17 Sedikit demi Sedikit

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

Delima tersenyum. "Tidak sesering kamu. Aku hanya sesekali saja duduk di bangku ini."

"Itu sama saja," kata Keisha. "Itu berarti bangku ini masih memiliki fungsinya."

Keduanya sama tertawa halus, bahkan nyaris tanpa suara.

"Lalu, kenapa?" tanya gadis itu lagi. "Maaf jika aku mengatakan ini… apa kamu kehilangan seseorang yang kamu sayangi?"

"Kenapa kau sampai berpikiran seperti itu?"

Delima mengendikkan bahu. "Aku rasa semua orang yang melihat kamu bermenung di bangku ini dengan wajah yang sama, setiap hari… ya, pasti akan berpikir sama sepertiku."

"Begitu, ya?"

Keisha mengalihkan pandangannya ke permukaan danau yang beriak kecil sebab embusan angin dari arah daratan ke arah laut kembali menyapa dengan kelembutan dan kesejukan.

"Mau," ujar Delima sembari menatap wajah laki-laki itu dari samping, "berbagi sedikit tentang kamu padaku?"

Keisha mendengus, "Tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Sudahlah, lupakan saja."

Delima menghela napas lebih panjang. Apa pun itu, jelas hal tersebutlah yang membuat pria yang satu ini selalu melamun di bangku ini dengan bermuram durja.

Mungkin memang bukan soal orang terkasih. Lalu, soal apa?

"Aku… hanya ingin mencoba menjadi teman untukmu."

Keisha melirik gadis itu dengan ekor matanya. Teman? Bukankah ada banyak laki-laki dan perempuan lainnya di luar sana yang bisa dia jadikan sebagai teman? Kenapa aku?

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya Keisha.

"Diriku?" ulang Delima.

Keisha mengangguk kecil. "Kau bilang kemarin kalau kau tidak seberuntung yang aku katakan. Lalu, apa artinya itu?"

Delima tersenyum dan menekur. Kembali helaan napas panjang itu memenuhi rongga dadanya sehingga bukit ranum itu semakin membusung.

Keisha tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya dari sesuatu yang mungkin saja bisa menghasut khayalannya.

"Kamu benar," ujar Delima kemudian. "Usiaku sudah sembilan belas tahun, seharusnya gadis sepertiku sedang bersenang-senang dengan teman sebaya. Belajar, bercanda, apa pun itu."

"Lalu? Apa yang menghalangimu dari itu semua?"

Delima tersenyum. Paling tidak, ia merasa sedikit demi sedikit laki-laki itu sudah mulai membuka diri. Tidak sebeku yang kemarin.

"Banyak hal yang menghalangiku untuk mendapatkan keberuntungan seperti itu."

Keisha mendengus lagi, nyaris saja ia tertawa terbahak-bahak. Zaman sekarang, dan gadis itu tidak pernah mengenyam pendidikan? Yang benar saja!

"Aku tidak memiliki ayah," kata Delima kemudian, "atau kamu boleh bilang seperti itu."

Aah… ternyata begitu, pikir Keisha. Sepertinya lebih kepada urusan ekonomi. Atau jangan-jangan dia sebatang kara? Anak yatim piatu?

"Aku hanya tinggal bersama ibu, dan nenek."

Syukurlah… kupikir benar-benar sebatang kara, pikir Keisha lagi.

"Aku tidak bermaksud—"

"Tidak mengapa," Delima tersenyum.

Sedari tadi, Keisha merasa senyuman gadis itu memang sangat-sangat manis dan begitu menghipnotis. Kembali ia buang pandangannya dari wajah indah dengan senyumannya yang juga indah itu.

"Tapi… zaman sekarang masuk sekolah negeri sudah tidak ada biaya, bukan?"

"Entahlah, mungkin memang begitu."

Delima menundukkan kepala, memandang lagi sepasang kakinya sendiri yang menyatu dan menjulur lurus.

"Seperti yang aku bilang tadi, banyak hal yang menghalangiku untuk mendapatkan keistimewaan seperti anak-anak lainnya di dunia ini."

"Dunia ini?" ulang Keisha dengan kening mengernyit memandang Delima.

"Kurang lebih."

Sudut bibir laki-laki itu menyunggingkan satu senyuman. Seolah-olah kau bukan berasal dari dunia ini saja, pikir Keisha. Lalu apa? Surga?

