"Tolong segera persiapkan semuanya!" Perintah Ben pada Adam, salah satu orang dari WO yang akan mempersiapkan pernikahannya.
Ben kini tampak gagah dalam balutan jas berwarna hitam dengan kemeja putih sebagai dalamannya. Dia kini berdiri disalah satu ruangan khusus disebuah hotel bintang lima. Dia sengaja mengadakan acara pernikahannya disini, karena akan ada banyak sekali kolega serta karyawannya yang akan menghadiri pernikahannya ini. Hingga tidak mungkin jika pernikahannya diadakan dirumah saja.
"Baik, Tuan." Balas Adam yang kemudian melangkah pergi menjalankan tugas yang diberikan oleh Ban.
Ben mengedarkan pandangannya pada dekorasi rungan yang sudah nampak rapih. Ruangan ini kini didominasi dengan warna coklat keemasan, lalu dibeberapa sudut tampak adanya berbagai jenis bunga sebagai hiasan. Sungguh selera Ben memang tak pernah mengecewakan.
Saat masih sibuk mengamati persiapan pesta pernikahannya itu, tiba-tiba salah satu pelayannya datang menghampiri. Ben memang membawa suluruh pekerjanya untuk membantu persiapan pernikahan ini, meskipun disana mereka tidak terlalu banyak bekerja karena sudah ada dari pihak WO yang mengurusi segalanya.
"Tuan, Nona Alena sudah datang." Ucap pelayan tersebut memberitahukan. Dibelakangnya Alena berdiri dengan memasang wajah kebingungan.
Ben menganggukan kepalnya, lalu menyuruh pelayan tersebut untuk kembali ketempatnya. Dia kini menatap pada Alena yang menampakkan wajah kebingungan. Wanita itu tampak lucu, saat mengerutkan keningnya sambil mengamati dekorasi ruangan yang membuatnya tercengang.
"Ada apa dengamu, Alena?" Tanya Ben.
"Kau menanyakan ada apa? Sungguh? Aku tadi sedang bekerja, Ben. Disana sangatlah sibuk, lalu orang-orang suruhanmu itu datang dan membawaku secara paksa!" Raut wajah kebingungan tadi kini berubah menjadi kekesalan.
Dia memang tadi sedang sibuk dikaffe tempatnya bekerja, saat beberapa orang suruhan Ben membawanya kabur dengan mengangkat tubuh mungilnya. Mereka memang terpaksa melakukan itu, sebab Alena menolak untuk pergi meskipun sudah dipinta secara baik-baik.
"Hanya itu?" Ucap Ben santai, lalu bersandar pada pion penyanggah.
Alena menajamkan mata, lalu menghembuskan nafas berat. Dia harus lebih bersabar kali ini. "Katakan ada apa?" Tanya Alena tidak sabaran.
"Kita akan melangsungkan pernikahan hari ini." Tutur Ben, membuat Alena membulatkan mata seketika.
"Hah? Kau gila ya?" Alena tidak habis pikir dengan tindakan tiba-tiba Ben. Baru dua hari yang lalu dia melamar Alena, dan hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan. Sungguh tidak bisa dipercaya.
"Benar, aku gila karena ingin segera beristri. Dan Robin juga sudah gila karena ingin beribu." Jawab Ben dengan menunjukkan seringainya.
"Terserah!" Ketus Alena.
"Bagus. Persiapkanlah dirimu, Nonya Alena Abraham!" Ben tertawa, lalu membawa Alena pada suatu ruangan khusus untuknya berdandan.
Disana sudah ada dua orang wanita yang akan membantu Alena untuk bersiap. Wanita pertama kini tampak memberika sebuah gaun berwana putih kepada Alena. Gaun panjang semata kaki, dengan brukat dibagian dada dan lengannya.
Alena menerima gaun tersebut, lalu berjalan salah satu pintun yang seprtinya adalah kamar mandi. Dan benar saja, Alena pun memasukinya dan mengganti pakaiannya.
Setelah selesai dengan gaunnya, kini giliran wanita kedua yang akan mendadaninya. Wanita itu tampak mahir mengoleskan beberapa make up pada wajah cantik Alena. Tak lupa juga rambut coklat panjangnya yang kini digulung keatas, menyisakan beberapa anak rambut yang menjuntai hingga kebagian bawah telinga.
Alena kini sudah siap, dia benar-benar terlihat cantik dan menawan. Ben sempat terkagum saat melihat kedatangan Alena bersama salah seorang kepercayaannya. Karena Alena tidak memiliki keluarga, Ben pun berinisiatif untuk meminta orang kepercayaannya itu untuk mendampingi Alena saat berjalan menuju altar.
Dibelakan Alena ada Robin bersama salah satu gadis cilik yang sepertinya juga anak dari salah satu pegawainya. Memang semua ini begitu mudah bagi Ben. Dia memiliki banyak kerabat, teman dekat, dan juga orang-orang yang bekerja untuknya. Hingga untuk sekedar pesta pernikahan seperti ini pun, tampaknya terlalu mudah dilaluinya.
