13 Dua Sisi

Begitupula lebah-lebah itu sendiri, sama sekali tidak merasa terganggu. Tidak pada kehadiran gadis itu sendiri, tidak pula pada lentik jemari Delima yang mencoba menyibak kerapatan lebah-lebah tersebut di tiap sarang.

Lebah-lebah itu hanya berdengung, sebagian terbang mengitari tangan Delima.

Laksana sedang menyibak rumpun bunga, begitulah ekspresi sang gadis tanpa rasa jerih di wajah akan sengatan yang bisa saja diberikan lebah-lebah itu ke jari-jari tangannya yang halus lembut.

Delima tersenyum, lalu kembali turun dari bangku ala kadarnya itu. Sebagaimana naiknya, begitupula saat turun, Delima terlihat tidak takut ataupun gamang sebab bangku itu berderit-derit. Santai saja, lalu melompat ke tanah di sisa ketinggian pijakan kaki. Terlalu menikmati, mungkin pula karena alam yang masih terjaga keasriannya yang membuat suasana hati Delima begitu riang, begitu ceria.

Lantas kembali ia melepas, melipat kayu-kayu tersebut, dan menaruhnya kembali ke posisi semula. Jelas sekali jika kayu-kayu itu disediakan oleh Delima sendiri sebelum-sebelum ini untuk semua keperluannya. Atau setidaknya, ada campur tangan sang ibu juga sang nenek di sana.

Tidak satu sarang lebah pun di tebing bebatuan itu yang dipanen Delima. Sebab kenyataannya, saat gadis itu tadi memeriksa sarang-sarang lebah tersebut, ia menemukan bahwa telur-telur lebah itu sudah menetas, bahkan sebagian besar sudah berkambang dari larva menjadi pupa atau kepompong muda.

Karena itulah Delima tidak jadi memanen madu yang sedianya akan menjadi makanan awal bagi larva-larva lebah tersebut.

Pemikiran yang diturunkan dari sang nenek ke ibu, lalu ke gadis itu sendiri cukup sederhana: Jika telur-telur lebah itu sudah menetas, meski hanya baru berupa larva, maka tinggalkan sarang itu. Jangan diganggu. Biarkan mereka berkembang biak lebih banyak lagi. Demi terjaminnya ketersediaan madu hutan asli.

Dan itu pulalah yang dilakukan Delima.

Dengan langkah riang serupa ia meninggalkan kawasan tebing batu rendah itu, menuju ke sisi lain hutan. Tujuannya kali ini, adalah sisi barat, dan berharap saja sarang-sarang lebah yang ada di sana nanti masih muda-muda sehingga ia bisa mengisi ketiga botol kaca bening di dalam bakulnya itu.

***

Mutiya bersedih hati sebab sang anak keluar rumah bahkan tidak menunggu ia pulang terlebih dulu dari pasar. Kesedihan itu kian menumpuk saja. Dari hari ke hari, terutama kejadian semalam.

Meskipun ia terlihat cukup tegar menghadapi kedinginan sikap sang anak sulungnya itu, namun Mutiya hanyalah wanita biasa. Seorang ibu yang hatinya juga bisa patah karena sikap sang anak. Seorang manusia biasa, yang juga membutuhkan perhatian dari manusia lainnya. Ia hanya tidak menampakkan semuanya saja selama ini, khususnya jika bersama sang buah hati.

Tapi, kali ini, Mutiya ingin bersandar pada seseorang. Paling tidak, mendengarkan segala keluh dan kesah yang ada di dalam diri.

Mungkin menelepon sang suami yang sedang berkerja di luar kota itu adalah satu pilihan, pikir Mutiya. Dan itulah sebabnya ia meninggalkan saja barang belanjaannya di meja dapur itu. Lebih memilih duduk di atas sebuah kursi tua di belakang dapur—di halaman belakang—sembari menempelkan ponsel ke telinga.

Kurnia Anggarda – 55 tahun – sedang berada di dalam kantornya bersama seorang wanita sepantaran 30 tahunan. Keduanya sedang membahas sesuatu bersama sebuah map yang dalam keadaan terbuka dan beberapa lembar kertas yang berisi data-data tentang pekerjaan mereka sendiri.

Namun kesibukan di pagi itu harus tertunda sebab ponsel pria yang akrab disapa Kurnia itu menyala dan seseorang sedang menghubunginya.