"Seakan-akan kau hidup di abad pertengahan saja."

Delima tersenyum. "Maksud kamu?"

"Seolah kehidupanmu dipenuhi misteri."

Delima menutupi mulutnya agar suara tawanya itu tidak keluar lebih banyak lagi.

"Lihat siapa yang bicara," ujar Delima. "Kamu juga sama."

Keisha tersenyum hambar, berdeham dan lalu diam.

Angin kembali berembus, namun kali ini lebih kencang dari sebelumnya, diiringi awan berarak yang menghalangi cahaya mentari dengan warna kelabunya yang gelap.

Keisha mendesah panjang kala menengadah. Mendung sepertinya akan menutupi semua sudut di kawasan danau.

"Sepertinya akan turun hujan."

Keisha menghela napas dalam-dalam, lalu memandang gadis di sampingnya itu. "Yaah, kau benar."

Laki-laki itu menjauh dari bangku tersebut. "Lebih baik kau segera pulang. Jika benar rumahmu ada di sisi timur laut danau ini, mungkin kau akan pulang dengan kesusahan. Aku tidak melihat sebarang jalan setapak pun ke arah sana."

Delima tersenyum, ia membungkuk meraih bakulnya. Seperti tadi, bakul itu ia sandang di punggung.

"Kamu akan ke sini lagi besok?"

Keisha melirik gadis itu, lalu kembali melangkah mendekati sepedanya. "Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu."

"Apakah tidak ada hal di dunia ini yang bisa membuatmu sedikit lebih bergairah?"

Keisha tersenyum tipis, namun terlihat sangat hambar. Dan kemudian menggeleng lemah.

"Sudahlah," ujar pria tersebut sembari menuntun sepedanya. Lalu, dua-tiga langkah ia kembali berhenti. Dari ujung bahunya itu, Keisha melirik ke arah Delima. "Terima kasih karena sudah mau menemaniku."

Delima tersenyum dengan sangat manis dan perasaan senang yang berbunga-bunga.

"Aku pasti akan menunggumu di sini besok."

Keisha menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar gadis bodoh."

Untuk sesaat Delima masih berdiri di dekat bangku sembari memandangi punggung Keisha yang berlalu dengan menuntun sepeda gunungnya. Senyum di bibir sang gadis tidak terputus, bahkan sampai ketika ia memutar tubuh, dan melangkah ke arah timur lewat sisi selatan danau.

***

Hujan memang turun dengan cukup lebat sudah lebih dari satu jam sehingga kawasan di dekat danau itu menjadi terasa sangat dingin. Kondisi itu diperparah dengan tiupan angin yang sesekali sanggup membuat ngilu gendang telinga dengan suara desaunya yang luar biasa. Untungnya, hujan kali ini tidak disertai dengan petir.

Delima duduk memeluk lutut dengan tubuh yang berbalut selimut tebal—hanya memperlihatkan sedikit bagian wajahnya saja. Sang dara duduk di atas kursi bambu di balai-balai samping rumah. Tatapannya tertuju pada kuntum-kuntum teratai tiga warna yang ada di dalam kolam pemandian keluarganya itu.

"Kau tidak kedinginan?" tanya sang nenek yang memerhatikan tingkah sang cucu dari ambang pintu samping. "Duduk di luar seperti itu?"

Delima menggeleng-geleng.

Sang nenek tertawa pelan. Dasar, pikirnya, sudah jelas-jelas dia kedinginan malah mengaku tidak.

"Untuk apa kau tutupi tubuhmu dengan selimut setebal itu kalau kau memang tidak kedinginan?"

Delima tertawa halus mendengar ucapan sang nenek.

"Masuklah. Di dalam kau bisa lebih hangat."

"Delima masih mau di sini sebentar lagi, Nek."

"Aah, terserah kau sajalah."

Sang nenek pun meninggalkan ambang pintu, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tengah.

Satu set kursi dan meja itu terbuat dari kayu jati yang sudah terlihat sangat tua dan klasik. Bantalan duduk dan sandaran kursi-kursi tersebut memiliki warna dasar biru pudar dengan motif bunga.

Delisa tertawa pelan sembari menuangkan teh madu mahkota dewa ke dalam cangkir keramik.

avataravatar
Next chapter