Prosesi pemberkatan sudah terlewati. Mereka kini tampak menyambut para tamu yang bergantian memberikan ucapan selamat bagi kedunya. Alena benar-benar tak menyangka jika Ben mengundang begitu banyak orang, hingga seluruh ruangan ini pun tampak dipenuhi kerumunan orang yang hadir dalam pesta mereka.
"Tersenyumlah, Alena! Apakah itu begitu susah bagimu?" Tanya Ben pada Alena yang berdiri disampingnya. Istrinya itu sejak tadi hanya berdiam diri saja, membuatnya berfikir jika Alena tidak bahagia dengan adanya pernikahan ini.
"Kau mengundang teman-temanmu. Giliran teman-temanku, tidak ada satu pun yang hadir disini." Ucap Alena pelan. Dia kan juga ingin mengundang Silvi, maupun Valleria yang sudah dia anggap sebagai teman.
Kini Ben tahu apa yang membuat hati Alena tidak bahagia. Nampaknya wanita itu menginginkan kehadiran teman-temannya dihari special ini.
"Kau tidak memberitahu mereka?"
"Aku tidak tahu jika kita akan menikah secepat ini."
"Jadi kau menyesal?" Pertanyaan Ben membuat Alena kini menatap tajam kearahnya.
"Tentu. Tentu aku sangat menyesal! Sekarang diamlah, aku tidak ingin berdebat denganmu!" Kesal Alena. Sedangkan Ben hanya tersenyum tipis saat menadapati wajah kesal dari istrinya itu.
"Alena?"
Alena mengalihkan pandangannya pada seseorang yang tadi terdengar menyerukan namanya. Alena mengerutkan keningnya, mendapati sosok wanita dari masa lalunya. Wanita yang pernah menjadi sahabatnya, namun sekarang berubah menjadi musuhnya.
"Kalian? Bagaimana bisa, hah?" Tanya wanita itu dengan nada tingginya.
"Kecilkan suaramu Elena!" Kesal Ben yang kini tampam mengeraskan rahangnya. Dia kini memberikan tatapan tajam pada mantan istrinya yang ada dihadapannya.
Alena menyentuh lengan Ben, berusaha meredam emosi suaminya yang kini tampak mulai membara. "Kenapa Elena? Apa ada masalah?" Tanya Alena santai, dengan memberikan tatapan biasa saja.
"Bagaimana bisa kau menikah dengan Ben, mantan suamiku?" Ucap Elena, membuat Alena menaikkan alisnya.
"Bagaimana bisa? Tentu saja karena kami saling mencintai. Hal seperti itu masih kau pertanyakan?" Jawab Alena diakhiri senyumnya.
Ben yang mendengan ucapan istrinya itu hanya berdiam diri saja. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada tangan Alena yang menggenggam tangannya. Dingin, itu yang dia rasakan saat telapak tangan Alena menyentuh telapak tangannya.
Elena tersenyum tipis mendengarnya, lalu dengan nada sarkastisnya dia berkata, "Karena harta, aku tahu itu Alena."
"Harta? Ahh.. ya, harta yang berharga yang dimiliki Ben adalah Robin. Yang saat ini juga sudah menjadi putraku!" Jelas Alena yang membuat kesal Elena.
"Lihat saja nanti, Alena! Kau sudah semakin berani terhadapku!" Ancam Elena yang kemudian melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan kedua mempelai itu.
Alena menghembuskan nafasnya kasar, saat Elena sudah benar-benar tak terjangkau dari pandangannya. Ben masih tak mengalihkan pandangannya dari dirinya, terlihat sekali jika istrinya itu adalah seorang wanita yang pemberani.
"Bagaimana kalian bisa saling mengenal?" Tanya Ben yang kini sudah duduk bersama istrinya.
"Kami dibesarkan dipanti yang sama, dan banyak yang mengatakan jika kami Kakak beradik. Karena kedekatan kami, Ibu panti memberikan nama yang hampir sama kepada kami berdua. Disaat sudah dewasa, kami terpisah dan menjalani kehidupan masing-masing."
"Kalian bermusuhan?"
"Itu karena dulunya disaat aku menyukai seorang pria, dan kami sudah saling mengakui perasaan kami masing-masing. Elena justru dengan teganya merebut kekasihku, mereka... mereka bercinta dengan begitu panas didepan mataku." Entah kenapa hati Alena menjadi sedih saat mengingat kejadian buruk pada cinta pertamanya itu.
Ben terdiam mendengar penjelasan Alena, dia tidak menyangka jika Elana tega berbuat seperti itu kepada Alena yang sudah menganggapnya sebagai Kakak.
"Sudah jangan bersedih!" Ben mengusap puncak kepala Alena, membuat istrinya itu mendongakkan kepala menatapnya.
Ben mendekatkan wajahnya, menyatukan kening mereka saat menunduk kebawah. Kedua tangannya kini menggenggam tangan Alena, menyalutkan kehangatan melalui sentuhan dahi dan juga tangan.
TO BE CONTINUED.