan kalian semua." Katanya sambil meraba perutnya yang terdapat bekas luka.

Ophelia mengelus pundak Johnny. "Tenang, John. Sekarang kamu aman bersama kami. Lupakanlah kejadian itu."

"Mudah saja bilang padaku untuk melupakannya karena kau tidak mengalaminya, Phi. Sudahlah. Kembalilah ke kamar kalian. Sekali lagi, maaf sudah mengganggu. Kembalilah tidur." Kata Johnny.

Kemudian mereka semua kembali ke kamar. Saat itu pukul 04:00. Mereka semua tahu bahwa mereka tidak akan bisa tertidur lagi, karena frustasi memikirkan mimpi mereka barusan tentang masa lalu yang sulit dilupakan.

Bersambung

Next chapter