Kurnia meraih ponselnya, dan begitu melihat nama pemanggil di layar ponsel tersebut, ia pun berkata kepada wanita di seberang meja.

"Sebentar."

Wanita itu tersenyum, bagaimanapun, telepon masuk itu pastilah dari seseorang yang penting bagi Kurnia sendiri. Tebakan terbaik wanita itu, adalah dari keluarga Kurnia sendiri.

"Ma, ada apa? Kok nelpon di jam kantor seperti ini?"

Yup, benar, pikir wanita yang duduk itu. Ternyata dari istrinya, Mutiya, yang sekarang berada di Sumatra sana.

Setidaknya, ia cukup tahu hanya ada satu orang yang disapa Kurnia seperti itu di dunia ini, adalah istrinya tersebut. Sedangkan sosok lain yang justru memiliki hak penuh dari nama panggilan itu sendiri, sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ibu kandung pria itu sendiri.

"Pa…" Mutiya menekan segala kesedihannya agar tidak didengar oleh sang suami.

"Ada apa?"

"Kapan pulang ke Lampung?"

Kurnia menghela napas lebih dalam. Ia berdiri dari kursinya, melambaikan tangan ke arah rekan kerjanya di seberang meja itu, sang wanita mengangguk tersenyum. Kurnia pun melangkah ke sudut ruangan, memandang lalu lintas di bawah sana yang terlihat begitu sibuk di pagi ini.

"Soal Keisha lagi?"

Sulit untuk bisa menyembunyikan hal sebenarnya setelah sekian tahun berlalu dengan situasi sama yang selalu berulang-ulang.

Dan ya, jika sudah begini, pertahanan Mutiya hanya akan jebol. Tembok kokoh yang menjadi perisai perasaannya dalam menghadapi sikap dingin sang anak akhirnya luruh berkeping-keping di hadapan sang suami.

Meskipun, hanya berupa sambungan telepon jarak jauh saja. Tapi itu lebih daripada cukup untuk menggambarkan betapa Mutiya pada saat ini sangat-sangat butuh tempat bersandar.

"Ma…"

Tentu saja, suami mana yang tidak akan tergetar hatinya kala mendengar isak tersendat-sendat dari sang istri? Tidak akan ada rasanya, kecuali kau bukanlah seorang suami yang baik. Begitupula halnya dengan Kurnia sendiri.

Mendengar suara serak yang tertahan-tahan dari Mutiya itu, sudah cukup untuk membuat jantungnya memompakan darah lebih cepat lagi ke setiap pembuluh yang ada di dalam tubuh.

Tidak ada yang bisa ia lakukan kini, mengingat jarak di antara mereka yang dipisah dua pulau dan sebuah selat, meski sungguh, Kurnia ingin sekali memeluk Mutiya saat itu juga. Mendekap wanita terkasihnya itu ke dada, dan lalu berkata bahwa semua akan kembali seperti sedia kala.

Tapi… siapalah dirinya yang hanya insan biasa, terlalu naif rasanya bagi Kurnia sendiri. Keadaan keluarganya tidak baik-baik saja. Dan hanya keajaiban dari Tuhan saja yang mungkin bisa mengembalikan kegembiraan di dalam keluarga ini, begitu keluh Kurnia di dalam hati.

"Bersabarlah. Suatu saat kelak, Papa yakin, Keisha pasti akan kembali seperti dulu lagi."

"Belakangan ini, Mama hampir-hampir nggak kuat lagi menghadapi Keisha, Pa. Sungguh…"

Tatapan Kurnia memang menerawang kondisi jalanan di bawah sana lewat dinding kaca kantornya itu, hanya saja tatapan itu kosong. Tidak sedikit pun hal-hal di bawah sana yang menarik perhatiannya. Tidak pula kericuhan dari para pengendara sepeda motor yang saling menghujat satu sama lain.

Tidak ada.

Hanya helaan napas panjang dan berulang-ulang itu saja yang bisa terdengar keluar dari mulut Kurnia.

Bahkan, sang rekan kerja yang duduk pura-pura tidak memerhatikan itu bisa dengan mudah mendengar embusan napas dari mulut Kurnia yang seolah meneriakkan betapa ia sudah sangat tersiksa dengan kondisi keluarganya.

avataravatar
Next chapter